Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Diharap Sempurnakan Peraturan Menakertrans

12/12/2018



Kementerian Tenaga Kerja mengumumkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Minggu (18/1), di Jakarta. Pemerhati masalah pekerja rumah tangga menilai, aturan ini tidak kuat lantaran belum ada payung hukumnya.

Menteri Tenaga Kerja M Hanif Dhakiri seusai kunjungan kerja ke salah satu agen penyalur pekerja rumah tangga (PRT) di Jakarta Selatan, Minggu (18/1), mengumumkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT).

”Saya sudah menandatangani peraturan tersebut pada Jumat pekan lalu dan prosesnya sekarang di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Perlindungan terhadap PRT sangat mendesak dan negara harus hadir,” ujar Hanif.

Dia menjelaskan, melalui peraturan, hak-hak normatif PRT bisa dijamin. Hak-hak tersebut meliputi kontrak kerja antara PRT dan majikan, upah layak, cuti, beribadah, perlakuan manusiawi, dan akses terhadap jaminan sosial.

Berkaitan dengan kontrak kerja, Hanif mengatakan, pekerja rumah tangga yang disalurkan oleh agen dan direkrut langsung wajib membuat perjanjian kerja antara pekerja dan pengguna. Perjanjian kerja, baik berupa lisan maupun tulisan, wajib diketahui oleh rukun tetangga dan pengurus lingkungan setempat.

Isi perjanjian kerja wajib memuat identitas para pihak, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu berlakunya perjanjian kerja, serta tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat. Dengan adanya perjanjian kerja, baik hak dan kewajiban majikan maupun PRT jelas.

Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja Reyna Usman mengatakan, pemberian upah layak kepada PRT akan diatur secara rinci oleh peraturan gubernur.

”Kami memberikan kewenangan kepada setiap pemerintah provinsi untuk mengeluarkan peraturan tentang standar upah bagi pekerja rumah tangga. Tentu saja, kami berharap, standar upah tersebut tetap memperhitungkan hak dan kewajiban pekerja rumah tangga,” ujar Reyna.

Tidak cukup

Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga Lita (JALA) Anggraini mengatakan, peraturan menteri tersebut belum mempunyai payung hukum yang kuat. Sebab, hingga kini, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) 189 tentang Kerja Layak PRT. Padahal, tahun 2011, di hadapan peserta konvensi ILO di Geneva, Swiss, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji akan menjadikan konvensi itu sebagai acuan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan PRT.

”Masyarakat sipil bahkan sudah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan PRT kepada DPR sejak 2004. Selama 10 tahun hingga sekarang, pembahasan tidak pernah berjalan maju,” kata Lita. Perkembangan terakhir, RUU ini masih berada di tahap pembahasan di Badan Legislasi DPR.

Kementerian Tenaga Kerja seharusnya mendorong percepatan pembahasan ratifikasi dan RUU undang-undang tersebut. Lita menegaskan, hanya kedua produk hukum itu yang memiliki kekuatan kuat untuk menjadi payung hukum peraturan perlindungan PRT turunannya.

Kepala Divisi Migrasi Trafficking, HIV, dan AIDS Solidaritas Perempuan Nisaa Yura mengatakan hal senada. Muatan materi peraturan menteri dengan undang-undang memiliki perbedaan. Peraturan menteri, misalnya, tidak bisa mengatur sanksi pidana jika PRT mengalami kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi.