Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) 5,2 Triliun Anggaran DPR 2015: Mengawal Dana Rumah Aspirasi

12/12/2018



Membangun rumah aspirasi merupakan salah satu impian para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, tak terkecuali 560 anggota Dewan saat ini. Sejak lima tahun lalu, DPR berkeinginan membangun rumah aspirasi dengan memakai anggaran negara. Kini, dengan tambahan anggaran Rp 1,635 triliun untuk DPR dari APBN Perubahan 2015, angan itu hampir terwujud.

Tambahan anggaran untuk DPR yang disahkan Jumat (13/2) bagaikan ”lampu Aladdin” yang mengabulkan impian terpendam para wakil rakyat tersebut.

Ke depan, setiap anggota DPR yang ingin membangun rumah aspirasi di daerah pemilihan (dapil) akan mendapat suntikan dana Rp 150 juta per tahun, setara dengan Rp 12,5 juta per bulan. Dana rumah aspirasi itu dialokasikan untuk biaya sewa rumah dan keperluan operasional rumah aspirasi.

Semula, dalam rapat panitia kerja (panja) Badan Anggaran DPR dan Kementerian Keuangan, 9 Februari lalu, anggaran Rp 1,635 triliun itu hanya dialokasikan untuk penambahan tenaga ahli dan kebutuhan kesekretariatan DPR. Belakangan, setelah dibahas dua kali dalam rapat panja Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR, anggaran tersebut ikut dipakai
untuk rumah aspirasi anggota DPR di dapil.

”Rumah aspirasi dibutuhkan anggota DPR untuk mendekatkan diri dengan konstituen dan menyerap aspirasi. Tujuannya, kan, untuk rakyat, tidak apa-apa dibiayai uang negara,” ujar Ketua BURT dari Fraksi Partai Golkar Roem Kono.

Selain di APBN-P 2015, usulan dana rumah aspirasi juga semakin dikuatkan dalam Tata Tertib DPR. Pasal 213 Tatib DPR menyatakan, rumah aspirasi didukung oleh anggaran yang dibebankan pada anggaran DPR. ”Ini perintah undang-undang, tidak ada yang dilanggar dengan alokasi dana untuk rumah aspirasi ini,” kata Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Taufik Kurniawan.

Kontroversial

Jalan menuju terwujudnya dana rumah aspirasi itu tidak mulus, bahkan diwarnai kontroversi. Usulan rumah aspirasi yang dibiayai negara pertama kali mencuat saat diusulkan BURT DPR periode 2009-2014 pada Agustus 2010. Menurut hitungan BURT, anggaran yang dibutuhkan saat itu diperkirakan Rp 209 miliar atau Rp 374 juta untuk setiap anggota DPR.

Penolakan pun mulai bermunculan ketika pengadaan rumah itu dibebankan pada APBN. Tidak hanya dari publik, penolakan juga datang dari sejumlah partai politik. Berdasarkan catatan Kompas, pada 2010, ada sejumlah fraksi partai politik menolak wacana tersebut, di antaranya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PAN, dan Partai Golkar.

Bahkan, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri saat itu mengatakan, pembangunan rumah aspirasi dengan memakai dana di APBN memunculkan banyak masalah. ”Sekali lagi,
coba dipertimbangkan. Kalau saya, lebih baik
uang itu digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat,” kata Megawati (Kompas, 5 Agustus 2010).

Akibat kontroversi dan penolakan di sana-sini, wacana tersebut pun hilang begitu saja. Apalagi, tak lama setelah polemik dana rumah aspirasi, muncul usulan baru dari Senayan yang tak kalah kontroversial, yaitu pembangunan
gedung baru DPR dengan biaya Rp 1,6 triliun.

Kini, impian terpendam tersebut hampir terwujud. Sekretaris Jenderal DPR Winantuningtyas Titi mengatakan, DPR tinggal melaporkan rencana rincian alokasi Rp 1,635 triliun tersebut kepada Menteri Keuangan pada masa sidang ketiga yang dimulai 23 Maret mendatang. Setelah itu, anggaran dapat dicairkan dan dibagikan kepada anggota DPR yang mengajukan proposal.

Sambutan dari anggota DPR sejauh ini relatif positif. Sejumlah anggota DPR yang dulu menentang wacana dana rumah aspirasi juga berbalik arah. Taufik Kurniawan mengatakan, penolakan F-PAN dulu karena belum adanya payung hukum resmi tentang rumah aspirasi. ”Sekarang, kan, sudah ada. Masyarakat jangan khawatir, penggunaannya akan dipertanggungjawabkan secara terbuka,” kata Taufik.

Anggota F-PDIP, Budiman Sudjatmiko, yang dulu juga sempat menolak dana rumah aspirasi lewat APBN mengungkapkan, sebenarnya rumah aspirasi memang bisa dikelola dengan uang pribadi. ”Tetapi, dengan bantuan Rp 12,5 juta per bulan dari APBN itu, saya bisa meningkatkan pelayanan di Rumah Aspirasi Budiman milik saya,” katanya.

Publik harus awasi

Di sisi lain, sejumlah pakar dan pemerhati parlemen meminta publik untuk terus mengawasi penggunaan dana rumah aspirasi tersebut. ”Harus transparan karena sumbernya dari APBN, uang rakyat, dan mereka adalah wakil rakyat,” tutur Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya.

Bahkan, peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, menegaskan, jika masih memungkinkan, dana rumah aspirasi sebaiknya dibatalkan. Sebab, rumah aspirasi seharusnya dikelola dari pendapatan pribadi anggota DPR atau dari dana partai politik.

Seperti apa nanti keputusan DPR soal dana rumah aspirasi, mari menunggu sampai masa sidang ketiga 23 Maret mendatang.