Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang akan berlaku mulai 2015 menjadi angin segar bagi pemerintah desa, terutama desa adat seperti nagari di Sumatera Barat dan kampung di Papua. UU Desa memberikan kesempatan desa adat untuk mengembalikan jati diri mereka yang hilang akibat penyeragaman dalam sistem pemerintahan dan juga membangun sesuai potensi serta kebutuhan masyarakatnya.

Nagari adalah satu kesatuan masyarakat hukum adat di Minangkabau yang mempunyai batasan alam yang jelas dan aturan-aturan tersendiri yang berbeda dengan pemerintahan desa administratif pada umumnya. Namun, UU Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang dilaksanakan secara penuh di Sumbar mulai 1983 membuat istilah nagari hilang, diganti desa.

Sejak itu, sistem pemerintahan terendah di Minangkabau tidak lagi mengindahkan keragaman dan adat istiadat yang berlaku. Pemerintahan menjadi sentralistik terpusat dari atas, tidak lagi tumbuh dari bawah berdasarkan nilai-nilai yang dianut masyarakat.

”Sejak saat itu, jalannya pemerintahan di tingkat nagari hampir selalu mengalami ketegangan hubungan dengan administrasi pemerintahan karena ninik mamak (orang yang dituakan) yang selama ini punya peran hanya menjadi penonton,” kata dosen Hukum Adat dan Agraria Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kurnia Warman, di Padang, Minggu (9/11).

Lahirnya UU No 22/1999 tentang Otonomi Daerah pernah memunculkan semangat babaliak ka nagari atau kembali menggunakan istilah nagari sebagai unit pemerintahan terendah. Apalagi, UU itu ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Sumbar No 9/2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari dan diubah dalam Perda Provinsi Sumbar No 2/2007 tentang Pemerintahan Nagari.

Meskipun kemudian istilah nagari kembali digunakan, hakikat dan spirit awal nagari tidak tampak. Sistem pemerintahan yang dijalankan 754 nagari dan 87 desa di Minangkabau tetap pemerintahan desa administratif pada umumnya. Akibatnya, pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di nagari tak berjalan sebagaimana semestinya.

”Ninik mamak yang terlibat dalam mengelola aset nagari berdasarkan hukum adat menjadi abai dan tidak peduli dengan kegiatan-kegiatan yang merusak lingkungan. Pemahaman bahwa segala sesuatunya diurus pemerintah (dan ninik mamak tidak punya tempat) membuatnya membiarkan terjadinya perambahan hutan, tambang, galian C, dan sebagainya,” kata Kurnia.

Dengan UU Desa, para wali nagari mengharapkan pemerintahan terendah di Minangkabau dikembalikan ke nagari. Pemerintah Provinsi Sumbar pun mulai menyiapkan draf Perda tentang Nagari sebagai perubahan Perda No 2/2007.

Payung hukum sistem bernagari itu ditargetkan berlaku pada pertengahan 2015. Pelaksanaannya, kata Kepala Biro Pemerintahan Sekretariat Daerah Provinsi Sumbar Mardi, akan diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota apakah sistem pemerintahan daerah terendah akan dikembalikan ke sistem pemerintahan nagari atau desa administratif.

Berbeda dengan di Sumbar, pelaksanaan UU Desa relatif tak akan berpengaruh banyak pada sistem pemerintahan desa adat di Papua yang sejak Otonomi Khusus Papua dinamakan kampung. Sistem pemerintahan kampung sejajar dengan pemerintahan desa.

Selama ini, pemerintah kampung tetap melibatkan ondoafi atau kepala suku dalam pengambilan keputusan di Badan Musyawarah Kampung (BMK). Peranan ondoafi selaku pemilik hak ulayat tanah juga sangat menentukan dalam pemilihan kepala kampung.

”Sebelum menggelar pertemuan dengan warga, saya berkonsultasi dengan ondoafi terkait program yang akan dibahas. Ondoafi juga yang akan menyampaikan keluhan yang dirasakan warga kepada kami,” kata Kepala Kampung Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Kornelis Gustaf Modow Kornelis.

Kampung Waena merupakan satu dari 14 kampung di Kota Jayapura. Selain 14 kampung, ada 26 kelurahan di Kota Jayapura.

Menyiapkan diri

Tantangan utama pelaksanaan UU Desa, terutama di desa adat seperti nagari dan kampung, adalah terkait pengelolaan alokasi dana desa (ADD) yang sekitar Rp 1 miliar. Ini bisa menjadi berkah jika dikelola dengan baik dan benar, tetapi juga bisa menjadi bencana jika pengelolaannya menyimpang.

Karena itu, Pemprov Sumbar terus berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota untuk mempersiapkan nagari atau desa. Wali nagari beserta perangkatnya pun terus berbenah dan mempersiapkan diri, terutama bendahara dan sekretarisnya.

”Di Koto Malintang, sekretaris dan bendahara mulai ditempatkan terpisah dengan bagian pelayanan tempat dulu mereka bergabung. Mereka sekarang fokus mengelola dana masuk dan keluar,” kata Wali Nagari Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Nazirudin.

Selain perangkat nagari, koordinasi lembaga-lembaga di nagari, seperti Badan Musyawarah, Kerapatan Adat Nagari, Bundo Kanduang (pemimpin perempuan), juga terus diperkuat.

Seleksi perangkat desa pun dilakukan untuk memperkuat perangkat desa yang sudah ada. Wali Nagari Bayua, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Zul Afwan mengatakan, perangkat nagari juga mendapatkan pelatihan tentang manajemen keuangan dari pemkab.

Di Papua, kesiapan aparat kampung masih minim. Di Kota Jayapura, yang merupakan kota besar di Papua, para kepala kampung baru sekali mendapatkan sosialisasi ADD. Padahal, dari 4.700 kampung di 29 kabupaten/kota di Papua, beberapa di antaranya berada di daerah pedalaman yang belum memiliki kantor dan sumber daya manusia.

”Padahal, kami mengharapkan segera adanya pelatihan dasar- dasar akuntansi sehingga mampu mengelola dana sebesar itu,” kata Kepala Kampung Yoka, Distrik Heram, Kota Jayapura, Daud Wanlolo.

Daud mengatakan, pengalaman mengelola Dana Pemberdayaan Pembangunan Kampung (DP2K) sebesar Rp 150 juta per tahun tidak cukup untuk bekal mengelola ADD. Dia mengatakan, DP2K yang dicairkan per triwulan itu untuk bantuan modal bagi masyarakat, kegiatan keagamaan dan adat, karang taruna, serta gaji kepala kampung.

Kepala Subbidang Pembinaan dan Pengembangan Perangkat Kampung Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK) Kota Jayapura, Helda mengatakan, perangkat kampung akan dilatih menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung pada awal 2015. Setelah itu, tim khusus juga akan dikirim ke kampung untuk mendampingi mereka.

”Selain itu, kami akan mengirim kepala kampung beserta sekretarisnya ke Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat Desa di Malang, Jawa Timur,” katanya.

Kepala BPMK Provinsi Papua Donatus Mote mengatakan, 70 persen dari 4.700 desa di Papua belum siap mengelola ADD karena minimnya sumber daya manusia dan infrastruktur. Karena itu, tanpa kesiapan yang matang, bukan tidak mungkin ADD justru akan menjadi bencana.

Tahun ini saja, kepala kampung di Skou Mabo, Enggros, dan Tahima Soroma, Kota Jayapura, diberhentikan karena menggunakan DP2K untuk kepentingan pribadi dan modal sebagai calon anggota legislatif pada pemilu lalu.

Karena itu, Donatus khawatir, warga yang mendapat dana miliaran rupiah tanpa ada pengawasan yang ketat akan meninggalkan kampungnya. ”Di Papua, ada beberapa kampung yang hanya memiliki sekitar 15 keluarga. Bisa dibayangkan jika warga mendapatkan dana sebesar itu, mereka akan (bisa) menghabiskannya di Jayapura dan bahkan ke Jakarta,” ujarnya.

Fenomena seperti itu memang marak di Papua. Karena itu, pemerintah daerah harus benar-benar menyiapkan aparat kampung.