Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Jelang Fit Proper, Badrodin Jaring Aspirasi Publik

12/12/2018



Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisaris Jenderal Badrodin Haiti terus meningkatkan koordinasi dengan sejumlah pihak untuk menyerap aspirasi dan memperbaiki komunikasi. Setelah bertemu dengan pimpinan KPK Jumat lalu, pada Minggu (22/2) Badrodin bertemu dengan puluhan akademisi.


Hadir dalam pertemuan yang digelar di Markas Besar Polri ini puluhan akademisi dan alumni sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, seperti Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara. Sementara dari jajaran Polri hadir antara lain Badrodin Haiti, Inspektorat Pengawasan Umum Polri Komjen Dwi Priyatno, dan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Budi Waseso.

Dalam acara yang berlangsung pukul 10.30-12.00 ini, para akademisi diberikan kesempatan untuk berdiskusi mengenai langkah penegakan hukum, terutama terkait dugaan kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Polri.

”Kami harus memperbaiki pola komunikasi dengan masyarakat sebagai upaya pencegahan pelanggaran hukum. Saya berkomitmen menjadikan Polri lebih bersih dan lebih baik,” ujar Badrodin.

Komunikasi dengan masyarakat diperlukan, lanjut Badrodin, untuk menerima masukan terkait sistem penegakan hukum di Polri yang harus diperbaiki. Hal itu tak lepas dari tugas Polri sebagai pelaksana hukum.

Menurut Badrodin, komunikasi ini juga untuk meningkatkan koordinasi serta soliditas antara Polri dan publik. Komunikasi publik ini dapat membuat Polri lebih baik. ”Kondisi Polri merupakan cermin peradaban bangsa. Kami memerlukan masukan dari masyarakat,” katanya.

Kepercayaan publik
Imam Prasodjo, salah satu wakil akademisi yang hadir dalam acara itu, mengharapkan kepemimpinan Polri yang baru dapat memperkecil jarak antara Polri dan masyarakat. Dia berharap Polri bersedia melakukan komunikasi langsung ke universitas. Cara itu akan efektif untuk menjelaskan kondisi Polri yang sebenarnya kepada masyarakat.

”Polri harus aktif menjelaskan kasus hukum yang terjadi dengan KPK. Hal itu diperlukan untuk meredam gejolak, serta mendapatkan kembali kepercayaan publik,” kata Imam.

Imam menambahkan, Polri dan KPK saling membutuhkan. KPK membutuhkan penyidik dari Polri, sementara Polri memerlukan koordinasi dengan KPK terkait pemberantasan korupsi yang akan berdampak pada peningkatan kepercayaan publik.

Budi Waseso menyatakan, pihaknya telah melakukan proses hukum sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk dalam memeriksa pimpinan KPK nonaktif Bambang Widjojanto. Seandainya ada dugaan pelanggaran, dia mempersilakan masyarakat melaporkan hal itu kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau melalui divisi internal Polri, yakni Divisi Profesi dan Pengamanan.

”Proses pemeriksaan Bambang Widjojanto kami lakukan sesuai prosedur hukum. Kalau hal itu dianggap pelanggaran oleh Komnas HAM, silakan ditindaklanjuti. Saya siap bertanggung jawab,” ujar Budi.

Sementara itu, Pengurus Wilayah Ikatan Alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Jawa Timur, menggelar aksi pengumpulan dukungan baik kepada KPK maupun Polri. Mereka meminta KPK untuk tidak dikriminalisasi dan reformasi birokrasi institusi Polri segera dituntaskan. ”Kami ingin kedua lembaga itu bangkit. Jangan mau diadu domba para politisi,” kata Ketua Pengurus Wilayah Ikatan Alumni ITS Jawa Timur Arif Wisnu.

Dalam aksinya, Arif Wisnu dan kawan-kawan membentangkan dua spanduk untuk ditandatangani warga yang mengunjungi area hari bebas kendaraan bermotor di Jalan Darmo, Surabaya. Ada dua spanduk panjang yang mereka sediakan, masing-masing untuk KPK dan Polri. Dalam tiga jam, kedua spanduk itu penuh terisi tanda tangan. Spanduk itu akan diserahkan ke KPK dan Polri.

Kepolisian sebagai salah satu garda terdepan penegakan hukum dipandang masih belum menjadi sosok panutan yang diharapkan publik. Gambaran proses kerja maupun hasil kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia sepanjang waktu masih tampak belum memuaskan dan digelayuti berbagai catatan.
Pandangan miring terhadap aparat Polri tampaknya berawal dari titik perjumpaannya dengan kepentingan publik. ”Titik” itu bisa berupa kasus kecil, seperti saat bukti pelanggaran ”damai” di jalan raya, percaloan dalam pengurusan surat izin mengemudi, hingga peran polisi saat terjadi kasus pidana. Dari jajak pendapat terbaru, 57-65 persen responden menyatakan polisi masih mudah disuap, berbelit-belit dalam mengurus kasus, justru menambah masalah dan cenderung meminta imbalan saat memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Penilaian itu tampaknya terakumulasi dalam jangka waktu yang panjang. Setidaknya, hal itu terekam dari komposisi penilaian kepuasan responden atas proses kerja aparat kepolisian yang relatif tak banyak beranjak dalam satu dekade pelaksanaan jajak pendapat. Akibatnya, tumbuh semacam apatisme terhadap kinerja Polri dalam menegakkan keadilan dan menciptakan ketertiban di masyarakat. Citra baik polisi pun menurut penilaian publik hasil jajak pendapat Kompas dari kurun waktu yang sama, kurang menunjukkan perbaikan yang berarti.

Stagnasi citra positif kepolisian itu agak berbeda dengan citra TNI. Sebelum era reformasi, citra militer yang lekat dengan Orde Baru juga menuai pandangan skeptis publik. Sepak terjang aparat militer yang seringkali condong pada kekuasaan, mudah dikenali dan dialami secara langsung oleh masyarakat. Akibatnya, publik mudah memberi penilaian negatif. Namun, rangkaian opini responden jajak pendapat ini mendapati, citra TNI kini makin membaik.

Kepolisian yang sejak lebih satu dekade terakhir berupaya mengedepankan konsep kepolisian yang berwajah sipil, tampaknya belum mampu membuat lembaga ini mendulang pandangan positif publik. Alih-alih menjadi korps penegak hukum yang disegani karena integritas dan dedikasinya, mencuatnya sebuah kasus saja (misalnya kasus yang terkait dengan Komisaris Jenderal Budi Gunawan) langsung membuat mayoritas suara publik berpihak ke kubu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam konflik tersebut, lebih dari dua tiga-perempat bagian responden dalam jajak pendapat mengaku membela posisi KPK ketimbang polisi.

Apresiasi
Rentannya citra Polri di mata publik juga terkait erat dengan penilaian bahwa pemihakan aparat kepolisian dalam penyelesaian sebuah kasus tak lepas dari masuknya kepentingan
elite. Tarikan antara kepentingan publik dengan kepentingan pribadi dan politik masih sangat kuat terlihat sebagaimana dalam persoalan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri pada bulan lalu. Hasil jajak pendapat pekan lalu membuktikan, mayoritas publik menilai baik KPK, dan terlebih Polri memiliki kepentingan politik di luar hukum. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik terulang di masa depan karena kepentingan itu tetap ada.

Kasus seperti yang terkait dengan Budi Gunawan, juga memperkuat kesan bahwa dalam penegakan hukum, sisi pedang hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Publik cenderung ingat kasus pencurian tiga butir biji kakao yang menimpa nenek Minah ketimbang prestasi aparat kepolisian khususnya Densus 88 dalam memberantas teroris. Publik juga lebih menyalahkan polisi yang memperkarakan Lanjar Sriyanto, warga Solo yang lalai mengendarai sepeda motor dan menewaskan istrinya, ketimbang usaha sepanjang waktu polisi dalam menjaga ketertiban lalu lintas.

Padahal, catatan jajak pendapat menunjukkan apresiasi publik kepada Polri bukannya nihil. Pada periode-periode tertentu seperti saat berbagai peristiwa peledakan bom terjadi (bom Bali I dan II), publik mengapresiasi peran polisi yang mampu dengan cepat menuntaskan kasus dan mengembalikan rasa aman di masyarakat. Pada saat aparat kepolisian menjadi korban sejumlah penembakan oleh teroris seperti halnya yang terjadi di Pondok Aren, Tangerang, publik juga memberi dukungan moral. Catatan jajak menunjukkan tingkat kepuasan yang memadai atas kinerja polisi di sejumlah kasus tersebut.

Namun, berbeda dengan situasi itu, pada saat ”damai” seperti saat ini kebutuhan psikologis publik tampaknya adalah ditangkapnya koruptor, khususnya koruptor kasus-kasus kakap yang menyengsarakan negara. Hal ini tecermin dari perubahan jawaban responden atas pertanyaan ”persoalan bangsa terbesar” yang diajukan dalam jajak pendapat selama kurun waktu yang panjang. Jawaban kata ”korupsi” menjadi yang paling konsisten disebutkan bagian terbesar responden menggantikan jawaban lain yang lazim muncul di awal reformasi seperti ”keamanan/rasa aman” atau ”ekonomi/sembako”.

Keberpihakan
Munculnya apresiasi publik kepada Polri, terjadi saat polisi memiliki keberpihakan kepada kepentingan publik dan menunjukkan integritas yang memadai. Masalahnya, tak sedikit kejadian di mana dua dalil itu dimanipulasi di dalam untaian legitimasi ”demi kepastian hukum”. Menggunakan dalil legalitas normatif, hukum positif dikenakan secara tegas, tetapi lepas dari konteks rasa keadilan yang berkembang.

Itulah yang dilihat publik dalam pengenaan sejumlah dakwaan kepada para pimpinan KPK beberapa waktu lalu. Jajak pendapat ini mencatat, mayoritas publik ada di sisi KPK ketimbang Polri dalam konteks pengenaan dakwaan itu, meski tak menafikan adanya wacana pemeriksaan oleh Komisi Etik KPK terhadap komisioner KPK yang diduga bermasalah.

Kepolisian perlu bekerja sama dengan institusi lain, seperti KPK, kejaksaan, dan kehakiman. Dalam hal pemberantasan korupsi, responden masih tidak yakin dengan sinergi antara KPK dan kepolisian. Meski demikian, ada angin segar yang dibuat Presiden Joko Widodo dengan membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri dan menunjuk Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon Kepala Polri. Harapan publik adalah komposisi Polri dan KPK yang baru memperbaiki kualitas komunikasi Polri-KPK, sehingga pamor penegakan hukum dan pemberantasan korupsi bersinar kembali.

Keliru
Dalam diskusi yang digelar Koalisi Pemantau Peradilan, Minggu, di Jakarta, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Bernard Arief Sidharta berpendapat, hakim Sarpin Rizaldi keliru menafsirkan pertimbangan saksi ahli saat memimpin persidangan praperadilan yang dimohon oleh Budi Gunawan. Dalam putusannya, Sarpin menyatakan, langkah KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka adalah tidak sah.

Bernard yang menjadi saksi ahli dalam persidangan praperadilan itu menyatakan, dalam kesaksiannya dia menjelaskan tujuan hukum hanya tercapai jika sesuai kaidah hukum. Dalam kesaksiannya, dia juga menjelaskan, untuk menemukan jalan keluar, hakim bisa menggunakan pasal lain. Namun, pasal itu harus sesuai dengan konteks masalah yang digugat.

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, berharap Mahkamah Agung (MA) menerima permohonan kasasi yang akan diajukan KPK terkait putusan praperadilan terhadap Budi Gunawan, meski Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA menyatakan bahwa praperadilan bukan obyek kasasi. Ini karena menurut hasil penelitian LeIP, antara 2009-2011 terdapat sekitar 130 perkara yang mengajukan kasasi, padahal secara normatif tidak dibenarkan.

Jika MA menolak kasasi dari KPK, lanjut Asril, MA dapat dinilai mendiamkan kekacauan hukum dan melakukan diskriminasi.