Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Revisi UU Terorisme: BNPT Usul Lama Penahanan Ditambah

12/12/2018



Badan Nasional Penang- gulangan Terorisme mengusulkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satu usulan itu adalah lama masa penahanan agar ditam- bah yang semula tujuh hari menjadi satu bulan.

"Kalau hanya (ditahan) tujuh hari tidak cukup karena dia (tersangka teroris) kemungkinan akan menolak berbicara," kata Kepala BNPT Komisaris Jenderal Saud Usman Nasution, Rabu (8/4), di Komisi III DPR, Jakarta.

Ketentuan terkait retroaktif atau ketentuan hukum berlaku surut juga diminta untuk direvisi. "Pelaku Bom Bali I, Zulkarnaen, misalnya, belum juga tertangkap, bahkan kami tidak tahu dia di mana. Kalau dia tertangkap, kita pun tidak tahu apa dasar hukum yang bisa digunakan," ujar Saud. Selain itu, katanya, juga harus ada aturan yang dapat menjangkau pelaku dengan locus delicti, lokasi di luar negeri. "Karena ada ancaman-ancaman melalui media sosial."

Saud juga menyinggung Undang-Undang Organisasi Masyarakat yang ternyata tidak mengatur ormas yang tidak terdaftar. "Padahal, ada banyak ormas yang tak didaftar dan banyak bikin pelanggaran hukum," ujarnya. "Tahun lalu, misalnya, ada unjuk rasa pendukung ISIS di Bundaran HI. Banyak ormas mendukung, tetapi kita tak bisa berbuat apa-apa," katanya.

Saud membenarkan ada kebebasan berbicara dan berorganisasi. "Tapi, harus mengadopsi juga ketentuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jadi, dalam ketentuan PBB itu jelas kebebasan berbicaranya dalam hal-hal apa saja," ungkapnya.

Namun, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menentang keras permintaan BNPT itu karena melanggar hak asasi manusia. "Itu penahanan tanpa boleh ditemui keluarga dan kuasa hukumnya. Jangankan 7 atau 30 hari, semenit saja itu pelanggaran HAM. Dari 7 hari ke 30 hari penahanan apa urgensinya," kata Haris.

Menurut Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, terorisme dan penanggulangannya telah memunculkan tantangan bagi negara-negara demokrasi dalam mencari keseimbangan antara security dan civil liberty.

"Di beberapa negara, seperti di Australia, Kanada, Denmark, India, Nepal, dan Amerika Serikat, undang-undang anti terorisme yang digunakan sebagai salah satu instrumen dalam perang melawan terorisme, mengesahkan penangkapan secara sewenang-wenang, pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial, tindakan-tindakan yang berlebihan kepada warga negara asing dengan alasan keadaan yang genting dan tekanan terhadap kebebasan dasar, khususnya hak untuk bebas berkumpul dan menyatakan pendapat," ujarnya.

Di Indonesia, lanjut dia, keadaannya tidak jauh berbeda. Perang melawan terorisme justru memunculkan persoalan baru yang jauh lebih serius. Respons pemerintah terhadap terorisme dan aksi-aksi teror justru semakin memperbesar kewenangan negara yang tanpa secara bersama mengimbanginya dengan jaminan yang lebih kuat terhadap hak-hak dasar warga negara.

Merekrut anak-anak

Dari Palu, Sulawesi Tengah, diinformasikan bahwa Daeng Koro, tersangka teroris di Poso yang tewas pekan lalu, telah merekrut anak-anak di bawah umur. Hal itu tentu mencemaskan. Karena itu, kerja sama semua pihak diharapkan agar bisa mencegah anak-anak bergabung dengan kelompok radikal.

Bergabungnya anak-anak di bawah umur (di bawah 18 tahun) terungkap dari video yang didapat kepolisian. Video yang ditampilkan dalam konferensi pers di Markas Kepolisian Daerah Sulteng, Rabu, diambil dari telepon genggam Daeng Koro yang ditemukan di lokasi baku tembak, Jumat (3/4).

Dalam video singkat itu, Daeng Koro melatih dua anak, masing-masing diperkirakan berumur 13 tahun dan 16 tahun, dengan berbagai jenis pukulan tinju. Latihan tersebut disaksikan seorang pria berumur 30-an tahun. Latihan dilakukan di perkemahan di tengah hutan.

Selain video, ditampilkan pula profil Daeng Koro sejak 2012 hingga 2015. Foto juga menampilkan senjata api laras panjang yang dimiliki kelompok tersebut. Daeng Koro dan Santoso bukan dua kelompok yang berbeda. Mereka sama-sama anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Mereka hanya "terpencar".

Daeng Koro atau Sabar Subagyo tewas dalam baku tembak dengan aparat kepolisian di daerah pegunungan dekat Desa Sakinah Jaya, Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong. Selama ini, mereka diduga bersembunyi di daerah pegunungan di Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso. Sehari kemudian, polisi menembak mati Imam alias Farid di Desa Toboli Selatan, Kecamatan Parigi Utara. Ia juga anggota MIT.

Wakil Kepala Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri Komisaris Besar Martinus Hukom menyampaikan, kelompok Santoso dan Daeng Koro selalu merekrut anggota baru. "Perekrutan tidak pernah berhenti dalam kelompok tersebut. Semua yang muncul di video orang baru," ujar Martinus di Palu, Rabu. Kepolisian belum bisa menjelaskan dari mana orang baru, termasuk anak-anak, tersebut berasal.

Menurut Kapolda Sulteng Brigadir Jenderal (Pol) Idham Azis, jumlah anggota kelompok Santoso dan Daeng Koro saat ini sekitar 25 orang. Seorang warga asing turut bergabung dengan kelompok tersebut. "Masalah terorisme itu bukan hanya masalah Polri. Kita butuh solusi komprehensif. Karena itu, pemerintah daerah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat diharapkan bergandengan tangan melawan radikalisme," katanya.

Radikalisme ditengarai banyak muncul di sekitar Nusakambangan, Jawa Tengah. Hal itu menyusul dipenjarakannya banyak tokoh yang terlibat terorisme di Nusakambangan. Karena itu, Kepolisian Resor Cilacap melakukan operasi pengamanan di kawasan Selok Jero, pekan lalu.