Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Ketua DPD Irman Gusman: UU MD3 Tabrak Putusan MD3

12/12/2018



Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Irman Gusman mengungkapkan, pengaturan tentang DPD di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menabrak putusan Mahkamah Konstitusi 92/PUU-X/2012. UU MD3 justru mereduksi, menegasi, bahkan mengikis kewenangan konstitusional DPD.

DPD berharap MK memberikan solusi secara konstitusional agar mereka tak lagi hadir sebagai pelengkap dalam proses ketatanegaraan. DPD tetap memiliki peran penting yang signifikan.

Irman menyatakan hal tersebut sebagai keterangan penutup dalam sidang pengujian UU MD3 yang diajukan DPD, Selasa (4/11). Sidang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva.

Seperti diketahui, DPD mengajukan uji formil dan materiil terhadap 21 pasal di dalam UU 17/2014. DPD merasa UU tersebut melemahkan posisinya sehingga tidak sesuai dengan putusan MK sebelumnya.

Pada 27 Maret 2013, MK memutus perkara 92/PUU-X/2012 yang isinya, antara lain, pembentukan peraturan perundangan sepanjang berkaitan dengan kewenangan DPD yang diatur dalam Pasal 22D UUD 1945 harus mengikutsertakan DPD.

Irman mengungkapkan, putusan MK tersebut sama sekali tidak dirujuk ketika DPR mengubah UU 27/2009 tentang MD3 menjadi UU 17/2014. Padahal, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga putusan itu mengikat semua lembaga negara termasuk DPR.

”Jika DPR tidak melaksanakan putusan MK, ini merupakan pelanggaran terhadap sumpah jabatan dan juga merupakan contempt of court. Sikap tidak menghormati, mematuhi, dan melaksanakan putusan MK yang bersifatorga omnes berarti secara sengaja menunjukkan pembangkangan terhadap konstitusi itu sendiri. Dengan kata lain, DPR melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overhiedsdaad),” kata Irman.

Irman menyayangkan sikap DPR karena hal itu jelas-jelas tidak menjadi teladan bagi rakyat. DPR telah memberikan contoh tidak mengindahkan putusan pengadilan, dalam hal ini MK. Ia berkeyakinan, UU yang pembahasannya tidak mengikutsertakan DPD merupakan produk yang inkonstitusional.

Kemarin, DPD juga mengajukan ahli tata negara dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Ni’matul Huda, dan Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dian Puji Nugraha Simatupang.

Ni’matul sependapat dengan Irman bahwa pembentukan UU 17/2014 cacat formil. Proses pembentukannya tidak sesuai dengan putusan MK yang memerintahkan setiap pembentukan peraturan perundang-undangan sepanjang berkaitan dengan DPD yang diatur Pasal 22 UUD 1945 harus mengikutsertakan DPD.

Ni’matul mengungkapkan, desain konstitusi (Pasal 22D, 22E, dan 22F UUD 1945) tidak mengatur secara komprehensif DPD. Pengaturan DPD sangat sumir dan sama sekali tidak memiliki kekuasaan yang signifikan. DPD hanya memberikan masukan pertimbangan, usul, ataupun saran. Yang memutuskan adalah DPR dan Presiden. Namun, kelemahan desain kelembagaan DPD di dalam konstitusi itu justru dilemahkan UU MD3.