Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Cegah Dualisme Partai Terulang: Sempurnakan Mahkamah Partai

12/12/2018



Konflik partai politik, seperti yang terjadi di Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan, menjadi salah satu fenomena yang sedang terjadi di panggung politik Indonesia saat ini. Jika dibiarkan, konflik ini bisa memicu turbulensi yang mengganggu kehidupan berbangsa.

Sebagian pihak menuding konflik itu dipicu oleh pemerintah atau partai yang sedang berkuasa. Namun, jika melihat sejarah politik di Indonesia, akar konflik juga dapat dilihat dari dinamika di tubuh partai itu sendiri.

Becermin dari konflik yang sedang terjadi di Golkar dan PPP, jelas kita berharap jangan ada lagi konflik yang berlarut-larut. Pasalnya, dalam konflik, lebih banyak kerugian daripada manfaat yang bisa dipetik.

Terkait hal ini, mekanisme penyelesaian konflik di parpol harus lebih disempurnakan. Ini karena peran sejumlah sosok pemersatu partai diyakini lambat laun akan makin berkurang hingga partai harus mulai punya sistem internal untuk menyelesaikan konflik. Akibatnya, peran mahkamah partai untuk menyelesaikan konflik di internal partai perlu makin diperkuat.

Perkuat

Mengapa harus memperkuat mahkamah partai? Menurut Agun Gunandjar Sudarsa, mantan Ketua Komisi II DPR yang ikut menyempurnakan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2011 juncto UU No 2/2008 tentang Partai Politik ini karena solusi yang ditawarkan oleh mahkamah partai jelas lebih baik.

Apabila ada perselisihan internal partai politik, mahkamah partai harus mampu menyelesaikannya dalam waktu paling lambat 60 hari. Penyelesaian konflik dalam waktu singkat merupakan langkah terbaik untuk melokalisir konflik.

Putusan sebuah mahkamah partai politik atau sebutan lain-di PPP disebut Majelis Syariah-juga bersifat final dan mengikat. Langkah baik tentu lebih baik daripada menunggu proses banding dan kasasi di pengadilan yang dapat berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Pada 1999, Indonesia telah menyusun regulasi terkait arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan melalui UU No 30/1999. Idealnya, mahkamah partai disusun dalam sebuah regulasi seperti itu.

UU No 30/1999, misalnya, menyusun dengan lengkap syarat seorang arbiter atau hakim dalam penyelesaian konflik. Syaratnya, antara lain, berumur minimal 35 tahun, tidak punya hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan salah satu pihak bersengketa, tidak punya kepentingan finansial atas putusan arbitrase, dan berpengalaman di bidangnya minimal 15 tahun.

Penyempurnaan mahkamah partai juga dapat dimulai dari pemilihan susunan mahkamah partai yang kemudian didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM. Anggota mahkamah partai idealnya bisa mewakili faksi-faksi yang ada di partai.

Mekanisme di mahkamah partai juga perlu diperjelas, seperti tentang jumlah hakim. Apakah jumlah hakim harus ganjil? Dalam persidangan Mahkamah Partai Golkar, beberapa waktu lalu, ada empat hakim atau berjumlah genap.

Akhirnya, semua mekanisme di mahkamah partai memang harus diatur dengan sangat detail. Celah sekecil apa pun harus ditutup sehingga tidak ada lagi upaya untuk membelokkan penyelesaian konflik partai ke aparat penegak hukum.

Membawa penyelesaian konflik partai ke aparat penegak hukum tidak hanya membuat masalah makin melebar. Namun, bukankah hanya kader partai itu sendiri yang paling tahu dan dapat menuntaskan perselisihan di partainya dengan baik?

http://print.kompas.com/baca/2015/04/20/Menyempurnakan-Mahkamah-Partai