Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) UU Desa: Kekuatan ditengah Ikatan yang Melemah

12/12/2018



Undang-Undang Desa dapat menjadi kekuatan untuk memperkokoh pembangunan pada komunitas paling dasar, yaitu desa. Namun, di tengah ikatan sosial yang memudar, sanggupkah desa menghadapi gempuran yang akan terjadi setelah pasar bebas ASEAN diberlakukan tahun 2015?

Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 adalah buah pergulatan panjang pemikiran untuk menjadikan desa sebagai basis pembangunan kualitas kehidupan. Tarik-ulur utama dari perdebatan tentang desa adalah pada kewenangannya, antara tersentralisasi atau desentralisasi. Sejak kemerdekaan Negara Republik Indonesia hingga kini, setidaknya ada enam undang-undang yang memberikan rumusan wewenang desa.

Pertama Pasal 18 Ayat (7) dan Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian muncul UU No 19 Tahun 1965 tentang Pembentukan Desa Praja. Meskipun undang-undang ini mengatur daerah otonom adat yang setingkat desa, tetapi ada semangat untuk menyeragamkan istilah desa. UU tersebut belum sempat diberlakukan, hingga munculnya UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 meletakkan dasar hukum bagi penyeragaman nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa. Desa, menjadi lebih tersentralisasi dan dikendalikan oleh struktur di atasnya. Penerapan model ini berlangsung cukup lama, hingga era reformasi kemudian memformulasikan pandangan yang berbeda. Hak-hak desa yang lebih otonom dan pengakuan akan hak asal-usul dan keberagaman kian menjadi perhatian. Lahirnya UU No 22 Tahun 1999, setidaknya mulai mencerminkan hal tersebut, dan makin disempurnakan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Meski demikian, dalam praktiknya, selama otonomi daerah diberlakukan, perhatian lebih tersedot pada hak-hak otonomi kabupaten/kota, sedangkan desa lebih sebagai komoditas politik pemilihan kepala daerah. Dana yang terserap untuk pembangunan desa pun dirasa sangat minim dan hanya cukup untuk belanja operasional pemerintahan. Hasil survei Potensi Desa yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS, 2011) menunjukkan, rata-rata desa hanya mengelola anggaran Rp 254 juta.

Munculnya UU No 6/2014 tentang Desa bisa dikatakan sebagai upaya yang revolusioner. Dalam undang-undang ini definisi desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Semula, kewenangan desa menjadi bagian dari politik desentralisasi yakni otonomi daerah, sekarang berubah menjadi asas rekognisi dan subsidiaritas (R Yando Zakaria, 2014). Desa, juga diberi kewenangan yang lebih luas dalam merencanakan pembangunan desa dan pengelolaan keuangan. Desa akan menjadi basis pembangunan. Dengan limpahan dana yang jauh lebih besar dari sebelumnya dan pengelolaan yang lebih leluasa, desa menjadi wilayah otonomi yang terkait langsung dengan kehidupan warga.

Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat (2) tentang Keuangan Desa, alokasi anggaran yang langsung ke desa ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah. Dana 10 persen dari dan transfer daerah dari APBN sebesar Rp 59,2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen atau sekitar Rp 45,4 triliun. Total dana untuk desa menjadi Rp 104,6 triliun yang akan dibagi ke 72.944 desa se-Indonesia. Hitungan secara kasar, diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar Rp 1,4 miliar, yang besar kecilnya bergantung pada kondisi desa. Besarnya transfer dana ini sekitar lima kali rata-rata dana yang sekarang ini dikelola oleh desa.

Gelontoran dana sebesar itu tentu akan berpengaruh besar pada perubahan wajah desa. Tidak saja infrastruktur, tetapi program-program penguatan ketahanan ekonomi masyarakat juga bisa dikembangkan. Terlebih, menghadapi saat diberlakukannya pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015, desa menjadi basis pertahanan utama kekuatan ekonomi sebuah negara. Pasar bebas antarnegara ASEAN ini, paling tidak, akan berpengaruh besar dalam dua hal: tenaga kerja dan produktivitas desa.

Pergerakan bebas perdagangan dan investasi akan menciptakan banyak lapangan kerja baru. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan, permintaan akan tenaga kerja level rendah akan meningkat 24 persen atau 12 juta orang. Kebutuhan ini, tentu saja, sebagian akan dipenuhi oleh tenaga kerja dari pedesaan sehingga desa-desa yang tidak bisa mengoptimalkan peluang ekonomi akan makin ditinggalkan tenaga kerja. Padahal, gejala semakin turunnya minat untuk bekerja di sektor pertanian saat ini saja sudah terlihat jelas. Data BPS menunjukkan, dalam setahun saja, tenaga di sektor pertanian sudah menyusut dari 41,2 juta orang pada Februari 2012 menjadi 39,96 juta orang pada Februari 2013.

Produktivitas desa juga akan sangat ditentukan oleh daya tahan masyarakat terhadap kompetisi bebas yang akan terjadi. Desa-desa yang tak mampu meningkatkan daya saing kualitas hasil pertanian dan ekonomi kreatifnya, akan semakin tertinggal. Untuk itu, diperlukan upaya konsolidasi komponen masyarakat desa guna menciptakan program riil yang prospektif. Dana besar yang digelontorkan ke desa, selayaknya dapat digunakan untuk mendorong perkembangan ekonomi setempat.

Jika pemberdayaan masyarakat dan upaya menjaga ikatan sosial desa tidak dilakukan, bukan tidak mungkin, apa yang akan ingin dicapai lewat diberlakukannya Undang-Undang Desa ini akan sia-sia. Terlebih, dalam kondisi modal sosial desa yang makin lemah sekarang ini. Beberapa indikator yang terbaca lewat survei Potensi Desa (BPS) menunjukkan, aktivitas gotong-royong pada masyarakat desa mulai menurun, dari 94 persen desa yang masih melakukannya pada tahun 2003, menjadi 89 persen pada 2011. Kegiatan lembaga swadaya masyarakat pun turun drastis di pedesaan, dari 19 persen desa yang masih melakukannya pada tahun 2005, menjadi hanya 8 persen pada 2011.

Melihat tren perubahan sosial yang terjadi di desa, ke depan diperlukan upaya-upaya maksimal untuk mengikat modal sosial agar tak tergerus atau lari. Terlebih, homogenitas desa kini sudah kian mengarah ke heterogenitas masyarakat. Keberagaman etnis misalnya, selama delapan tahun terakhir meningkat dari 62 persen menjadi 75 persen. Ini artinya, desa-desa sekarang ini semakin majemuk dengan berbagai suku. Kondisi ini memerlukan pemahaman baru atas potensi desa, diperlukan ikatan-ikatan sosial baru yang mampu menjembatani perbedaan dan mengubahnya menjadi modal sosial yang bermanfaat. Ikatan sosial desa, tak seharusnya hanya bersandar pada kekuatan homogenitas asal-usul, tetapi juga pada heterogenitas multikulturalnya saat ini.

Upaya untuk dengan cepat mengubah desa sebagai basis otonomi, jika tanpa diiringi mekanisme pengawasan yang maksimal dan tanggung jawab perangkat desa, dapat menjadi bumerang yang justru menghancurkan ikatan sosial warga. Fragmentasi masyarakat sangat mungkin terjadi, ketika pemerintahan desa menjadi sumber daya yang semakin menarik orang-orang untuk berebut jabatan. Pola-pola perebutan kekuasaan dan korupsi seperti yang selama ini terjadi pada level kabupaten/kota, sangat mungkin berpindah ke level desa. Jika ini terjadi, maka otonomi desa akan berubah menjadi bursa bebas masuk penjara.