Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Pembatasan Dibutuhkan

12/12/2018



JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka keran pengajuan praperadilan untuk memeriksa keabsahan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan ibarat memberikan cek kosong yang bisa diisi seenaknya oleh mereka yang punya kasus. Karena itu, perlu dibatasi kondisi apa yang bisa diajukan praperadilan.

"MK sudah membuat norma baru dengan menambah kewenangan praperadilan. Pertanyaannya, kenapa tidak sekalian dibatasi. Sebab, kalaupun ini dianut, tetap perlu pembatasan. Kalau tidak, semua orang walaupun sudah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan dua alat bukti dan sesuai prosedur, akan menggunakan praperadilan. Sekarang semua bergantung kepada hakim yang memutus," ujar pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, Rabu (29/4), di Jakarta.

Menurut Akhiar, seharusnya MK tidak tanggung-tanggung jika ingin membuat norma. "Kapan praperadilan terkait penetapan tersangka bisa dilakukan, misalnya ketika tak ada dua alat bukti atau apa. Kapan penggeledahan bisa diajukan praperadilan, misalnya ketika tak sesuai prosedur hukum. Kapan alat bukti bisa diajukan untuk mendapat penilaian. Ini los. Seperti cek kosong," ucapnya.

Seperti diberitakan, MK dalam putusannya, Selasa lalu, mengabulkan uji materi yang diajukan bekas karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah, yang menyoal definisi bukti permulaan dan kewenangan praperadilan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 1 Angka (14), Pasal 17, Pasal 21, dan Pasal 77 Huruf (a). MK menyatakan, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tak dimaknai "bukti permulaan", minimal dua alat bukti. MK juga menyatakan praperadilan berwenang memeriksa penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan (Kompas, 29/4).

Badai praperadilan

Putusan MK, lanjut Akhiar, dikhawatirkan menyebabkan badai praperadilan yang bisa membuat aparat penegak hukum kelelahan menghadapi praperadilan.

Tidak hanya itu, putusan ini juga akan merombak asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya murah. Banyaknya perkara praperadilan akan membuat penyelesaian (sidang) pokok perkara terbengkalai. Sebab, perkara praperadilan harus didahulukan karena ada batas waktu penyelesaian, yaitu tujuh hari.

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, menilai, putusan MK tersebut sangat tak menguntungkan bagi pemberantasan korupsi. Semua upaya penyidik berpotensi diganggu dengan pengajuan praperadilan. Dikhawatirkan, perkara pokoknya nanti tidak masuk ke pengadilan dan seluruh proses terhenti di praperadilan.

"Saya lihat MK telah menggadaikan marwahnya dalam putusan ini. Selama ini kita menganggap peradilan konstitusi ini berpihak pada pemberantasan korupsi. Ini satu-satunya putusan MK yang tak berpihak pada agenda tersebut," katanya. (ANA)