Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Bisnis Indonesia) Freeport dan Inkonsistensi Penerapan UU Minerba

12/12/2018



Di tengah hiruk pikuk politik seputar perseteruan KPK dan Polri, pemerintah mengeluarkan kebijakan kontroversial dan merugikan. Pemerintah Jokowi dan Freeport sepakat untuk membuat rancangan kelanjutan nota kesepahaman (MoU).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Jumat (23/1) memutuskan untuk memperpanjang pembahasan amandemen kontrak kerja PT Freeport Indonesia hingga enam bulan ke depan, yaitu sejak 25 Januari hingga 24 Juli 2015.

Ada enam poin renegosiasi, yakni luas lahan, kewajiban pabrik pengolahan dan pemurnian [smelter), peningkatan local content, besaran divestasi, peningkatan penerimaan negara, dan kelanjutan operasi.

Keputusan ini sama artinya dengan tidak menjalankan larangan ekspor bahan tambang langsung yang diterapkan Pemerintahan SBY kepada Freeport sebagai terapan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Kontrak perusahaan tembaga dan emas yang berlokasi di Papua ini akan berakhir pada 2021.

Keputusan perpanjangan kontrak seharusnya diberikan dua tahun sebelum kontrak berakhir atau 2019. Namun Freeport ingin mempercepat pemberian keputusan itu pada 2015. Renegosiasi perpanjangan kontrak tambang di Papua sampai tahun 2041 sudah dilakukan.

MoU antara pemerintah dan Freeport pada Juli 2014 mewajibkan Freeport membangun smelter. Faktanya ekspor tetap berjalan, sedangkan progres pembangunan smelter belum terlihat. Jika konsisten menerapkan UU Minerba, maka Freeport seharusnya dilarang ekspor konsentrat. Nyatanya pemerintah memberi lampu hijau dengan keputusan di atas.

Perpanjangan pembahasan amandemen kontrak kerja diputuskan pemerintah dengan alasan untuk memberikan kepastian bagi inves-tor asing. Pemerintah menganggap dana investasi yang dibenamkan oleh Freeport besar, yakni mencapai USS15 miliar.

Selain itu manajemen Freeport juga menyepakati poin lain dalam kontrak. Pertama, Freeport berjanji akan membangun pabrik pemurnian atau smelter mineral emas di Gresik, Jawa Timur, dengan nilai investasi US$2,3 miliar AS. Selama ini. Freeport memilih ekspor konsentrat mineral tanpa pengolahan.

Kedua, perusahaan tembaga, emas. dan perak ini di Grasberg, Papua, juga bersedia menaikkan royalti dari yang berlaku saat ini cuma 1% menjadi 3,75%. Namun, Freeport meminta agar kenaikan royalti ini berlaku setelah perpanjangan kontrak atau pada 2021.

Ketiga, Freeport juga setuju melakukan divestasi saham 30% kepada Pemerintah Indonesia, pemerintah daerah, dan BUMN ataupun BUMD, sesuai aturan yang berlaku. Keempat, Freeport juga menjamin penggunaan tenaga kerja lokal dan produk dalam negeri hingga 100%. Terakhir, Freeport juga setuju atas pengurangan areal wilayah pertambangan dari 212.950 hektar menjadi 125.000 ha.

Marwan Batubara (2015) menyatakan keuntungan yang didapat PT Freeport Indonesia dari hasil tambangnya di Papua mencapai Kp i ihmi triliun. Hal ini dihitung dari hasil laporan cadangan mineral pada 2010. Adapun emas 55 juta ounce, tembaga 56,6 pounds dan perak 180,8 juta ounce di tambang Grasberg. Cadangan ini berpotensi menghasilkan USS500 miliar atau sekitar Rp4.000 triliun.

Keleluasaan yang diberikan Pemerintahan Jokowi menunjukkan inkonsistensi terhadap amanat UU Minerba. Sebagaimana diketahui pemerintah akan memberi sanksi bagi perusahaan tambang yang menolak membangun smelter, di antaranya menghentikan kontrakkarya bagi perusahaan tambang di Indonesia yang tidak memenuhi kewajiban membangun metierhingga akhir 2014.

Kewajiban membangun smelter tertuang dalam UU Minerba. Selain itu pemerintah terkesan memiliki ketergantungan dan takut ditinggal oleh Freeport. Hal ini ironis jika mengingat janji Jokowi yang akai membangun kemandirian ekonomi.


Jokowi ke depan memiliki tantangan berat terkait Freeport ini. Intinya jangan sampai pemerintah menggadaikan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Beberapa pihak menengarai Freeport berlindung di bawah kuasa negeri adidaya Ajnerika Serikat. Adapun pemerintah Indonesia terkesan tidak kuasa menghadapi diplomasigeopolitik AS. Beberapa hal penting diperhatikan Jokowi terkait dengan Freeport demi keberpihakannya terhadap rakyat, Papua, dan wibawa bangsa.

Pertama, melakukan kajian rinci terkait pertambangan di Papua. Kemampuan perusahaan dalam negeri penting dikaji. Atau minimal mencermati kemampuan perusahaan-perusahaan lain. Semua ini guna mengurangi ketergantungan terhadap Freeport. Visi dan misi menjadikan Indonesia berdikari mesti dibuktikan.

Kedua, penguatan diplomasi geopolitik terhadap AS. Indonesia penting mensejajarkan diri dalam diplomasi bilateral dengan negara manapun. Kekuatan adidaya AS mestinya tidak menjadikan Indonesia silau dan merasa menjadi subordin-an. Visi dan misi menjadikan Indonesia berdaulat mesti dibuktikan.

Ketiga, memposisikan diri dalam negoisasi dengan Freeport sebagai pihak yang di atas dan tanpa beban. Komposisi pembagian keuntungan mestinya bukan 4060, tapi minimal 6040. Sebagian besar penting dialokasikan untuk Papua dengan monitoring dan evaluasi yang ketat.

Keempat, konsisten terhadap supremasi hukum. Penegakan a hukum menjadi kunci perbaika investasi. Inkonsistensi kali ini cukup menjadi yang terakhir. Jika Freeport tetap belum mampu membangun dan mengoperasikan smelter hingga 24 Juli 2015, maka otomatis kontrak karya harus diputus. Ketegasan pemerintah dibutuhkan demi kepastian iklim investasi bagi perusahaan lain.

Freeport bukanlah segala-galanya bagi Indonesia. Segala-galanya itu adalah rakyat dan kedaulatan. Freeport dapat menjadi bahan pembelajaran dalam tata kelola pertambangan di negeri ini. Sumberdaya alam yang melimpah akan menjadi tidak bermakna jika tanpa pengelolaan yang baik dan berpihak ke dalam negeri.