Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(DetikNews) Banyak Mafia Pangan di RI, Tapi Sulit Ditangkap

12/12/2018



Jakarta -Peneliti Institute for Development and Economic Finance (Indef) Bustanul Arifin mengungkapkan, mafia pangan di Indonesia, seperti mafia daging sapi, mafia beras, mafia bawang, terasa keberadaanya, tapi sulit untuk membuktikannya secara hukum. Sebab, hukum Indonesia belum mengenalindirect evident alias bukti tidak langsung.

Menurutnya, mafia pangan sulit dibuktikan dengan bukti langsung alias bukti fisik, karena persekongkolan untuk mengendalikan harga dan pasokan dilakukan tanpa dokumen tertulis.

"Landasan hukum kita belum mengenal hal apa yang disebut indirect evident. Kita baru mengenal bukti fisik, bukti langsung. Mana ada orang yang bersekongkol memainkan harga ada bukti fisiknya?" ujar Bustanul ditemui di Kantor Indef, Jakarta, Senin (24/8/2015).

Ketiadaan landasan hukum untuk bukti tidak langsung ini, diperparah oleh lemahnya wewenang yang dimiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyadapan, sehingga sangat sulit untuk memperoleh bukti fisik. "Kalau saya usul, KPPU diberi kewenangan menyadap," kata Bustanul.

Dia berpendapat, mafia pangan memang ada di Indonesia. Indikatornya sangat jelas, sering terjadi pasokan melimpah, harga jatuh di tingkat petani, namun harga pangan di pasar tetap tinggi. 

"Kalau indikasinya, mafia itu ada. Bahasa ekonominya kartel, oligopoli, oligopsoni yang berusaha memengaruhi harga," paparnya.

Dia mencontohkan, anomali harga daging sapi dalam beberapa tahun terakhir sejak 2013, impor sapi dibuka selebar-lebarnya, pasokan melimpah, tapi harga tak pernah berada di bawah Rp 100.000/kg di pasaran. "Mana mungkin ada alasan ketika impor dibuka selebar-lebarnya tapi harga tidak turun?" ungkapnya.

Sebelumnya, KPPU mencatat ada 24 perusahaan penggemukan sapi atau feedloter yang terindikasi kartel sapi. Mereka diduga secara sengaja mengendalikan atau menahan pasokan sapi bakalan siap potong ke pasar atau Rumah Potong Hewan (RPH).

Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan, pihaknya sudah melaporkan temuan tersebut ke Presiden Jokowi, soal pengawasan pasar daging sapi di dalam negeri sejak 2013 lalu.

Dia mengatakan, ada 24 perusahaan di Jabodetabek yang terindikasi kartel harga, termasuk mengendalikan pasokan yang menyebabkan kelangkaan dan harga daging sapi jadi tinggi. Menurutnya soal data nama-nama perusahaan tersebut menjadi kewenangan dari majelis sidang KPPU yang akan dibentuk terkait kasus ini.

"Insya Allah minggu depan, awal September kita akan menyidangkan perusahaan-perusahaan yang terindikasi melakukan kartel itu. Yang kita sudah periksa ada 24 perusahaan. Jumlah pastinya ada dipenyidik kita," kata Rauf.

Dia mengatakan, pola distribusi perusahaan pemilik sapi potong di dalam negeri sejak 2013, relatif tak berubah. Menurut Rauf, mereka menahan pasokan sapi, sehingga daging menjadi langka dan harga naik. "Polanya sejak 2013 sampai sekarang sama, meskipun pemainnya ada yang berubah," kata Rauf.

Rauf mengatakan, bila terbukti maka sanksi yang diberikan kepada perusahaan pemilik sapi bermacam-macam antara lain, denda adminsitrasi, pencabutan izin. Dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, denda maksimal yang diatur hanya Rp 25 miliar. "Dugaannnya, indiksinya ke kartel itu," katanya.