Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(HukumOnline) Menakar Manfaat RUU Pengampunan Pajak Bagi Penerimaan Negara

12/12/2018



Rencana DPR dan pemerintah melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional atau Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) setelah masa reses dinilai sia-sia. Pasalnya, RUU Pengampunan Pajak tak akan banyak memberikan manfaat terhadap penerimaan negara di sektor pajak. Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto, kepada hukumonline, Kamis (3/3).
  
Menurutnya, RUU Pengampunan Pajak justru memberikan ‘karpet merah’ terhadap mereka para pengemplang pajak. Perdebatan dalam RUU tersebut terkait dengan persentase kontribusi terhadap APBN. Soalnya, persentasi terbilang kecil, yakni antara 1-3 persen. Bila menginginkan penerapan pengampunan pajak, mestinya sebesar 25-40 persen.
 
“Kita mengasumsikan ini hanya memberikan karpet merah kepada pengemplang pajak, itu pertama,” ujarnya.
 
Kedua, pengampunan pajak menegasikan pengabaian terhadap tindakan hukum bagi mereka para investor korporasi yang melarikan asetnya kemudian masuk ke Indonesia tanpa adanya sanksi sedikitpun. Yenny menilai sanksi terhadap mereka pengemplang pajak tak sedemikian tegas. Akibatnya, terkesan menimbulkan rasa ketidakadilan terhadap mereka masyaratakat dan korporasi yang patuh sebagai wajib pajak membayar kewajibannya.
 
Dikatakan Yenny, RUU Pengampunan Pajak  sekalipun bakal diterapkan pemerintah tak akan berpengaruh banyak terhadap penerimaan negara dari sektor pajak bagi APBN. Apalagi perdebatan sanksi administrasi hanya berkisar antara 1-3 persen. “Jadi memang tidak ada manfaatnya. Kalau kita selalu berbicara RUU ini tidak memberikan efek apapun bagi revisi APBN jika perdebatannya masih angka 1-3 persen. Kenapa tidak lebih misalnya 40 persen kalau mau progresif,” katanya.
 
Yenny makin pesimis ketika keras kepala pemerintah menerapkan kebijakan tanpa membangun sistem yang kuat. Bila merujuk pada 1964 dan 1984 penerapan kebiajakan pengampunan pajak gagal. Begitu pula dengan kebijakan sunset policy di tahun 2006 pun tak berhasil mendongkrak penerimaan pajak signifikan. Ujungnya, ruang fiskal negara keteteran. Walhasil solusi yang ditempuh adalah mengajukan pinjaman ke luar negeri.
 
“Ini kan ide instan saja, tidak ada kajian yang lebih mendalam mengenai persoalan-persoalan yang ada. Istilahnya parsial saja,” imbuhnya.
 
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas, berpandangan pajak merupakan garda terakhir dalam penegakan hukum perekonomian negara. Namun, Firdaus menegarai RUU Pengampunan Pajak bernuansa ditunggangi para pengemplang pajak, money laundring dan pelaku pidana lainnya untuk melaklukan ‘cuci dosa’.
 
Firdaus menilai penerapan pengampunan pajak melalui aturan tersebut jelas mengabaikan peran penegak hukum. Pasalnya, uang dan aset dari pengemplang pajak tidak jelas asalnya, apakah terkait pidana atau korupsi. Fasilitas pengampunan itulah yang mengabaikan proses hukum. Ia menilai implikasi terhadap penegakan hukum menjadi minim hanya demi mengejar pendapatan negara.
 
Dia mengatakan, pemerintah di bawah tampuk kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mestinya berkaca dari pemerintahan di era orde lama dan orde baru. Kegagalan penerapan pengampunan pajak hanya menjadikan para pengemplang pajak mencuci uangnya kembali setelah mendapat pengampunan pajak di dalam negeri. Setelah mendapat pengampunan, pengemplang pajak dapat melenggang kembali dan menetap di luar negeri dengan segala asetnya.
 
“Secara formal ICW sangat tidak sepakat dengan rencana Tax Amnesty tahun ini dan tahun depan. Tax Amnesty bisa diterapkan dengan prasyarat. Nah, prasyarat saja belum siap. Jadi ini menjadi lebih banyak dipakai untuk pengemplangan, kemudian penghapusan dan segalanya. Jadi siapa yang memanfaatkan itu, ya orang-orang yang tidak taat kepada negara terkait kewajibannya,” pungkasnya.