Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Usai Reses, Komisi 3 Akan Panggil Menhukham Bahas Remisi Koruptor

12/12/2018



Pemerintah semestinya makin memperketat dan bukannya melonggarkan syarat bagi terpidana korupsi untuk memperoleh remisi. Hal ini karena korupsi merupakan kejahatan serius bagi bangsa Indonesia sehingga harus ditangani secara serius dan komprehensif.

"Syarat yang ada untuk pemberian remisi justru mesti diperketat agar seorang terpidana tak mudah begitu saja mendapatkannya," kata Jaksa Agung HM Prasetyo, Senin (16/3), di Jakarta.

Prasetyo juga mengatakan, masih banyak urusan yang harus dimatangkan dalam memberantas korupsi. Ia mengambil contoh penerapan sistem pembuktian terbalik yang dinilai mampu mengoptimalkan upaya penyelesaian kasus korupsi dan upaya pemiskinan koruptor. "Pemiskinan menjadi pilihan agar ada efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi dari kalangan mana pun," ujarnya.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly membantah tudingan bahwa wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ditujukan untuk mengobral remisi atau pengurangan hukuman bagi koruptor. Justru ia setuju pemberian remisi diperketat dengan perbaikan sistem yang disepakati bersama.

"Saya setuju (remisi bagi koruptor) itu kita ketatkan, tetapi ujung prosedur atau sistemnya itu yang kita perbaiki," jelas Yasonna di Kantor Presiden, Jakarta.

Menurut Yasonna, pemberian remisi bagi koruptor saat ini tergantung dari rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), apakah terpidana korupsi itu termasuk whistle blower (orang yang ikut mengungkap dugaan pelanggaran) atau tidak. Artinya, KPK selaku penyidik dan juga penuntut umum memiliki kewenangan untuk menentukan apakah seorang terpidana korupsi berhak menerima remisi atau tidak.

Padahal, menurut Yasonna, ketika menjadi penuntut di pengadilan, KPK punya kewenangan menuntut dengan hukuman yang berat. Berikutnya, pengadilan dalam memberikan putusan juga mempertimbangkan apakah terdakwa kooperatif atau tidak. Setelah divonis, pembinaan terhadap terpidana menjadi kewenangan Kementerian Hukum dan HAM.

Sesuai ketentuan undang-undang, terpidana itu berhak mendapatkan remisi setelah memenuhi sejumlah persyaratan. Namun, persoalannya, dalam pemberian remisi, Kemenkumham harus meminta izin ke KPK.

"Ini, kan, melekatkan pemberian remisi kepada instansi lain (KPK) yang seharusnya dalam sistem peradilan pidana itu ada di ujung," ujar Yasonna.

Terkait wacana untuk merevisi ketentuan tentang pemberian remisi bagi koruptor itu, Yasonna menyatakan telah mengundang pihak KPK dan Indonesia Corruption Watch untuk membahas persoalan ini. Namun, mereka tidak hadir memenuhi undangan diskusi itu.

"Kita duduk bersama, buat kesepakatan (perbaikannya) dululah. Jangan diundang tidak datang dan saya ditembaki dari belakang. Jangan begitu dong, yang gentleman," lanjutnya.

Secara terpisah, Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi SP membantah pihaknya telah menerima undangan dari Kementerian Hukum dan HAM untuk membahas remisi bagi koruptor. "Pada pertengahan Februari lalu memang ada undangan seminar dari Kementerian Hukum dan HAM. Tetapi, itu tidak sampai ke saya sebagai pimpinan," ujarnya. Dia menambahkan, apabila diundang untuk membahas soal remisi bagi koruptor, KPK pasti akan hadir.

Diskriminasi

Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Fadli Zon berpendapat, jangan ada diskriminasi terhadap koruptor. Narapidana korupsi yang sudah mendapat hukuman dan menjalankannya perlu diberi kesempatan jika berkelakuan baik. "Kalau mau hukuman yang berat untuk koruptor, beratkan sejak awal. Remisi itu hak narapidana secara keseluruhan, jangan didiskriminasi," katanya.

Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman mengatakan, kalaupun remisi diberikan kepada koruptor, syaratnya memang perlu diperketat. Jika PP No 99/2012 akan direvisi, pemerintah perlu membuat parameter yang ketat terkait persyaratan pemberian remisi untuk koruptor. "Karena ini kejahatan luar biasa, cara penanganannya pun harus luar biasa," ucapnya.

Syarat yang ketat, ujar Benny, tidak bisa disamakan untuk semua koruptor karena tindak pidana korupsi bukan kejahatan tunggal. "Perlu disesuaikan dengan kejahatan korupsinya. Misalnya, syarat remisi untuk narapidana yang menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi jangan disamakan dengan narapidana yang hanya menerima gratifikasi," ujarnya.

Pada masa sidang ketiga DPR yang dimulai 23 Maret mendatang, Komisi III berencana memanggil Menteri Hukum dan HAM untuk membicarakan sejumlah hal. Salah satu poin yang akan dibahas adalah perihal revisi syarat remisi bagi koruptor.