TAHUN 2014 akan selalu diingat sebagai tahun politik. Sejumlah peristiwa politik yang terjadi tahun ini merupakan momentum bagi pembangunan demokrasi pada masa mendatang. Transisi kekuasaan berlangsung relatif mulus di tengah mengerasnya polarisasi pilihan politik. Evaluasi publik menunjukkan pentingnya sinergi antara parlemen dan pemerintah sebagai lini depan penyangga demokrasi.

Evaluasi bidang politik tahun 2014 menunjukkan pola persepsi publik terhadap kinerja lembaga pemerintahan, parlemen, dan partai politik selama periode 2010-2014.

Secara umum, persepsi publik cenderung lebih positif kepada lembaga pemerintahan dibandingkan dua lembaga lain, yaitu DPR dan parpol. Persepsi positif ini mencerminkan besarnya kepercayaan sekaligus harapan publik terhadap lembaga pemerintahan, terlepas dari figur ketokohan di dalamnya. Sebaliknya, persepsi negatif cenderung ditujukan kepada DPR. Citra DPR cenderung buruk selama 2010-2014. Persepsi ini, antara lain, terkait rendahnya kinerja legislasi DPR pada periode itu, yakni hanya sekitar 25 persen dari target legislasi.

Persepsi negatif juga ditujukan kepada parpol. Hal ini tidak lepas dari masih kuatnya kecenderungan persepsi anti parpol dalam masyarakat. Selama ini, parpol gagal mendorong pemberantasan KKN dan lemah mengupayakan kesejahteraan rakyat. Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan anggota parpol dan anggota DPR juga menunjukkan rentannya lembaga ini terhadap praktik oligarki kekuasaan. Jaringan politik kartel yang melibatkan parpol menjulur dan membiakkan praktik korupsi di DPR.

Harapan publik

Hasil jajak pendapat pekan lalu menunjukkan tingkat kepuasan dan keyakinan yang cukup tinggi terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo di bidang politik. Sejak kemunculan pertamanya di Jakarta, Jokowi merupakan fenomena di panggung politik nasional. Jokowi yang tidak dilahirkan oleh dinasti politik justru melahirkan gerakan volunterisme baru. Relawan berupaya membangun kemitraan dengan pemerintah yang dimenangkannya meskipun masa pemilu usai (Ahmad Suaedy, 2014). Pada tiga bulan pertama ini, keyakinan publik masih dominan (71,6 persen) terhadap pemerintahan ”revolusi mental” yang mengupayakan perbaikan di segala lini kehidupan. Harapan semacam ini serupa dengan tingkat keyakinan publik yang terekam pada tiga bulan pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004.

Kinerja politik yang disoroti adalah jaminan pemerintah terhadap hak politik warga. Sekitar tujuh dari setiap 10 responden menilai positif upaya pemerintah menjamin kebebasan beribadah, berpendapat dan berunjuk rasa, serta kebebasan pers.

Terlepas dari berbagai apresiasi di atas, pemerintahan Jokowi yang dilantik 20 Oktober 2014 ini dinilai gamang dalam mengakomodasi kontestasi politik yang masih kuat pasca Pemilu Presiden 2014. Sekitar empat dari setiap 10 responden mengaku tidak puas dengan langkah pemerintahan Jokowi mengatasi ancaman perpecahan bangsa akibat mengerasnya polarisasi sikap politik dalam masyarakat. Ketidakpuasan terutama dinyatakan oleh kelompok pendukung mantan calon presiden 2014-2019 Prabowo Subianto dan kelompok golput.

Merajut sinergi

Tahun 2014 juga diwarnai kegaduhan politik parlemen. Kontestasi pasca pemilu presiden mengkristal menjadi dua kubu koalisi di DPR, yakni Koalisi Merah Putih/KMP (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, Demokrat) dan Koalisi Indonesia Hebat/KIH (PDI-P, PKB, Nasdem, Hanura). Sementara itu, posisi PPP terbelah. Kepengurusan PPP hasil Muktamar Surabaya memutuskan di KIH, sedangkan PPP hasil Muktamar Jakarta bergabung dengan KMP.

Sejak dilantik pada Oktober 2014, kedua kubu tersandera dalam konflik kelembagaan yang berlarut-larut. Konflik kelembagaan itu berpangkal pada UU No 17/2004 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang disusun pada masa akhir jabatan DPR periode 2009-2014. Kontroversi terutama terkait penentuan pimpinan DPR yang berdasarkan voting dan tidak melihat suara parpol dalam pemilu sebagaimana DPR periode hasil pemilu sebelumnya.

Pertikaian menajam tersulut tarik ulur penerapan Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta Perppu No 2/2014 tentang Perubahan UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang membatalkan kewenangan DPRD memilih kepala daerah. Praktis tidak banyak yang diperbuat DPR 2014-2019 selama tiga bulan pertama masa kerjanya. Komposisi wajah baru yang mencakup 56,8 persen dari jumlah semua anggota DPR tidak serta-merta memuluskan sinergi KMP dan KIH.

Hasil jajak pendapat menunjukkan rendahnya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja DPR 2014-2019. Selain menilai DPR belum berperan optimal sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang pemerintah, sekitar sepertiga responden bahkan menilai kinerja DPR periode ini lebih buruk daripada DPR periode sebelumnya. DPR juga dinilai lemah menjalankan perannya sebagai lembaga yang menampung dan menyampaikan aspirasi rakyat. Mayoritas responden menyatakan belum terwakili secara politik.

Sejumlah kecil responden menilai proses politik di DPR ini mengarah pada rasionalisasi sikap politik seperti halnya di Amerika Serikat. Namun, mayoritas responden (82,4 persen) menganggap kondisi saat ini masih jauh dari mekanisme politik modern. Seluruh proses politik parlemen selama tiga bulan terakhir dinilai sarat bermuatan kepentingan parpol (52,5 persen) dan individu (35,1 persen) ketimbang kepentingan rakyat (10,3 persen). Ketidakpuasan responden juga ditujukan pada kinerja DPRD di wilayah domisili responden.

Akhir tahun ini, konflik kelembagaan di DPR mencapai titik temu setelah KMP dan KIH bersepakat merevisi sejumlah pasal dalam UU MD3. KMP juga menyatakan menerima dua perppu yang mengembalikan kewenangan pilkada ke tangan rakyat. Namun, kompromi politik itu diyakini tidak akan banyak memperbaiki peran DPR 2014-2019 sebagai pengontrol dan penyeimbang pemerintah. Bahkan, tidak sedikit yang meragukan (47,9 persen) bahwa soliditas antara DPR dan pemerintah akan terwujud pasca kesepakatan itu. Kembali proses politik untuk membangun relasi antara pemerintah dan DPR terikat pada dinamika kontestasi parpol. Apalagi, saat ini parpol dalam KMP menguasai 353 kursi (63 persen) dari suara DPR. (INDAH SURYA WARDHANI/ LITBANG KOMPAS)