”LANGIT masih biru, tetapi padi semakin menguning hingga ke pelosok-pelosok desa,” kata Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie saat perayaan Hari Ulang Tahun Ke-46 Partai Golkar di Kemayoran, Jakarta. Hari itu, 20 Oktober 2010, Demokrat sebagai partai pemerintah masih berkuasa, tetapi pengaruh Golkar telah menjangkau pelosok negeri.

Tahun 2011, Golkar mewujudkan ambisi menguningkan daerah dengan memenangi 57 persen pemilu kepala daerah. Hanya satu dekade setelah kejatuhan Orde Baru, Golkar, yang diidentikkan dengan Orde Baru, kembali berkuasa. Bukan sekadar membangun dari desa, Golkar ibaratnya berkuasa dari desa.

Kemenangan di banyak pilkada langsung dinilai pengagum Golkar sebagai bukti melimpahnya stok kader berkualitas. Kemenangan itu membuktikan kejayaan Golkar meski ketika itu belum bersinergi dengan Koalisi Merah Putih (KMP).

Namun, bagi pembenci Golkar, dominasi Golkar di pemerintah daerah dan capaian sebagai pemenang kedua Pemilu Legislatif 2014 dipandang sebagai hasil dari serangan atas kasus dana talangan (bail out) Bank Century. Meski cuci tangan atas keruntuhan Demokrat, Golkar menegaskan, serangannya terhadap kasus Century adalah buah kekritisannya.

Padahal, seminggu setelah terpilih menjadi Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar dalam Munas VIII di Riau, Aburizal Bakrie sepakat mendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kader Golkar, Agung Laksono, Sharif Cicip Sutardjo, dan MS Hidayat, pun duduk dalam kabinet SBY-Boediono. Demokrat seolah ”digergaji” oleh sesama penghuni dari dalam rumah itu sendiri.

Langkah Golkar

Langkah Partai Golkar dalam era Reformasi memang tidak pernah pasti. Sepuluh tahun silam, pada Agustus 2004, Golkar menginisiasi Koalisi Kebangsaan. Koalisi itu didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Damai Sejahtera, Partai Bintang Reformasi, Partai Karya Peduli Bangsa, dan PNI Marhaenisme.

Koalisi Kebangsaan membela calon presiden Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz, yang dituding SBY mengarah pada politik oligarki. ”Berbahaya jika parpol dan segelintir elite mencoba mengarahkan dan mengatur proses demokrasi yang berjalan,” ujar SBY saat itu.

Namun, Akbar Tandjung menanggapi tudingan SBY dengan santai. Dari bukunya, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi (2007), Akbar menjelaskan, pendirian Koalisi Kebangsaan untuk tujuan baik.

Ketika ada Koalisi Kerakyatan di lembaga eksekutif dan di sisi lain ada Koalisi Kebangsaan di lembaga legislatif, dapat terbangun mekanisme checks and balances. Tujuan mekanisme itu ialah pemerintahan yang demokratis, terbuka, dan akuntabel.

Namun, hasil Munas VII di Bali, Desember 2004, berkata lain. Jusuf Kalla mengalahkan Akbar Tandjung dalam perebutan jabatan Ketum Golkar. Golkar ”dibelokkan” untuk mendukung pemerintahan SBY-Kalla. Golkar batal beroposisi!

”Pak Ical (Aburizal) ketika itu meminta saya membatalkan niat menjadi calon ketum Golkar karena hanya Pak Kalla yang dinilai dapat mengimbangi Pak Akbar,” kata Ketum Golkar versi Munas Jakarta, Agung Laksono, Senin lalu.

Ketika Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketum Partai Golkar (2004-2009), kata Agung, rivalitas Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan di DPR berakhir. ”Stabilitas politik tercapai, pembangunan pun berjalan,” ujar Agung yang menjadi Ketua DPR 2004-2009.

Kultur Golkar memang kultur pemerintah. Setidaknya, selama sekitar 30 tahun dari 50 tahun perjalanan hidupnya, ”partai beringin” ini menyokong Orde Baru. Terlebih lagi setelah Jenderal Soeharto menjadikan PNS dan militer sebagai perpanjangan tangan Golkar.

Namun, kata David Reeve dalam buku Golkar: Sejarah yang Hilang (2014), sejak tahun 1968, Golkar dibajak demi pemenangan pemilu bagi Orde Baru dan untuk merestrukturisasi perpolitikan Indonesia.

Padahal, awalnya Golkar didirikan untuk menjadi alternatif parpol lain, juga untuk mengimbangi Partai Komunis Indonesia. ”Golkar pernah memiliki gagasan bagus dalam perjalanan awalnya. Tetapi, ketika organisasi makin baik, justru gagasan makin melemah”, tulis Reeve.

Melihat perjalanan hidup Golkar di masa lalu, kemudian mencermati manuver Golkar di era Reformasi, sedikit banyak timbul prasangka. Boleh jadi arah Golkar tidak pernah ditentukan oleh kader dari tingkat paling bawah, tetapi sekadar dikooptasi oleh elite Golkar.

Hasrat elite Golkar

Arah beringin condong ke kiri atau ke kanan boleh jadi tergantung dari hasrat para elite Golkar. Mungkinkah ada demokrasi dalam penentuan arah Golkar? Sulit dijawab walau mungkin terpenuhilah syarat prosedural dan legalitas.

Lihatlah betapa Golkar yang sempat diarahkan oleh Akbar dikoreksi Kalla untuk mendukung pemerintah. Kini, akibat Megawati hanya mesam-mesem saat ”bernegosiasi” dengan elite Golkar pada pra-Pemilu Presiden 2014, akhirnya Aburizal menjadikan Partai Golkar sebagai partai ”penyeimbang”.

Dengan ”kecanggihan” elite Golkar untuk bermanuver, dengan pengalaman mendirikan Koalisi Kebangsaan, jangan kaget jika Golkar merupakan ”otak” di balik pendirian KMP. Kekuatan Golkar sebagai penyeimbang makin dahsyat dengan KMP.

Namun, benarkah arah Partai Golkar sudah final? Belum 100 persen. Munas Golkar Jakarta sejak Sabtu (6/12) hingga Senin (8/12) memilih Agung Laksono sebagai Ketum Golkar. Munas Jakarta pun menegaskan dukungan terhadap Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Perjalanan sejarah yang dapat menentukan siapa yang terkuat antara Munas Bali dan Munas Jakarta. Akhir perseteruan itu yang menentukan ke mana arah Golkar.

Manuver Golkar

Lagi pula, sungguhkah kader Golkar yang menjabat kepala daerah ingin menjadi penyeimbang? Belum tentu. Apalagi, kepala daerah harus berhubungan dengan pemerintah pusat, setidaknya dalam hal anggaran.

Jangan-jangan sinergi Golkar dengan KMP—dengan skenario pilkada via DPRD—demi menyapu bersih posisi kepala daerah. Di daerah lumbung suara Golkar, elite Golkar menjadi kepala daerah, di lumbung suara partai lain, Golkar tetap berkuasa berkat KMP.

Kalau dugaan itu benar, elite Golkar sungguh lihai. Tidak sekadar jadi penyeimbang, Golkar juga dapat ”menggergaji pohon lain” di KMP. Golkar pun sempat silang pendapat dengan Demokrat, pendukung Perppu Pilkada Langsung.

Akan tetapi, dengan derasnya ”tekanan” publik, akhirnya, Selasa lalu, Aburizal ”berkicau” untuk mendukung pilkada langsung. Benarkah sikap Aburizal sudah final? Belum tentu.

Namun, ketika bersikeras menjadi penyeimbang dengan menolak pilkada langsung, Golkar tak akan berhadapan dengan koalisi atau parpol lain, tetapi langsung dengan rakyat!