Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Bisnis) Opini: Freeport, Hentikan Pelanggaran Terhadap UU Minerba

12/12/2018



Dalam UU Minerba No. 4 Tahun 2009 (UU Minerba), Ketentuan Peralihan yang mengatur Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) diamanahkan pada Pasal 169 s/d Pasal 172. KK dan PKP2B tetap diberlakukan sampai jangka berakhir masa kontraknya.

Ketentuan yang tercantum dalam pasal perjanjian disesuaikan dengan UU ini selambat-lambatnya 1 tahun sejak diundangkannya UU ini, kecuali mengenai Penerimaan Negara dengan maksud mengupayakan peningkatan Penerimaan Negara.

Dalam waktu 5 tahun setelah UU ini, pemegang KK yang berproduksi wajib melakukan pemurnian di dalam negeri. Pemegang KK dan PKP2B dalam 1 tahun, harus menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah kontraknya untuk mendapat persetujuan dari pemerintah. Apabila tidak dipenuhi, maka luas arealnya akan disesuaikan dengan luas yang ditetapkan dalam UU.

Sayangnya, sejak berlakunya UU Minerba pada Januari 2009, para pemegang perjanjian ini dan pemerintah kurang menjalin komunikasi yang baik. Bahkan ada upaya pihak pemegang KK bersama oknum pemerintah mengaburkan amanah tersebut, sehingga terbitlah PP No. 23 Tahun 2010 yang ternyata men-jadi sumber banyak masalah.

Pada Ketentuan Peralihan Pasal 112 ayat 1 disebut KK dan PKP2B yang ditandatangani sebelum diundangkan PP ini dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktunya berakhir. Pasal ini menjadi acuan para pemegang KK yang jelas bertentangan dengan Ketentuan Peralihan sebagaimana ditetapkan pada UU Minerba 2009 Pasal 169 ayat a, b dan c.

Kemudian PP ini diubah sebanyak tiga kali, pertama  dengan PP No. 24 Tahun 2012, kedua  dengan PP. No1 Tahun 2014 dan  ketiga , No. 77 Tahun 2014. Hal ini mengindikasikan bahwa PP No. 23/2010 tersebut tidak konsisten dan ada aroma untuk mengakomodir kepentingan asing.

Dalam perjalanannya, kedua belah pihak tidak mengupayakan perbaikan komunikasi, sehingga renegosiasi buntu. Pada 10 Januri 2012 diterbitkanlah Kepres No. 3, yang membentuk tim evaluasi untuk penyesuaian KK dan PKP2B dengan diketuai Menko Perekonomian. Tim ini diberikan waktu sampai Desember 2013 untuk menyelesaikan penyesuaian KK dan PKP2B.

Ternyata tim tidak berhasil melakukan tugasnya sampai akhir Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan dibuatlah memorandum of understanding  (MOU), yang menyalahi UU Minerba. MOU PT. Freeport Indonesia (PTFI) kemudian diperpanjang oleh Pemerintahan Jokowi-JK pada Januari 2015 yang lalu, dan menurut Dirjen Minerba akan menyusul perpanjangan MOU PTNNT.

PENCITRAAN

Pada Permen ESDM No.1 Tahun 2014 sebagai pelaksanaan PP. No.1/2014 pemerintah optimistis bahwa smelter konsentrat tembaga PTFI dan PTNNT dapat direalisasikan selama 3 tahun (beroperasi 2017).

Pembangunan smelter ini sejak awal pun tidak jelas. PT FI memberi keterangan bahwa pembebasan lahan untuk lokasi smelter di Gresik sedang diproses, dan Bupati Gresik siap membantu pembebasannya.

Namun, Komisi VII DPR men-syaratkan  smelter dibangun di Timika. Pertengahan Februari 2015 Gubernur Papua, Menteri ESDM dan Dirjen Mineraba menjelaskan ke media massa bahwa BUMD Provinsi Papua sepakat bekerja sama dengan investor untuk membangun smelter di Kabupaten Mimika, dan akan selesai dalam waktu 55 bulan.

Akan tetapi, beberapa hari kemudian Dirjen Minerba mengatakan pembangunan smelter PTFI tidak akan selesai pada 2017. Saya menulusuri baik di pemerintahan maupun di PTFI, bahwa hasil studi kelayakan lengkap (mencakup aspek teknis, ekonomi, finansial, lingkungan) untuk mendirikan smelter ini belum dibuat. Yang ada hanyalah kajian pembangunan smelter yang dikerjasamakan oleh IMA dengan LAPI ITB pada 2013.

Hasil kajian ini tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai dokumen studi kelayaakan lengkap. IMA hanya memanfaatkan hasil ini untuk membentuk opini publik bahwa pembangunan smeltertembaga di Indonesia tidak layak.

Pada 18 Februari Dirjen Minerba mendorong PTFI, PTNNT, PT. Gorontalo Mineral dan PT. Kalimantan Surya Kencana untuk berkolaborasi membangun smelter konsentrat tembaga bersama investor lainnya.

Pemerintah pun siap memberikan stimulus untuk melaksanakan kolaborasi ini. Saat SBY, pemerintahan telah beberapa kali mengeluarkan stimulus guna mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional, namun pada kenyataannya smelter tidak kunjung terealisir.

Sudah saatnya semua upaya-upaya yang menyimpang dan tidak fokus ini dihentikan segera dan pemerintah maupun pemegang KK kembali ke amanah UU Minerba secara jernih dan dengan itikad baik. Mental pencitraan dan mau menang sendiri harus dibuang jauh-jauh.

SARAN DAN SOLUSI

Pertama, cari solusi kegagalan KK yang tidak dapat memenuhi kewajiban memurnikan konsentratnya di dalam negeri. Caranya, dengan mengenakan sanksi administratif kepada KK sebagaimana ditetapkan pada UU Minerba Pasal 151. Segera jabarkan Pasal 151 ini ke dalam PP baru (perubahan baru atas PP No.23/2010) dengan lebih rinci.

Pengenaan bea keluar, penetapan uang jaminan, dan keharusan melakukan studi kelayakan lengkap dapat dimasukkan dalam ketentuan sanksi. Sanksi ini diberlakukan surut sejak Januari 2014, sehingga KK yang tidak memenuhi amanah UU Minerba Pasal 170, harus dikenai sanksi administratif sebagaimana  Pasal 151.

Kedua, bahwa tidak mungkin KK merealisir smelter pada 2017. Oleh karena itu, pemerintah mengharuskan pemegang KK segera membuat studi kelayakan lengkap (sebagaimana pada butir pertama), tentukan waktu selesainya, dan masukkan dalam amendemen KK yang sedang direnegosiasikan. Pastikan bahwa hasil studi ini akan menjadi acuan bagi kedua belah pihak sebagai dasar pembangunan smelter.

Ketiga, penerimaan negara harus ditingkatkan sehingga totalnya lebih besar dari penghasilan bersih perusahaan KK. Kedaulatan negara mutlak dikembalikan. Jenis dan besaran penerimaan negara (termasuk pendapatan daerah) disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku dari waktu ke waktu.

Ketentuan penerimaan negara ini harus berlaku surut sejak Januari 2010, sehingga amanah UU Minerba Pasal 169 ayat a, b dan c terpenuhi.

Keempat, divestasi harus mencapai tujuannya yang luhur, yaitu pemegang saham nasional menjadi mayoritas agar dapat mengelola perusahaan KK. Divestasi ini sudah ada sejak 1992 yang diatur melalui PP No.17/1992, kemudian diubah dengan PP No.50/1993 dan PP No.20 /1994. PP tersebut telah pula diberlakukan pada berbagai KK (juga PKP2B), yang menetapkan total divestasi adalah 51% dan sudah terealisir dengan baik.

Perubahan pertama PP. No. 23/2010 yaitu PP No. 24 Tahun 2012 telah menetapkan total divestasi sebesar 51%, kemudian diubah dengan PP No. 77/2014 yang menetapkan total divestasi untuk penambangan dengan metode bawah tanah, atau kombinasi bawah tanah dengan tambang terbuka adalah 30%.

Perubahan ini sangat mengakomodir kepentingan PTFI. Oleh karenanya, PP No. 77 harus diubah, total divestasi menjadi 51%.

Kelima, pengajuan perpanjangan KK menjadi IUPK, dapat diajukan setiap saat, dan harus dikaitkan dengan rencana pembangunan smelter, sehingga pemerintah dapat memberi pertimbangan yang komprehensif agar perpanjangan KK dapat menjamin keekonomian pembangunan smelter.

Keenam, peningkatan penggunaan tenaga, barang dan jasa lokal maupun dalam negeri. Hal ini harus jelas dan terukur sehingga terukur pula tingkat keberhasilannya. Apabila tidak dapat dipenuhi, harus dikenakan penalti.

Ketujuh, luas areal KK sudah dapat diselesaikan dan disepakati.

Pastikan bahwa dalam amendemen KK apabila perusahaan KK tidak dapat memenuhi rencananya membuka areal tertentu untuk ditambang pada waktunya tanpa alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka areal tersebut harus dikembalikan kepada negara. Areal ini akan dijadikan sebagai Wilayah Pencadangan Negara (WPN) guna kepentingan konservasi.

Saya berpendapat penerimaan negara, divestasi, dan pemurnian di dalam negeri adalah hal yang tidak dapat ditawar. Para pemegang saham asing harus menghentikan cara-cara lama yang memanfaatkan pengaruh pejabat/mantan pejabat negaranya maupun Indonesia untuk memaksakan kehendak, baik itu dalam hal menyusun kebijakan maupun lobi-lobi.

Mari kita kawal ‘Merah Putih’, agar terlaksana Kedaulatan Rakyat secara utuh. Enough is enough!!


*) Simon Felix Sembiring, Mantan Dirjen Mineral Batu Bara & Panas Bumi Kementerian ESDM