Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Bisnis) Jokowi dan PDIP Perlu Bersinergi. opini Philips J. Vermonte dari CSIS

12/12/2018



 

Jokowi dan PDIP Perlu Bersinergi

Salah satu hasil Pilpres dan Pileg 2014 adalah terbelahnya DPR menjadi dua kubu, yaitu koalisi pemerintahan (Koalisi Indonesia Hebat) dan koalisi oposisi (Koalisi Merah Putih).

Dilihat di permukaan, banyak yang mengkhawatirkan situasi ini akan menghambat pemerintahan Presiden Jokowi, mengingat KMP sebagai koalisi oposisi menguasai lebih banyak kursi di DPR dibandingkan dengan KIH sebagai koalisi partai pemenang pemilu.

Sejatinya, terjadinya pembelahan di tubuh lembaga legislatif dalam jangka panjang akan baik bagi demokrasi dan juga kebijakan publik. Akan terjadi proses check and balances secara alamiah karena kedua kubu harus berdebat dan mengajukan argumen yang baik hingga pada akhirnya terbentuk titik optimum dalam proses penerimaan sebuah undang-undang atau kebijakan. Akan tetapi, pencapaian optimum ini terjadi jika, dan hanya jika, kedua kubu menerima beberapa hal.

Pertama, bahwa sistem pemerintahan kita secara konstitusional adalah presidensial. Oleh karena itu, kedua kubu pada khususnya dan lembaga legislatif pada umumnya, harus menerima fakta konstitusional bahwa center of power yang utama dan terutama adalah di tangan presiden.

Kedua, penerimaan fakta konstitusional ini membutuhkan faktor penting yaitu tingkat saling percaya (levei of trust) di antara aktor-aktor politik kita baik di DPR maupun di cabang kekuasaan eksekutif (presiden].

Hari ini, level of trust di antara aktor politik kita sangat rendah, tercermin dari retorika yang semakin tajam dan cenderung brutal yang menuding satu pihak tidak punya komitmen memajukan Indonesia dan hendak menggadaikan republik, dibandingkan dengan penyebutan diri sendiri sebagai pihak yang paling punya komitmen.

Ketiga, perbedaan utama sistem presidensial dari sistem lain semisal parlementer adalah bahwa seorang presiden dijamin masa jabatan fixed term (dalam konteks Indonesia adalah lima tahun) yang tak bisa dihentikan dengan cara apapun sebelum term tersebut usai. Pergantian pemerintahan hanya bisa terjadi melalui pemilu.

Tentu saja kita pernah menyaksikan akrobat politik tak tahu malu dari politisi di DPR yang memaksa pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid di tengah masa jabatannya pada 2001. Sejarah semacam ini adalah coreng memalukan di dahi politisi kita yang tidak punya komitmen pada aturan main dan memberi catatan amat buruk yang dalam sejarah politik kita.

Pemakzulan hanya menimbulkan luka politik yang dalam dan sulit disembuhkan. Beruntung, berbeda dari masa kepresidenan Abdurrahman Wahid yang terpilih secara tidak langsung melalui proses di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sejak 2004 dan seterusnya, presiden-presiden kita dipilih langsung oleh rakyat. Dengan kata lain, legitimasi politik seorang presiden amat kuat, karena dia dijamin konstitusi dan mendapat amanat langsung dari rakyat pemilih.

Apabila tiga hal itu diterima oleh aktor-aktor politik kita, maka politik kita akan lebih pasti (certain) dalam pengertian perdebatan keras apapun di DPR tidak akan men-destabilisasi pemerintahan karena perdebatan-perdebatan itu akan selalu terkait pada pencarian titik kebijakan yang optimum dan tidak akan mendelegitimasi lembaga kepresidenan.

Akan tetapi, dalam enam bulan masa pemerintahan Presiden Jokowi ini, sebuah fenomena unik terjadiamat kasat mata. KMP yang berada di pihak oposisi justru menjadi pihak yang memberi dukungan politik pada presiden. Sementara, KIH yang merupakan koalisi pemerintahan justru lebih banyak mengambil sikap berseberangan dari presiden.

Dalam literatur politik dan pengalaman demokrasi di negara manapun, fenomena janggal semacam ini tidak pernah ditemukan. KIH, utamanya PDIP, menjalankan tugas oposisi yang harusnya dijalankan KMP dengan baik.

KMP dan KIH, sejauh ini-mungkin berubah di masa yang akan datang-adalah fatamorgana. Dia dihembuskan kedua belah pihak agar keduanya bisa menjaga eksistensi politik masing-masing. Paling tidak, dalam beberapa isu penting dan krusial sejauh ini KMP tidak beroposisi terhadap Presiden Jokowi, di mana sebelumnya diduga KMP akan memperlambat proses-proses pengambilan keputusan.

Beberapa contoh utama adalah penerimaan KMP terhadap mekanisme pemilihan kepada daerah (pilkada) langsung di mana sebelumnya KMP bersikukuh bahwa pilkada harus diselenggarakan dengan cara tak langsung oleh DPRD, dan kebijakan penghapusan subsidi bahan bakar minyak yang tidak mendapatkan kritik substansial dari KMP.

Selain itu, proses pencalonan Budi Gunawan (BG) sebagai calon Kapolri dan pengajuan nama baru Badrodin Haiti oleh "Presiden Jokowi ke DPR. Penetapan nama Luhut Panjaitan sebagai kepala staf kepresidenan juga relatif sepi dari kritik oleh KMP rang agaknya menerima bahwa penetapan itu adalah wilayah kewenangan presiden yang harus dihormati. Pada dua isu terakhir ini justru Presiden Jokowi mendapat perlawanan keras dari PDIP.

Isu Petugas Partai

Terakhir yang dibicarakan publik adalah penyebutan terus menerus dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bahwa presiden dan menteri dari PDIP adalah petugas partai.

Pandangan tentang kader adalah petugas partai adalah leksikon umum dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai, termasuk PDI-P. Akan tetapi, istilah ini melampaui perdebatan semantik karena diucapkan oleh Ketua Umum PDIP saat hubungannya dengan presiden terpilih berada pada titik yang kurang menggembirakan sebagaimana digambarkan di atas.

Bila kita tengok sedikit sejarah kita ke belakang, ide bahwa presiden eksekutif adalah petugas partai adalah ide yang sangat tidak disukai oleh Presiden Soekarno pada 1950-an.

Pada masa demokrasi parlementer kita pada 1950-an, perdana menteri dan kabinetnya adalah mumi petugas partai yang menjalankan pemerintahan dengan kepentingan terbatas platform partai, yang sangat boleh jadi tidak mewakili platform partai-partai yang lain. Walaupun semua partai mengklaim bahwa platform-nya adalah yang paling baik bagi Indonesia, persis dengan semua partai kita hari ini, 60 tahun kemudian.

Presiden Soekarno menolak keras ide partai dan petugas partai berkepentingan terbatas dalam konteks pemerintahan semacam itu dengan puncaknya mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 yang membawa Indonesia kembali kepada sistem presidensial yang dijamin UUD 1945, yaitu sistem di mana presiden dijamin sebagai center of power dan berada di atas semua golongan dan partai politik, bukan di bawahnya.

Bisa disimpulkan bahwa masalah utama Presiden Jokowi dengan aktor-aktor politik lain terletak dalam hubungannya dengan PDIP. Biar bagaimanapun, Presiden Jokowi tidak bisa dipisahkan dari PDIP sebagai basis politik dukungannya yang utama di DPR. Bahwa KMP hari ini mendukung banyak kebijakan Presiden Jokowi, itu terjadi karena kepentingannya hari ini menyatu.

Tetapi kepentingan dan prioritas politik bisa berubah sepanjang waktu. Dukungan politik yang stabil dan tak terkait pada kepentingan jangka pendek untuk Presiden Jokowi hanya bisa datang dari PDIP dan partai koalisi pemerintah.

Di sisi PDIP, penting untuk menyadari bahwa pada dasarnya yang paling berkepentingan dengan keberhasilan pemerintahan Presiden Jokowi adalah PDIP. Karena, bila performa pemerintahan ini buruk dan PDIP tidak memperlihatkan diri sebagai partai pendukung, sejatinya pemilih dalam pemilu yang akan datang melihat bahwa faktor penyebabnya adalah PDIP yang setengah hati dan mengganggu prospek PDIP dalam pemilu 2019.

Sebagaimana pepatah Barat menyatakan "it takes two to tango," PDIP dan Presiden Jokowi semestinya adalah dua entitas politik yang bersinergi dan bisa mewujudkan tingginya harapan pemilih 2019 atas Jokowi yang dilihat sebagai figur muda, bersih dan berintegritas dan diyakini bisa membawa Indonesia pada kemajuan dan kesejahteraan yang Iebih baik dalam lingkup demokrasi yang dewasa.