Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas 29 Oktober): Perilaku DPR 2014 Memalukan

12/12/2018



 

Perilaku Dewan Perwakilan Rakyat 2014-2019 dinilai sudah sangat memalukan. Belum satu bulan mengucapkan sumpah, anggota DPR dua kali ricuh di rapat paripurna. Sumber kericuhan pun sama, yaitu berkutat pada perebutan kursi pimpinan, bukan persoalan substansial rakyat.

”Ini sangat memalukan, menyakitkan, bahkan mengkhawatirkan,” kata tokoh gerakan reformasi Ray Rangkuti, yang juga Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia, Selasa (28/10).

Menurut Ray, perebutan kursi pimpinan alat kelengkapan Dewan yang terjadi di DPR menunjukkan bahwa pertarungan politik dilakukan dengan mengabaikan etika dan kepentingan publik.

Ronald Rofiandri, Direktur Pemantauan, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, juga menilai, kekisruhan itu menunjukkan praktik politik jangka pendek. ”Ini memperlihatkan langkah kemunduran,” ujarnya.

Jungkir balikkan meja

Dalam rapat paripurna, kemarin, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Hasrul Azwar sampai menjungkirbalikkan meja karena meradang ketika Wakil Ketua DPR Agus Hermanto dari Demokrat, selaku pemimpin rapat, tidak menggubris penjelasan darinya. Karena ricuh, rapat paripurna pun langsung ditutup.

Rapat paripurna itu membahas penetapan alat kelengkapan Dewan. Kekisruhan berawal saat pimpinan rapat mengakui keabsahan daftar nama anggota Fraksi PPP yang disampaikan anggota Fraksi PPP, Epyardi Asda. Sementara itu, Hasrul menilai daftar nama itu tidak sah karena bukan dikeluarkan oleh DPP PPP hasil Muktamar PPP di Surabaya yang menetapkan Romahurmuziy sebagai ketua umum baru menggantikan Suryadharma Ali.

Sebaliknya, Epyardi Asda yang memasukkan daftar nama itu ke pimpinan DPR justru menganggap status Hasrul yang tidak sah. ”Muktamar (PPP) Surabaya itu tidak sah. Bahkan, ada SK pemberhentian Hasrul Azwar oleh DPP PPP,” ujar Epyardi yang merupakan pendukung Suryadharma Ali.

Menurut Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang mendampingi Agus di meja pimpinan, berkas yang masuk ke pimpinan DPR itu memang masih memperlihatkan kepemimpinan PPP di tangan Suryadharma Ali.

Sekretaris Fraksi PPP Arwani Thomafi, begitu rapat paripurna dibuka, sebenarnya juga telah meminta pemimpin sidang memperjelas dahulu asal-usul daftar nama tersebut. ”Dari rapat paripurna sebelumnya, belum ada itu pergantian Ketua Fraksi PPP,” ujarnya.

Setelah Arwani, banyak anggota Fraksi PPP juga melancarkan interupsi, menolak intervensi terhadap permasalahan internal PPP. ”(Daftar) yang tadi dibacakan tidak sah. Jadi harus dirumuskan kembali oleh DPP yang sah,” ujar anggota Fraksi PPP, Reni Marlinawati.

Hasrul juga sempat mengecam sikap pimpinan DPR. ”Pimpinan DPR kan tahu ada konflik di Fraksi PPP. Kenapa tidak mengundang kami? Kenapa pimpinan tidak mengundang kami sebagai ketua fraksi,” ujarnya.

”Bapak (pimpinan Dewan) jangan berpihak,” kata Hasrul lagi.

Dia juga menegaskan, 34 dari 39 anggota Fraksi PPP mendukungnya. Dia juga sempat meminta waktu untuk menjelaskan adanya Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan DPP PPP. Namun, Agus Hermanto kembali tidak mengabulkan permohonan itu.

Hasrul pun kemudian langsung maju dan naik ke podium meja pimpinan DPR. Dia memperlihatkan surat dari Kemenkumham itu kepada Agus Hermanto dan Fahri Hamzah, tetapi juga tidak digubris.

Fraksi PPP diperebutkan

Masuknya daftar nama anggota Fraksi PPP ke pimpinan DPR itu memang memiliki makna yang sangat strategis dalam perebutan pimpinan alat kelengkapan DPR.

Partai-partai non-pemerintah (Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS) yang menguasai 313 kursi (56,5 persen), sejak awal, memang menghendaki pemilihan pimpinan alat kelengkapan dilakukan dengan sistem paket agar bisa ”menyapu bersih” semua pimpinan alat kelengkapan DPR setelah berhasil meraih semua kursi pimpinan DPR.

Sementara itu, partai-partai pendukung pemerintah (PDI-P, PKB, Nasdem, Hanura, dan PPP) yang memiliki 247 kursi (43,5 persen) menghendaki pemilihan pimpinan alat kelengkapan DPR dibagi secara proporsional kepada semua fraksi, seperti yang sudah terjadi pada dua periode sebelumnya.

Karena tak tercapai kesepakatan jalan tengah, untuk menghambat proses sapu bersih itu, lima partai pendukung pemerintah memboikot tidak menyerahkan daftar nama anggota komisi. Dengan begitu, rapat-rapat komisi tidak bisa digelar karena syarat kuorum dihadiri lebih dari separuh fraksi tidak terpenuhi.

Masuknya daftar nama dari Fraksi PPP, kemarin, bisa menjadi pintu masuk dilaksanakannya pemilihan pimpinan alat kelengkapan.

Oleh karena itu, dalam sidang paripurna kemarin, pimpinan DPR ataupun anggota DPR yang berasal dari partai non-pemerintah mendukung masuknya daftar nama dari PPP tersebut. Sebaliknya, anggota DPR dari partai pemerintah meminta pimpinan DPR tidak terburu-buru mengesahkannya.

Sikap Menkumham

Secara terpisah, Ketua Umum PPP M Romahurmuziy dan Sekretaris Jenderal PPP Aunur Rofik menegaskan, Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014 tanggal 28 Oktober 2014 telah mengesahkan perubahan susunan kepengurusan DPP PPP.

Oleh karena itu, seluruh hasil keputusan Muktamar VIII PPP, 15-17 Oktober 2014, di Surabaya telah sah berdasarkan ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2008 jo UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Dengan demikian, mulai hari ini, DPP PPP hanya satu, yaitu di bawah kepemimpinan Romahurmuziy dan Sekjen Aunur Rofik.

Secara terpisah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly juga membenarkan telah mengeluarkan surat keputusan tentang pengesahan perubahan susunan kepengurusan DPP PPP. ”Saya sudah tanda tangan sekitar pukul 13.00,” ujarnya, di Jakarta, kemarin.

Menurut Yasonna, dikeluarkannya surat keputusan itu didasari pada kajian yang telah dilakukan oleh Kemenkumham. ”Muktamar adalah keputusan tertinggi PPP. Pengambilan keputusan di muktamar juga sudah kuorum, diambil lebih dari 1.000 orang yang memiliki hak suara. Oleh karena itu, kami melihat keputusan muktamar tersebut sudah sah,” lanjutnya.

Jika ada yang tidak setuju dengan keputusan itu, Yasonna mempersilakan pihak tersebut menggugatnya ke pengadilan tata usaha negara. ”Kalau tidak puas, ya silakan tempuh prosedur berlaku,” katanya.

Politisi PDI-P itu juga membantah keputusannya tersebut semata untuk memperkuat posisi PPP yang telah bergabung dengan pemerintah.

”Keputusan itu tidak ada urusan dengan PPP masuk ke KIH (Koalisi Indonesia Hebat). Saya hanya ingin kalau ada masalah segera dituntaskan. Seperti instruksi Presiden, jangan menunda masalah, kalau bisa diselesaikan ya segera selesaikan,” tuturnya.