Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Pasca UU Sumber Daya Air Dicabut: Air Bersih Kian Sulit Dicari

12/12/2018



Masalah yang dihadapi warga Jakarta bertumpuk-tumpuk. Di jalan, kemacetan dahsyat. Di kantor, target dan persaingan sengit. Di rumah, air bersih jadi masalah. ”Sebulan bisa Rp 450.000 untuk minum,” kata Fredi (35), ayah tiga anak, warga Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur.

Dalam sepekan, konsumsi air minum keluarga Fredi 5-6 galon. Mandi dan cuci menggunakan air langganan PDAM dengan besar tagihan per bulan Rp 200.000. Total setidaknya Rp 600.000 untuk penyediaan air per bulan.

Air tanah beda lagi. Di rumahnya, air berwarna, kotor, dan berbau.

Hampir sama dengan Fredi adalah Yuni (48), warga RW 007 Kelurahan Kali Anyar, Jakarta Barat. Setidaknya, ia harus membelanjakan Rp 400.000 untuk air isi ulang. Air itu untuk keperluan minum dan masak.

Air tanah tak dimanfaatkan. Air langganan PDAM untuk sarana mandi, cuci, dan kakus.

Masih di Jakarta Barat, Niar (56), warga Angke Indah, RT 005 RW 002, Tambora, beralih ke air curah yang dijual per jeriken. Air langganan PDAM yang biasanya ia bayar Rp 300.000 per bulan kini ia hentikan.

Untuk minum dan memasak, setidaknya ia keluarkan uang Rp 60.000 untuk membeli air yang dijual pikulan. ”Langganan air pikulan lebih murah. Untuk mandi, cuci, dan kakus saya pakai air sumur. Beberapa bulan tak pakai air PDAM,” kata Niar.

Berdasarkan data Puskesmas Tambora, beberapa sampel air tanah dan air PDAM yang diambil di 11 lokasi di kecamatan itu tercemar bakteri dan zat kimia. Air tanah tak memenuhi syarat sebagai air bersih, mengandung bakteri Escherichia coli. Ada pula zat kimia organik (KMnO4) pada sampel air tanah dari Tanah Sareal, Juli 2013.

Kawasan Jakarta Pusat hampir tak beda. ”Saya pakai air galon. Air PDAM kadang macet. Itu pun tak bisa untuk minum atau memasak,” kata Waskito (48), warga Petamburan. Ia bisa mengeluarkan Rp 40.000 per hari untuk 2-3 galon air.

Kondisi air yang disalurkan dari pipa PDAM, yang tak jarang keruh dan berbau, membuat warga Jakarta tak bisa beralih dari langganan air isi ulang atau produk air minum dalam kemasan (AMDK). Sekalipun untuk itu mereka harus merogoh pengeluaran ekstra.

Itu pula yang membuat bisnis air isi ulang, air mineral atau AMDK, dan air curah yang dijual keliling tak pernah sepi. Lihat saja di depot air Biru di kawasan Cakung, Jakarta Timur. Setiap hari dihabiskan 8.000 liter air. ”Sehari pasti habis. Permintaannya tinggi,” kata Ida, penjaga depot air Biru.

Barangkali, kondisi itu pula yang membuat bisnis air isi ulang di Jakarta dan sekitarnya tumbuh terus. Data resmi Asosiasi Pengusaha, Pemasok, dan Distributor Air Minum Indonesia (Apdamindo)—asosiasi yang menaungi pengusaha air isi ulang—ada 3.000 pengusaha air isi ulang di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 1.200 diperkirakan ada di Jakarta dan sekitarnya.

Namun, berdasarkan perkiraan Sekretaris Jenderal Apdamindo Budi Darmawan, apabila memasukkan non-anggota asosiasi, ada 6.000 pengusaha air isi ulang di Jakarta. Mereka mengambil air dari PDAM yang diolah lagi, juga dari sumber air yang dikelola masyarakat.

Sementara itu, berdasarkan data Asosiasi Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), yang menaungi pengusaha AMDK, volume penjualan di Jakarta dan sekitarnya mencapai 39 persen. Tahun 2014, volume penjualan nasional anggota Aspadin mencapai 23,9 miliar liter.

”Setiap tahun volume penjualan naik,” kata Ketua Umum Aspadin Hendro Baroeno. Anggota Aspadin mencapai 193 industri, sedangkan total jumlah industri AMDK ada 615 dengan lebih dari 500 merek, antara lain Aqua, Nestle, Club, VIT, Oasis, dan Ades.

Direktur Utama PT Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) Sri Widiyanto Kaderi mengatakan, saat ini pihaknya melayani 60 persen pelanggan dari seluruh warga Jakarta, atau sekitar 5,8 juta orang, melalui perpipaan langsung ditambah 11 persen pelanggan melalui perpipaan tidak langsung, seperti hidran atau kios air. Sebenarnya, jaringan pipa sudah menjangkau 80 persen warga, tetapi jumlah air yang disalurkan terbatas.

Penambahan pelanggan, lanjutnya, tidak terlalu signifikan. Setiap tahun, PAM Jaya hanya bisa menambah 20.000 pelanggan atau sekitar 2,5 persen.

Apabila proyek pembangunan instalasi pengolahan air di sejumlah tempat, seperti Pejompongan (kapasitas 500 liter per detik), Kanal Barat (700 liter per detik), Pesanggrahan, dan Jembatan Besi, bisa diselesaikan, diharapkan jumlah pelanggan bertambah lebih banyak. Asumsinya, dengan penambahan kapasitas 1 liter per detik, jumlah pelanggan bisa bertambah 80 orang.

Kelangkaan air

Apa yang dialami warga Jakarta saat ini merupakan wujud kelangkaan air. Bagaimana tidak? Air baku bisa dikatakan tidak ada atau tidak memenuhi syarat karena tingginya pencemaran yang membahayakan kesehatan.

Di sisi lain, kebocorannya tinggi. Bahkan, berdasarkan data nasional, kebocoran air fisik di pipa distribusi PDAM mencapai 32,8 persen. ”Ini yang disebut kelangkaan air,” kata pendiri Indonesia Water Institute yang juga dosen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Firdaus Ali.

Dalam kondisi seperti itu, kata Firdaus, pelibatan swasta harus dilakukan. Namun, keuntungannya harus dibatasi agar harganya menjadi murah. Prinsipnya, air adalah gratis.

Menurut Hendro, harga air mineral bermerek yang ada saat ini 70 persennya merupakan komponen kemasan, label, dan plastik. Bukan harga air secara keseluruhan.

Sri Widiyanto Kaderi mengatakan, penambahan jumlah pelanggan sulit dilakukan karena keterbatasan air baku. Kualitas air baku yang buruk pun menyebabkan biaya pengolahan menjadi air bersih sangat mahal. Karena itu, keuntungan dan kontribusi PAM Jaya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI juga tak terlalu bagus.

”Bayangkan, kontribusi kami terhadap PAD 1997 mencapai Rp 9 miliar dengan kurs dollar AS sekitar Rp 2.500. Sekarang, kontribusi kami terhadap PAD sekitar Rp 22 miliar dengan kurs dollar AS di atas Rp 12.000. Itu kecil sekali,” katanya.

Itulah wajah hak dasar air warga negara yang pemenuhannya dijamin konstitusi, tetapi langka. Seiring pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi, saatnya kehadiran negara mewujud nyata.