Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Pilkada dalam Ketidakpastian Politik

12/12/2018



Begitulah bunyi Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pengujung pemerintahannya, 2 Oktober 2014. Perppu itu menidurkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang disetujui pemerintah dan DPR pada akhir masa persidangan parlemen periode 2009-2014.

Perppu No 1/2014 dalam konsideran menimbang, dilahirkan pemerintahan Yudhoyono, karena UU No 22/2014 yang disepakati mayoritas anggota DPR menimbulkan polemik dalam masyarakat. Saat masih menjadi rancangan untuk disetujui, UU telah menimbulkan kegentingan memaksa, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/ 2009, sehingga sah bagi Presiden mengeluarkan perppu. Presiden menilai, UU itu tidak sejalan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih demokratis. Pemerintah mengartikan demokratis adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Sebelumnya, mayoritas wakil rakyat periode 2009-2014 menyetujui opsi pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD. Keputusan yang diwarnai keluarnya anggota Fraksi Partai Demokrat (F-PD) DPR sebagai fraksi mayoritas mengubah peta pilkada yang selama ini dilakukan rakyat langsung.

Pendukung pilkada oleh DPRD adalah Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional. Opsi pilkada tetap dilakukan rakyat langsung didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hati Nurani Rakyat, dan sebagian kecil anggota Partai Golkar.

Polarisasi dukungan politik di DPR adalah gambaran politik pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2014. Parpol pendukung pemilihan kepala daerah tidak langsung adalah pendukung pasangan Prabowo Subianto/Hatta Rajasa. Sebaliknya, pilkada langsung didukung partai pendukung pasangan Joko Widodo/Jusuf Kalla yang kini memerintah negeri ini.

Presiden Yudhoyono, yang menempatkan Partai Demokrat sebagai partai penyeimbang, mencoba mengatasi tarik-menarik kepentingan politik di parlemen dan kehendak rakyat dengan melahirkan perppu.

Polarisasi terasa hingga di luar pemerintah pusat. Misalnya, partai pendukung Prabowo/Hatta menolak pelantikan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi dengan alasan menunggu fatwa Mahkamah Agung tentang prosedur pilkada. Mereka ”menyandera” pembahasan APBD sehingga eksekutif di Ibu Kota tak bisa bekerja optimum sebab dukungan anggara belum jelas.

Belum ada kepastian

Hingga hari ini, tarikan kepentingan politik di tingkat nasional itu belum usai. DPR belum sepenuhnya dapat bekerja, sementara kepastian mekanisme pilkada yang seharusnya mulai tahun depan dilakukan serentak belum jelas nasibnya. Dasar hukum pelaksanaan pilkada serentak belum terbentuk sebab nasib Perppu No 1/2014 masih digantung DPR periode 2014- 2019 yang baru mulai akur.

Kondisi itu membuat Komisi Pemilihan Umum, yang harus menyelenggarakan pilkada, menjadi tertahan langkahnya dan pemerintahan baru pun gamang.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pekan lalu di Kota Semarang, Jawa Tengah, meminta DPR segera mengesahkan Perppu No 1/2014 sehingga KPU bisa menyiapkan langkah bagi tahapan pemilihan serentak pada September 2015. Kemendagri dan KPU telah membahas berbagai kemungkinan terkait pemilihan itu, tetapi tetap membutuhkan kepastian hukum.

Kegelisahan Mendagri dan KPU dapat dipahami. Sesuai UUD, setiap perppu harus mendapat persetujuan DPR pada masa persidangan berikut. Pasal 22 UUD 1945 menyatakan, jika tak mendapat persetujuan Dewan, perppu harus dicabut. Masa persidangan Dewan tahun 2014 akan berakhir 5 Desember.

Apabila mencermati dinamika di tubuh lembaga legislatif yang belum sepenuhnya menyatu, sulit bagi wakil rakyat berkumpul dan menyatakan sikap terhadap Perppu No 1/2014. Apalagi, jika memetakan kekuatan politik saat ini ketika Partai Demokrat tak lagi mayoritas di parlemen dan partai yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) tetap mayoritas. Koalisi ini merupakan pendukung pilkada tidak langsung. Artinya, jika anggota DPR dari KMP tetap solid, Perppu Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota mungkin kandas di parlemen. Perppu didukung Partai Demokrat, PDI-P, PKB, Partai Hanura, dan Partai Nasdem.

Namun, Tjahjo memiliki keyakinan berbeda. ”Saya yakin DPR tidak akan mempermalukan Pak Susilo Bambang Yudhoyono yang telah menerbitkan perppu. Presiden Jokowi juga berharap rakyat masih dapat memilih langsung bupati/wali kotanya. Segala kekurangan yang ada masih bisa diperbaiki,” ujarnya (Kompas, 12/11).

Kalau parlemen tak menentukan sikap terhadap Perppu No 1/2014 hingga akhir masa persidangan tahun 2014, memang akan terjadi polemik hukum. Selama ini tak ada perppu yang lewat masa dibahas DPR. Selain itu, belum pernah ada perppu yang dibuat pemerintah untuk membatalkan UU. Apabila Perppu Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota ditolak Dewan, tak ada payung hukum pula yang memastikan UU No 22/2014 yang dibatalkan sebelumnya bisa berlaku kembali. Ketakpastian payung hukum itu kini menyergap KPU, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah yang ingin menyiapkan pilkada sesegera mungkin.

Korelasi negatif

Perubahan terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang, antara lain, kini menjadi UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, adalah untuk membangun Indonesia lebih baik, terutama dalam kaitan hubungan pemerintah pusat dan daerah. Presiden perlu meluruskan kembali praktik desentralisasi dan otonomi daerah agar sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Praktik sistem multipartai tak boleh berkorelasi negatif pada birokrasi yang dipimpin kader partai di semua jenjang pemerintahan. Birokrasi menjadi lahan tarik-menarik kepentingan sehingga sulit netral secara politik. Birokrasi menjadi partisan. Kondisi inilah yang menjadi salah satu alasan sejumlah wakil rakyat mendukung pilkada oleh DPRD. Apalagi, biaya pemilihan itu tak murah dan pada gilirannya membuat sejumlah kepala daerah terjerat kasus korupsi.

Sebaliknya, mereka yang mendukung pilkada langsung oleh rakyat berpandangan, inilah hak rakyat. Ini wujud kedaulatan rakyat. Apalagi, selama ini tak ada jaminan kepala daerah yang dipilih DPRD, seperti pada masa Orde Baru, lebih baik dibandingkan dengan kepala daerah yang dipilih langsung rakyat. Bahkan, sejumlah kepala daerah yang dipilih langsung rakyat menunjukkan prestasi membanggakan, termasuk yang diakui secara internasional, seperti Jokowi saat menjadi Wali Kota Surakarta (Jawa Tengah) dan Tri Risma Harini, Wali Kota Surabaya (Jawa Timur).

Tentu setiap pilihan mempunyai sisi kebaikan sekaligus kekurangan. Namun, hingga saat ini belum ada kepastian model pemilihan langsung atau tidak langsung yang dipilih karena DPR masih terseret tarikan kepentingan politik sesaat, sisa pertarungan Pemilu 2014. Daerah tak bisa berbuat apa-apa sebab nasibnya ditentukan pemerintah dan DPR di tingkat pusat.

Pemerintah, seperti disiratkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan, menyiapkan gelaran pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota secara langsung sesuai amanat Perppu No 1/2014. Untuk pemilihan tahun 2015, biayanya masih dari APBD. Baru pada pilkada tahun 2018 dibiayai APBN. Jika DPR menolak Perppu No 1/2014, ketidakpastian pun berlanjut