Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) KIsah dari Mahkamah Partai Golkar

12/12/2018



Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menyatakan, perselisihan parpol harus diselesaikan secara internal melalui Mahkamah Parpol. Mahkamah Partai Golkar telah mencoba menguak kebenaran terkait dualisme kepengurusan yang terjadi di partai itu. Namun, sayangnya, lembaga itu tetap belum bisa sepenuhnya menuntaskan persoalan.

Majelis Partai Golkar (MPG) terdiri dari Muladi (mantan Menteri Kehakiman dan Hakim Agung), HAS Natabaya (mantan Hakim Konstitusi), Andi Matalatta (mantan Menteri Hukum dan HAM), serta Mayjen (Purn.) Djasri Marin. Satu hakim MPG lain, yaitu Aulia Rahman, tidak pernah dapat hadir memimpin sidang karena menjadi Duta Besar Ceko. Keanggotaan MPG ini sesuai seperti yang didaftarkan oleh kepengurusan Golkar hasil Munas Riau 2009.

Jika melihat keanggotaan MPG, masa depan Golkar layak dipercayakan ke lembaga itu, terutama terkait penyelesaian konflik seputar dualisme kepengurusan di partai tersebut, yaitu antar-kepengurusan hasil Musyawarah Nasional Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie dan Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono. Pasalnya, para anggota MPG adalah orang-orang yang berpengalaman di bidangnya masing-masing dan tokoh senior di Golkar.

Namun, Muladi, yang merupakan Ketua MPG, Rabu (4/3), di Jakarta, mengatakan, "Kami (Mahkamah Partai Golkar) digagalkan."

Kubu Munas Bali memang sempat memboikot persidangan MPG meski belakangan bergabung setelah putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Barat menyerahkan penyelesaian konflik di Mahkamah Partai. Uniknya, DPP Golkar Munas Bali sempat menegasikan legalitas MPG, tetapi di sisi lain meminta MPG menolak permohonan Tim Penyelamat Partai Golkar dan DPP Golkar versi Munas Jakarta.

Hingga Senin malam lalu atau sehari sebelum MPG menjatuhkan putusan, kata Muladi, empat hakim MPG masih berupaya keras mengkristalkan putusan yang melegakan bagi dua kubu. Namun, kasasi dari kubu Aburizal Bakrie membuyarkan skenario penyelesaian perselisihan.

Akhirnya, dua hakim MPG, yaitu Andi Mattalatta dan Djasri Marin, dalam putusan MPG mengakui DPP Golkar hasil Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono. Sementara Muladi dan Natabaya memilih menunggu hasil dari permohonan kasasi yang diajukan DPP Golkar hasil Munas Bali ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Kebenaran

Di tengah berbagai keterbatasan yang dimiliki, persidangan MPG yang berlangsung terbuka, membuka sejumlah praktik politik di partai itu, terutama terkait Munas Bali dan Munas Jakarta. Oleh karena pihak yang bersengketa dan majelis hakim sama-sama kader Golkar, lebih mudah untuk mencari kebenaran material daripada sekadar kebenaran formil.

Salah satu saksi dari kubu Munas Bali, misalnya, dalam kesaksiannya mengakui tidak ada pembahasan serius terkait Tata Tertib Munas dan pemilihan oleh seluruh peserta.

"Namanya juga orang daerah jika di Bali, kami pasti ingin cepat jalan-jalan," ujar salah seorang saksi. Kesaksiannya disambut gelak tawa.

Majelis hakim pun mengatakan, Munas Jakarta miskin legalitas, tetapi lebih demokratis. Di sisi lain, Munas Bali berbekal legitimasi, tetapi kurang demokratis.

Apabila mengamati persidangan dari awal hingga akhir, niscaya persidangan MPG memberikan pelajaran berharga tentang praktik perpartaian. Pelajaran setidaknya dapat diambil tentang bagaimana cara terbaik dalam mengelola partai dan praktik buruk dalam berpartai yang harus dihindari.

Penyelesaian perselisihan melalui Mahkamah Partai jelas hal positif. Seandainya MPG sukses dalam menuntaskan perselisihan di internal Golkar, sesungguhnya partai yang telah berusia lebih dari 50 tahun itu dapat menjadi "laboratorium terbuka" dalam penyelesaian konflik.

Konflik kepengurusan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) antara kubu M Romahurmuziy dan Suryadharma Ali/Djan Faridz belum diungkap dalam Mahkamah Partai. Akibatnya, masyarakat belum memahami dengan pasti apa yang terjadi di partai itu.

Menyelesaikan perselisihan partai jelas lebih baik melalui Mahkamah Partai. Lebih besar peluang solusi menang-menang (win-win solution) daripada sekadar adu cepat mendaftarkan kepengurusan kepada Menteri Hukum dan HAM. Tiap partai perlu belajar untuk menuntaskan konflik dengan dewasa melalui Mahkamah Partai.

Terkait babak akhir dari perselisihan dualisme kepengurusan di Partai Golkar memang sangat disayangkan apabila akhirnya harus dituntaskan di pengadilan. Namun, Undang-Undang Partai Politik, mengamanatkan penyelesaian melalui pengadilan tatkala Mahkamah Partai, dinilai tak mampu menghasilkan putusan konkret.

Persoalannya, logika kita mestinya mempertanyakan kelayakan kasus ini berlanjut ke pengadilan. Mengapa? Dua hakim MPG, yaitu Muladi dan HAS Natabaya, telah meminta kader Golkar untuk mempertimbangkan adanya kasasi dari kubu Aburizal Bakrie. Akan tetapi, kubu Aburizal Bakrie belakangan justru telah mencabut kasasi tersebut meski akhirnya mendaftarkan gugatan baru.

Masyarakat, tidak hanya kader Golkar, kini menanti babak akhir dari penyelesaian perselisihan di Partai Golkar. Bilamana perselisihan harus dituntaskan di meja hijau mungkin itu suratan yang harus ditempuh partai tua ini.

Hanya kalau boleh kita berharap pengadilan mampu menggali kebenaran yang sejati. Republik ini harus dilayani oleh kader Golkar terbaik, yang dapat membawa negeri ini ke arah yang lebih baik.