Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Opini: Menjaga Integritas Pilkada, oleh Khairul Fahmi

12/12/2018



Walaupun tersangka belum tentu bersalah, tetapi status tersebut sesungguhnya menjadi tembok penghalang bagi seorang kepala daerah terpilih untuk mengucapkan sumpah jabatan, ”…saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya… menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya,...”

Bagaimana mungkin lafal itu tetap diucapkan seseorang dalam posisi sedang diduga melanggar undang-undang tindak pidana korupsi? Dengan alasan itu, sangat logis ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan penundaan pelantikan bagi yang menyandang status tersangka korupsi. KPU tidak saja diminta menyelenggarakan pemilihan secara profesional, tetapi dituntut menjaga integritas hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). Dengan tuntutan itu, sudah pada tempatnya KPU mengintroduksi gagasan tersebut ke dalam rancangan peraturan KPU tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Ada pilihan

Hanya saja,ide cemerlang tersebut tidaklah sesederhana yang dibayangkan publik. Sebab berbagai dimensi dan rezim hukum haruslah dipertimbangkan secara komprehensif. Tanpa itu, norma yang sesungguhnya ditujukan memihak kepada semangat pemberantasan korupsi justru akan menimbulkan komplikasi hukum serius. Alih-alih berguna dalam merawat integritas pilkada, justru dapat memicu terjadinya kekacauan baru dalam jagat hukum pilkada.

Jika dibandingkan regulasi sebelumnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dapat dikatakan lebih maju dalam hal mengawal proses pilkada berintegritas. Sebab, dalam UU ini termuat norma yang menegaskan sanksi berat berupa pembatalan sebagai calon terpilih bagi calon kepala daerah yang terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan, menjanjikan atau memberikan uang/materi lain saat kampanye, dan melanggar larangan sumber dana kampanye. Namun, UU ini dinilai belum cukup mampu mengawal hasil pilkada yang jujur dan adil. Sebab, peraturan ini sama sekali belum menyinggung bagaimana perlakuan terhadap kepala daerah terpilih berstatus tersangka korupsi, sehingga dengan status itu seorang kepala daerah terpilih tetap saja dapat dilantik.

Tidak dimuatnya norma tersebut barangkali lebih karena pembentuk UU menempatkan status tersangka sebagai keadaan yang tidak dapat dijadikan alasan membatasi hak seorang untuk tetap dilantik. Dalam konteks menghormati hak seseorang karena penerapan asas praduga tak bersalah, pilihan kebijakan demikian tentu mendapat alasan pembenar. Sebab, bagaimana mungkin seseorang yang belum tentu bersalah justru telah dihukum dengan menunda pelantikannya?

Lagi pula, bukankah mengatur hal itu sebagai salah satu alasan menunda pelantikan berpotensi disalahgunakan untuk menghalangi pelantikan seseorang? Apalagi jika penundaan tersebut dilakukan sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang tidak pasti berapa lama waktunya. Tidakkah hal itu justru akan menimbulkan ketakpastian hukum pelaksanaan pelantikan sebagai tahapan terakhir pilkada? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu akan memperkuat jatuhnya pilihan kepada posisi tidak memasukkan klausul penundaan pelantikan bagi kepala daerah terpilih berstatus tersangka ke dalam UU pilkada.

Walaupun demikian, pilihan kebijakan tersebut pada dasarnya masih dapat diubah jika pembentuk UU menyadari betapa pentingnya sinergitas agenda pemberantasan korupsi dengan keperluan menjaga integritas pilkada. Lagi pula, berbagai alasan yang mendasari pilihan di atas tidak lagi cukup memadai guna menjawab perkembangan yang terjadi. Bagaimanapun, perkembangan hukum masyarakat menghendaki agar status tersangka korupsi diberi perlakuan hukum yang tegas. Dalam konteks itu, sudah saatnya UU pilkada mengatur secara khusus bagaimana perlakuan hukum bagi seorang kepala daerah terpilih tersangka menggunakan perspektif pemajuan agenda pemberantasan korupsi.

Lalu, bagaimana mungkin hal itu tidak disalahgunakan untuk menghalangi seseorang dilantik menjadi kepala daerah? Jika kebijakan penundaan pelantikan diterapkan, peraturan perundang-undangan harus menentukan batas waktu penundaan secara tegas, misalnya, enam bulan. Pembatasan ini amat diperlukan guna menghormati hak seorang kepala daerah terpilih untuk tetap dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Pada saat yang sama, pembatasan tersebut dibutuhkan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh penegak hukum. Dengan pembatasan, aparat penegak hukum dituntut segera mengajukan tersangka ke pengadilan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dengan begitu tak akan ada calon kepala daerah terpilih yang kasusnya menggantung hingga batas waktu yang tak ditentukan. Selain itu, pembatasan waktu diperlukan guna menjawab kekhawatiran munculnya ketakpastian hukum terkait pelaksanaan semua tahapan pilkada yang ditetapkan KPU akibat proses hukum yang mungkin memakan waktu lama.

Bentuk hukum

Sekalipun memiliki alasan kuat untuk menunda pelantikan kepala daerah terpilih tersangka korupsi, pilihan bentuk hukum yang akan mengaturnya pun suatu saat dapat dipersoalkan pihak-pihak berkepentingan. Sebab, materi muatan seperti itu idealnya dimuat dalam UU, bukan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Hanya saja, UU saat ini belum mengatur itu. Diubahnya UU dalam waktu dekat untuk mengakomodir norma tersebut hampir mustahil, sehingga alternatifnya pun jatuh kepada peraturan KPU.

Sekalipun akan memancing perdebatan, sesungguhnya KPU memiliki alasan kuat memasukkan norma tersebut ke dalam peraturan KPU. Setidaknya, ada dua alas yuridis yang dapat membenarkannya. Pertama, peraturan KPU merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang diakui sesuai UU No 12/2011. Sebagai penyelenggara pemilihan yang bertanggung jawab mewujudkan pilkada yang jujur dan adil, adalah kewenangan KPU mengatur hal-hal yang berhubungan dengan keperluan menjaga integritas pilkada melalui peraturan KPU.

Kedua, peraturan KPU memiliki karakter khusus, di mana ia baru bisa ditetapkan setelah berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR. Dengan demikian, sesungguhnya terdapat campur tangan pembentuk UU dalam proses terbentuknya peraturan KPU. Apabila norma penundaan dimuat dalam peraturan KPU dan disetujui pembentuk UU melalui proses konsultasi, tentunya tingkat keabsahannya lebih dari hanya peraturan pelaksana biasa.

Bentangan argumentasi di atas sesungguhnya hendak mengukuhkan betapa proposal penundaan pelantikan kepala daerah terpilih berstatus tersangka korupsi tak layak ditolak. Ia harus diterima sebagai suatu hukum baru yang akan mengisi legal gap antara kebutuhan hukum masyarakat dengan hukum positifyang belum memadai. Lagi pula, hal itu langkah berani sekaligus pilihan kebijakan yang amat tepat guna menjaga dan memastikan hasil pemilihan kepala daerah yang berintegritas.

Khairul Fahmi, Dosen Hukum Tata Negara, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

 

link asli: http://print.kompas.com/baca/2015/04/04/Menjaga-Integritas-Pilkada