Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

2 Desember selesai Revisi UU MD3, DPR dikritik Terburu-Buru dan Hak Imunitas Tak Direvisi

12/12/2018



Optimisme itu disampaikan salah satunya oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Saan Mustopa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (21/11).

Menurut dia, rancangan revisi UU MD3 sudah selesai disusun. Pasal-pasal yang akan diubah dan dihapus pun sudah ditentukan. Selain itu, Baleg juga sudah menyusun jadwal dan tahapan pembahasan RUU revisi UU MD3.

”Karena itu, saya perkirakan revisi UU MD3 sudah disahkan di paripurna pada tanggal 2 Desember,” katanya.

Lobi selesai

Politikus Partai Demokrat itu juga menjelaskan, lobi-lobi antarfraksi di parlemen juga sudah selesai dilakukan. Semua fraksi, baik dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) maupun Koalisi Merah Putih (KMP), telah menyepakati rancangan revisi UU MD3.

Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga sudah menyatakan komitmen untuk mempercepat pembahasan. Selain penerbitan amanat presiden yang diupayakan lebih cepat, pemerintah juga akan menyampaikan daftar inventarisasi masalah yang hanya difokuskan pada perubahan pasal yang diusulkan DPR.

Sementara itu, anggota Baleg dari Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat, juga optimistis tidak akan ada hambatan dalam pembahasan revisi UU MD3.

”Seharusnya (pembahasan) tidak lama. Pasal-pasal yang mau diubah sudah jelas, tidak ada pasal lain yang ditambah untuk diubah,” ujarnya.

Pembahasan revisi, lanjutnya, tak perlu melibatkan pihak lain di luar DPR dan pemerintah. Dewan Perwakilan Daerah juga tak perlu diminta pertimbangan karena proses revisi UU MD3 dilakukan di luar Prolegnas.

Reaksioner

Sementara itu, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai DPR terlalu reaksioner. Revisi UU MD3 tidak diorientasikan untuk reformasi parlemen secara total.

”Ini (revisi) hanya reaksi atas polarisasi politik di parlemen,” ujar Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK Ronald Rofiandri.

DPR, lanjutnya, terlalu memaksakan penggunaan Pasal 23 Ayat (2) Huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Perundang- undangan. Revisi UU MD3 seharusnya tetap melalui pembahasan Prolegnas terlebih dahulu.

Selain itu, DPR seharusnya tidak terburu-buru menyelesaikan revisi UU MD3, apalagi hanya membatasi perubahan pasal-pasal yang sudah disepakati fraksi- fraksi KIH dan KMP sebelumnya. Padahal, masih banyak pasal dalam UU MD3 yang dianggap bermasalah.

Pembahasan revisi UU MD3 harus segera diselesaikan karena DPR perlu segera bekerja. Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, harus sudah dipilih DPR sebelum masa jabatan Busyro Muqoddas berakhir pada 10 Desember 2014. 

Sementara itu Indonesia Corruption Watch (ICW) berencana untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Rencana itu terkait pasal 224 UU MD3 tentang hak imunitas anggota DPR.

Kalau desakan pegiat antikorupsi ditanggapi DPR dan memasukkan pasal 224 ke dalam pembahasan revisi, ICW tidak akan melanjutkan rencana untuk menggugat pasal tersebut ke MK.

"Kalau desakan ini tidak dihiraukan, kami akan mengajukan judicial review ke MK," kata aktivis ICW, Abdullah Dahlan kepada Republika, Sabtu (22/11).

Ia menambahkan, pasal itu memuat kerancuan soal wewenang mahkamah kehormatan dewan (MKD). Seharusnya, MKD hanya memiliki wewenang untuk melakukan tindakan di sisi etik kedewanan. 

Namun di pasal 224 ayat 7, MKD bahkan memiliki wewenang di sisi tindak pidana. Yaitu dapat membatalkan proses pidana atau SP3 kasus. 

"Kita berharapnya momentum islah ini juga digunakan untuk memerbaiki pasal yang imunitas yang berlebihan ini," ungkap Abdullah.

Dalam UU MD3 pasal 224 ayat 5 disebutkan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD. 

Kemudian di ayat 6 diatur, surat putusan izin tersebut harus diproses oleh MKD paling lambat 30 hari sejak surat permintaan diterima. Di ayat 7 disebutkan, jika MKD memutuskan tidak memberikan persetujuan, maka surat pemanggilan tidak memiliki kekuatan hukum atau batal demi hukum.