Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Tahun Tergerusnya Etika Elite Politik

12/12/2018



BEBERAPA hari lagi tahun 2014 akan berakhir. Tahun ini menjadi tahun politik yang cukup bergemuruh bagi bangsa Indonesia. Evaluasi publik terhadap kondisi kehidupan bangsa memberi gambaran yang cukup positif. Penegakan pilar demokrasi masih menemui jalan terjal walau tidak sampai terjadi kisruh politik berarti. Pemerintah dinilai bekerja dengan baik meski perilaku sebagian pejabat negara memberi noda hitam dalam kemajuan demokrasi.

Secara umum, publik jajak pendapat menilai situasi politik di tingkat elite tidak lebih baik daripada kondisi politik di masyarakat. Penilaian tersebut terkait dengan perilaku pejabat negara yang belum mencerminkan etika politik sebagai pejabat publik. Kaum elite negara seperti abai dalam menyuguhkan teladan berperilaku. Elite politik cenderung ”akrab” dengan perilaku korupsi, suap, ataupun gratifikasi. Di sisi lain, penegakan keadilan dan penciptaan kesejahteraan bagi seluruh rakyat belum optimal dilakukan.

Merujuk data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2014, tercatat sejumlah pejabat negara terjerat kasus suap dan korupsi. Hingga Oktober, dari 45 koruptor yang kasusnya ditangani KPK, lebih dari separuh pelaku merupakan pejabat publik, mulai dari kepala daerah, pejabat eselon satu sampai dua, kepala lembaga atau kementerian, hingga anggota DPR.

Terlepas dari kekecewaan publik terhadap perilaku bobrok elite negara, responden cukup mengapresiasi situasi politik yang dinilai cukup baik pada tahun 2014. Pemilu legislatif dan pemilu presiden dinilai bagian terbesar responden (67 persen) berlangsung cukup demokratis. Lebih dari separuh responden (58 persen) menilai kedua pemilu telah menghasilkan pemimpin bangsa yang sesuai dengan harapan masyarakat. Hal ini sebagian besar disuarakan oleh pemilih Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (Kalla) yang kini memimpin RI sebagai presiden dan wakil presiden.

Meski demikian, apresiasi positif terhadap penyelenggaraan dan hasil pemilu dinodai penilaian publik akan masih terjadinya berbagai pelanggaran. Enam dari sepuluh responden (63 persen) berpendapat, pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun ini belum terbebas dari politik uang.

Terbukti, pada 2014, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menerima 885 pengaduan pelanggaran etika. Jumlah itu meningkat 53 persen dari tahun sebelumnya, yakni 577 pengaduan. Dari jumlah 885 pengaduan, 328 perkara disidangkan dengan jumlah teradu 1.088 orang. Masyarakat kini semakin permisif dengan politik uang. Kurangnya regulasi yang memadai untuk mencegah terjadinya politik uang membuatnya cukup sulit dihilangkan.

Drama antar-pendukung

Selain politik uang, salah satu kegaduhan politik terkait pemilu yang terjadi tahun ini adalah perbedaan pandangan di masyarakat. Pemilu kali ini menghadirkan drama yang luar biasa antar-pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua pasang kandidat memiliki pendukung fanatik masing-masing dengan gaya dukungan yang berbeda. Hubungan kekerabatan atau pertemanan sungguh diuji saat pemilu presiden berlangsung. Sepertiga responden (34 persen) menilai buruk kondisi toleransi di masyarakat atas perbedaan pandangan politik.

Menginjak tiga bulan pemerintahan Jokowi-Kalla pada Desember ini, masyarakat berharap ada perbaikan kondisi politik bangsa di tengah terbelahnya parlemen menjadi dua kubu.

Bagaimanapun, mereka yang duduk di parlemen mengemban amanah rakyat. Egoisme parlemen yang mempertahankan kubu masing-masing membuat mayoritas responden (64 persen) menganggap para wakil rakyat belum memperjuangkan kepentingan mereka. Masyarakat berharap kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Kalla mampu menetralkan perbedaan tersebut.

Terkait situasi ekonomi dan sosial pada 2014, sorotan utama masyarakat masih tertuju pada masalah bahan bakar minyak (BBM), pengendalian harga bahan pokok, dan sulitnya lapangan pekerjaan. Kenaikan harga BBM pada 18 November lalu menjadi catatan separuh bagian responden (50 persen) sebagai hal yang paling mengganggu perekonomian masyarakat walau sebenarnya kebijakan ini telah dirancang sejak periode pemerintahan sebelumnya.

Pengalihan subsidi

Argumen pemerintah dalam menaikkan harga BBM adalah demi pengalihan subsidi yang lebih tepat. Kebijakan ini kemudian diiringi dengan penyaluran subsidi bagi masyarakat miskin yang terkenal dengan istilah tiga kartu ”sakti”, yakni Kartu Kesejahteraan Sosial, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar. Kebijakan ini cukup baik diterima masyarakat meski di lapangan masih ada kelemahan pada beberapa bagian.

Problem lain yang menjadi catatan pada 2014 ini adalah masih kurangnya lapangan pekerjaan. Sekitar delapan dari sepuluh responden (77 persen) masih mengeluhkan sulitnya mendapat pekerjaan. Menurut Badan Pusat Statistik, hingga Agustus 2014, tercatat tingkat pengangguran terbuka adalah 5,94 persen dengan konteks dari 121,9 juta angkatan kerja, 114,6 orang sudah bekerja. Kemampuan pemerintahan Jokowi ditantang untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 7 juta orang yang masuk dalam kategori penganggur terbuka lima tahun mendatang.

Tahun depan, pemerintahan Jokowi-Kalla harus bekerja keras untuk membuktikan kinerja mereka dalam memperbaiki perekonomian Indonesia. Pembuktian terutama diperlukan setelah satu bulan terakhir terjadi penurunan tajam nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Fondasi ekonomi yang labil karena pengaruh mata uang membuat sejumlah responden (36 persen) menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintahan tiga bulan terakhir dalam memperbaiki perekonomian.

Setelah akhir-akhir ini muncul harapan rekonsiliasi politik di parlemen, ujian berikutnya bagi pemerintahan Jokowi-Kalla adalah penyehatan kembali perekonomian bangsa tahun depan. (PALUPI PANCA ASTUTI/LITBANG KOMPAS)