Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Kedua Koalisi Segera Cari Solusi

12/12/2018



Anggota Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sebaiknya duduk bersama mencari solusi dari kisruh politik di DPR. Kedua koalisi perlu bermusyawarah di internal DPR untuk mencari titik temu mencairkan kebekuan politik demi kepentingan yang lebih besar, yakni kesejahteraan rakyat Indonesia.

Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla menyampaikan hal itu di sela-sela membuka Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama, di Jakarta, Sabtu (1/11). Wapres Kalla meyakini, musyawarah internal DPR bisa menghasilkan solusi terbaik untuk kepentingan rakyat Indonesia.

”Kita tidak ingin ada (DPR) tandingan. Oleh karena itu, semua (harus) dimusyawarahkan. Kita harapkan persatuan. Persatuan ini bisa tercapai kalau ada musyawarah yang adil,” kata Wapres.

Rais Am PBNU KH Mustofa Bisri saat pembukaan Munas NU menyatakan, dualisme DPR menunjukkan wakil rakyat belum move on (bergerak). Ia pun meminta Wapres Kalla membantu penyelesaian dualisme DPR.

”Wakil rakyat di DPR itu dalam bahasa gaulnya belum move on. Oleh karena itu, kami amanatkan kepada Wapres agar bisa menjadikan DPR kita seperti layaknya Dewan Perwakilan Rakyat,” kata Mustofa.

Para anggota DPR dari kedua koalisi pun sesungguhnya menginginkan kisruh politik tidak berlarut. Mereka siap bermusyawarah mencari solusi demi efektivitas DPR dalam fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mahfudz Siddiq, dan Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Effendi Simbolon, mengungkapkan ini secara terpisah seusai diskusi bertajuk ”Politik Ribut di DPR”, di Jakarta, Sabtu. Mahfudz di Koalisi Merah Putih (KMP) dan Effendi di Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

”Secara informal, komunikasi politik terus berlangsung. Kami selalu membuka diri untuk mencari solusi dari dinamika yang sekarang sedang terjadi di DPR,” ujar Mahfudz.

Effendi juga menyampaikan hal senada sambil meminta KMP tidak hanya menawarkan lima kursi pimpinan alat kelengkapan DPR untuk KIH. Menurut Effendi, tawaran itu belum menunjukkan representasi 44 persen kursi KIH di DPR. Idealnya, KIH mendapatkan 22 kursi dari total 63 kursi pimpinan alat kelengkapan DPR.

”Kami ingin pemilihan pimpinan alat kelengkapan DPR mempertimbangkan asas proporsional. Tidak masalah kalau jumlah KMP di pimpinan alat kelengkapan DPR lebih banyak,” ujar Effendi.

Menurut Mahfudz, jumlah pimpinan alat kelengkapan DPR untuk KIH masih bisa dimusyawarahkan. Mahfudz mengatakan, KMP bingung harus berkomunikasi dengan siapa yang mewakili kelima fraksi di KIH.

”Semua urusan itu bisa dikomunikasikan untuk bersama-sama mencari titik temu. Jika urusan di internal mereka sudah beres, kami siap berkomunikasi lagi. Saya yakin pasti ada solusi,” lanjut Mahfudz.

Keluwesan komunikasi

Tekad politisi mencari jalan keluar untuk mengatasi kebekuan politik di DPR disambut baik. Ahli komunikasi politik Universitas Paramadina, Jakarta, Hendri B Satrio, mengatakan, asas proporsional dalam pemilihan pimpinan alat kelengkapan menjadi solusi kisruh DPR. Hendri berharap, KMP membuka diri terhadap permintaan KIH yang harus direspons KIH dengan lebih luwes menjalin komunikasi politik bersama KMP.

”Kegagalan KIH memperoleh ’kue’ pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR lebih karena komunikasi politik mereka tidak luwes,” ujar Hendri.

Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri menilai, kisruh politik di DPR harus menjadi pelajaran bagi anggota parlemen untuk tidak lagi menerapkan sistem paket dalam pemilihan pimpinan.

”Dengan asas proporsional, DPR tidak akan dikuasai satu kelompok saja. Selain itu, pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR yang terpilih juga bisa netral dalam menjalankan tugas karena tidak mementingkan atau mewakili kepentingan kelompoknya semata,” ujar Ronald.