Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

Editorial Koran Tempo: Interpelasi Kenaikan BBM

12/12/2018



http://koran.tempo.co/konten/2014/11/25/357843/Interpelasi-Kebijakan-BBM

Sungguh aneh manuver anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berupaya mengusik keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Mereka seolah tidak cemas atas besarnya subsidi untuk bensin dan solar yang makin lama makin besar dan membebani anggaran.

Para politikus dari partai politik yang dulu menyokong calon presiden Prabowo Subianto itu bahkan berancang-ancang menggunakan hak interpelasi. Manuver ini berlebihan dan terkesan "asal menyudutkan" pemerintah, yang beberapa waktu lalu menaikkan harga bensin dan solar sebesar Rp 2.000 sehingga masing-masing menjadi Rp 8.500 dan Rp 7.500. Prabowo sendiri sebelumnya justru menyokong langkah Presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM demi memangkas subsidi.

Siapa pun presidennya, akan sulit menghadapi postur anggaran saat ini. Tanpa memangkas subsidi BBM, Jokowi tak mungkin meningkatkan anggaran infrastruktur. Anggaran infrastruktur pada tahun ini hanya Rp 206 triliun. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015, angkanya bahkan lebih kecil lagi, yakni Rp 169 triliun. Bandingkan dengan dana yang dihabiskan untuk subsidi BBM, yang sampai Oktober lalu sudah mencapai Rp 148,6 triliun dari alokasi sebesar Rp 179,8 triliun. Angka ini belum termasuk subsidi listrik yang tahun ini dijatah Rp 68,69 triliun.

Anggota DPR semestinya memahami alasan pemangkasan subsidi itu, kecuali jika mereka berusaha mengaburkannya demi kepentingan politik atau popularitas partai. Soalnya, masyarakat tentu tidak suka kenaikan harga BBM beserta dampaknya yang membuat harga-harga barang dan jasa ikut melambung.

Pengusung interpelasi juga akan berada di atas angin karena mereka mayoritas. Jika mau, mereka bisa pula melangkah lebih jauh: menggunakan hak angket dan menyatakan pendapat buat menggerogoti legitimasi Presiden Jokowi. Hanya, bila semua itu dilakukan, demokrasi akan semakin jauh dari akal sehat. Nafsu kekuasaan lebih mendominasi ketimbang kepentingan membenahi negara lewat anggaran yang sehat.

Penduduk kita jelas mengkonsumsi BBM dalam jumlah jauh lebih besar dibanding produksi minyak dalam negeri. Anehnya, negara masih mensubsidi BBM. Dan ketika muncul keberanian untuk mengurangi subsidi itu, kalangan DPR justru menentangnya.

Data menunjukkan, selama 2001-2014, negara kita sudah menghabiskan subsidi sekitar Rp 1.496,4 triliun. Angka ini fantastis. Alokasi subsidi terbesar diberikan selama era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), yang mencapai Rp 1.297,8 triliun atau rata-rata Rp 129,7 triliun setiap tahun. Presiden sebelumnya, Megawati, membakar subsidi BBM rata-rata Rp 66,2 triliun setiap tahun.

Bayangkan bila dana yang dihamburkan-hamburkan itu dulu dipakai untuk membangun jalan, jembatan, pelabuhan, dan sarana transportasi. Mungkin, negara kita sekarang telah jauh lebih maju. Pemikiran yang sehat seperti ini seharusnya mendasari cara anggota DPR berpolitik, dan bukan bersikap sekadar "asal beda" dengan pemerintah.