Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Bincang Edukasi-Tempo) Kurikulum untuk Raksasa, oleh Prof. Iwan Pranoto

12/12/2018



Dari empat negara berpenduduk terbesar Tiongkok, India, AS, dan Indonesia, negara India dan AS sama-sama tak memiliki kurikulum nasional. Bahkan standar CCSS (Common Core State Standards)  yang baru sedang dicoba untuk diterapkan belum disepakati untuk diterapkan di semua negara bagian. Standar CCSS ini pun sementara baru mencakup matapelajaran Matematika dan Bahasa Inggris saja. Para pendidik AS berpendapat bahwa standar CCSS ini dan khususnya ujiannya membuka peluang terjadinya penyeragaman pendidikan dan anak didik. Dan, ini bertentangan dengan kebebasan individu dan keberagaman yang dijuarakan sistem pendidikan AS.

Sementara itu, India benar-benar tak menetapkan standar nasional apalagi kurikulum nasional. Malahan di negeri ini, keanekaragaman kurikulum dan bahan ajar justru didorong dan disokong secara eksplisit dan resmi oleh pemerintah pusat melalui dokumen Curriculum Framework [red: dokumen PDF], yang dirancang oleh National Council of Educational Research and Training

Seperti Sekolah Riverside di Ahmedabad, di negara bagian Gujarat di India, yang didirikan oleh edukator Kiran Bir Sethi, para guru bersama kepala sekolah merancang kurikulum tiap matapelajaran sendiri untuk jenjang SD dan SMP. Sedangkan untuk jenjang SMA, sekolah ini menggunakan kurikulum yang disesuaikan untuk sistem Cambridge. Tiap sekolah negeri pun berhak merancang kurikulumnya sendiri. Sedang tiap negara bagian memiliki sejumlah dewan pendidikan yang masing-masing menawarkan standar. Sekolah negeri maupun swasta di India bebas memilih mengikuti dewan pendidikan yang mana atau memilih standar yang lain. Ujian di tingkat SMA nanti akan mengikuti standar yang sudah dipilih. 

Sedangkan Tiongkok sampai sekarang masih terpusat menggunakan satu kurikulum nasional untuk seluruh sekolah dasar dan menengahnya. Namun demikian, yang disebut satu kurikulum nasional sesungguhnya telah berubah makna sekaligus “kadar”nya sejak tahun 1993 untuk jenjang SD dan SMP. Yang diatur dan ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk jenjang SD hanya 9 matapelajaran wajib, yakni matematika, IPA, ilmu sosial, pendidikan politik, bahasa Mandarin, pendidikan jasmani, musik, seni rupa, dan keterampilan perburuhan. Sekolah juga harus membelajarkan bahasa asing tetapi siswa boleh memilih bahasanya. Sedang untuk jenjang SMP, ada 13 matapelajaran wajib yang ditetapkan pemerintah pusat. Kemudian, SMAnya menggunakan sistem kredit. Dengan sistem kredit ini, tidak saja tiap daerah dapat memiliki kurikulum sendiri, tetapi malah tiap siswa dapat merencanakan pendidikan SMAnya sendiri.

Satu hal menarik, Shanghai diberi kebebasan dalam merancang sistem seleksi sekolah dan Hong Kong sampai tahun 2012 tidak menggunakan kurikulum nasional dari “daratan Tiongkok.” Maka, pertanyaan apakah hal ini memiliki hubungan dengan dipilih dan berhasilnya pelajar Shanghai dan Hong Kong dalam tes PISA (Programme for International Student Assessment) tentunya layak diselidiki. Kevin Lam dari World Education Service membuat ulasan yang rinci tentang sistem pendidikan dasar dan menengah Tiongkok menjelang dan di abad 21.

Dengan mencermati situasi sistem pendidikan tiga negara berpenduduk besar itu, sesungguhnya pesan yang disampaikan jelas sekali, pemaksaan kurikulum tunggal untuk negara berpenduduk besar sungguh meragukan. Di Abad ke-21 ini, saat nilai-nilai lokal mengglobal, Indonesia membutuhkan banyak kurikulum yang unik di tingkat daerah. Kebudayaan lokal yang beranekaragam tidak boleh diseragamkan. Apalagi, faktanya Indonesia memiliki karakteristik geografis kepulauan yang secara alamiah hakikatnya adalah keanekaragam. Daerah-daerah di tanah air yang terpisahkan perbukitan tinggi, ngarai terjal, hutan rapat, sungai deras, dan lautan luas pastilah memiliki keunikan tradisi, budaya, dan alam. Karenanya, proses belajar-mengajar dan khususnya kurikulum bagi anak-anak kita di berbagai pelosok tanah air perlu yang luwes agar pendidik/sekolah dapat mengadaptasi program belajar-mengajarnyanya terkait kebutuhan kecakapan anak khusus di daerah itu.

Keunikan lokal ini harus eksplisit dirumuskan dan diilustrasikan dalam desain pembelajaran. Misalnya, diteladankan gagasan pemakaian biji Jelai di Papua dan cangkang kerang di Pulau Ternate sebagai concrete material atau alat bantu ajar dalam membelajarkan anak membilang. Juga pelibatan serta pemanfaatan Bahasa Ibu dalam membelajarkan Matematika dan IPA perlu disokong secara eksplisit. Langkah-langkah strategis ini perlu diterapkan juga agar anak-anak melihat keterkaitan sekolah dengan kehidupan.

Ke depan, diharapkan pemerintah melalui Kemdikbud tidak lagi memaksakan satu kurikulum tunggal sama dan sebangun pada semua sekolah dari Pulau Biak sampai Pulau Nias, dari Sungai Memberamo sampai Sungai Siak. Seperti tiga negara raksasa tadi, penduduk Indonesia luar biasa banyak dan tersebar. Terlebih lagi, Indonesia memiliki karakteristik geografis yang membuat penduduk Sungguh pemikiran yang kurang matang memaksakan satu seri buku ajar tunggal untuk semua sekolah di negara besar untuk negeri ini.

Walau terganggu saat kebijakan Kurikulum 2013 dipaksakan, konsep keanekaragaman kurikulum itu sudah digagas dalam UU Sisdiknas lebih satu dekade lalu. Semoga Kemdikbud Baru meneruskan jiwa keanekaragaman pendidikan di UU Sisdiknas tersebut.

Kemdikbud khususnya Puskurbuk-Balitbang perlu mulai merekacipta kerangka kurikulum yang dapat digunakan untuk menjadi panduan dalam memudahkan sekolah merumuskan kurikulum yang sesuai dengan keunikan daerah, geografis, dan kebudayaannya. Dengan kurikulum sekolah yang relevan dengan kedaerahan dan kehidupan, para pelajar akan meningkatkan dorongan belajar dari dalam diri. Pelajaran di sekolah semakin terkait dengan kehidupan di lingkungannya. Ini akan menjauhkan citra buruk belajar sebagai beban, bukan berkat.

Tantangan dan strategi mendidik raksasa tentu berbeda dibanding mendidik negara kecil berpenduduk sedikit dan bergreografis homogen.

----

Iwan Pranoto adalah Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Kedutaan Besar Republik Indonesia di New Delhi. Sebelumnya, ia adalah guru besar Matematika di Institut Teknologi Bandung.