Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Dinamika Blokir Web: Memilah Informasi di Era Digital

12/12/2018



Sejak internet hadir, dunia tak lagi sepi. Berita, gosip, curahan hati, penelitian ilmiah, propaganda, konspirasi, dogma, pornografi, hingga data intelijen semua ada. Berbagai informasi, baik positif maupun negatif, bebas diakses siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Namun, apakah semua informasi itu berguna, tergantung kita memilah dan memilihnya.

Internet pun dijadikan media baru untuk menyebarkan radikalisme di seluruh dunia. "Sejumlah narapidana terorisme, khususnya yang muda, memahami ideologi radikal dari internet," kata psikolog sosial Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim, Riau, yang banyak meneliti soal terorisme dan internet, Mirra Noor Milla, Senin (6/4).

Tanpa mentor atau jaringan kelompok teror, paham radikal menyebar di dunia maya. Tak jarang, informasi itu menginspirasi orang lain yang tidak terikat kelompok teror tertentu untuk mendukung, bahkan melakukan tindakan radikal secara mandiri atau dikenal sebagai lone wolf. Kepergian sejumlah anak muda dari sejumlah negara ke Suriah untuk mendukung gerakan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) adalah bukti besar pengaruh internet.

Di Indonesia, survei Setara Institute yang dipublikasikan akhir Maret juga membuktikan. Satu dari 14 siswa SMA di Jakarta dan Bandung setuju gerakan NIIS karena dianggap lembaga yang memperjuangkan pembentukan negara Islam. Sebanyak 67 persen responden punya pandangan itu setelah dapat informasi dari internet dan 29,1 persen melalui televisi.

Dampak internet yang besar membuat Badan Nasional Pemberantasan Terorisme mengusulkan pemblokiran sejumlah situs yang dianggap menyebarkan radikalisme kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Protes sebagian masyarakat merebak karena pemblokiran tanpa konfirmasi dan kajian mendalam. Pemblokiran juga dinilai rentan dijadikan alat negara menekan kelompok tertentu.

Tsunami digital

Sebelum internet mendunia, kekhawatiran manusia terhadap informasi adalah informasi yang terbatas. Dengan internet, informasi jenis apa pun bisa diakses kapan pun oleh siapa pun di mana pun mereka berada. Melimpahnya informasi itu kini justru menjadi kekhawatiran.

Howard Gardner dalam Five Minds for the Future (2007) telah mengingatkan bahwa salah satu kemampuan otak yang diperlukan di masa depan adalah menyintesis informasi. Di era tsunami digital, penting menyaring informasi melimpah dan menjadikannya pengetahuan yang berguna.

Namun, jika memilah dan memilih informasi yang penting, kurang penting, atau tidak penting saja sulit, maka kemampuan untuk menyintesis atau memadukan berbagai informasi pun lebih sulit dilakukan.

Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado Taufiq Pasiak mengatakan, internet memberi pengaruh berbeda dalam pikiran. Internet memungkinkan seseorang mengakses dan berganti informasi sangat cepat. Akibatnya, informasi yang diterima otak melimpah ruah hingga manusia sulit memutuskan informasi yang penting dan berguna bagi dirinya.

"Ketidakmampuan memilah informasi membuat pikiran dan keputusan seseorang dibentuk berdasarkan informasi 'sampah', data tidak benar," katanya.

Melimpahnya informasi juga membuat manusia kurang peka terhadap validitas informasi. Ketidakmampuan menelaah informasi membuat pilihan informasi didasarkan pertimbangan kecocokan dan hal yang dianggap paling menyenangkan. Pertimbangan rasional untuk menentukan benar-salah atau baik-buruk pun tak dilakukan.

Dalam kacamata psikologi, lanjut Mirra, kemampuan berpikir di era tsunami digital adalah berpikir rasional komprehensif. "Keputusan atau kesimpulan diambil berdasar informasi lengkap dan mempertimbangkan banyak hal," katanya.

Untuk berpikir rasional komprehensif butuh pikiran terbuka. Pikiran terbuka sangat dipengaruhi pola interaksi, keluasan pergaulan, heterogenitas lingkungan, pengalaman hidup, hingga pola pendidikan keluarga dan sekolah sejak dini.

Namun, sepertinya, kemampuan berpikir rasional komprehensif itu belum dimiliki sebagian besar rakyat Indonesia. Wajar jika masih banyak masyarakat tertipu cerita bohong (hoax), termakan propaganda kelompok tertentu, tertipu pesan berantai, jadi korban tindak kriminal, hingga muncul kebijakan yang tak sesuai kebutuhan atau kondisi lapangan.

Kondisi itu diperparah tingginya kepercayaan masyarakat pada informasi melalui internet. Survei Edelman Trust Barometer 2015 di Indonesia menunjukkan, tingkat kepercayaan masyarakat pada online search engines mencapai 80 persen atau sama setahun sebelumnya.

Namun, kepercayaan masyarakat terhadap media tradisional seperti koran dan televisi justru turun 5 persen dibandingkan tahun sebelumnya hingga menyentuh level 72 persen atau paling rendah empat tahun terakhir. Kepercayaan pada media tradisional sebagai sumber informasi itu berbeda tipis dengan kepercayaan terhadap media sosial yang mencapai 71 persen.

Musuh terbesar

Taufiq yang juga dosen di Fakultas Kedokteran Unsrat dan pendiri Center for Neuroscience Health and Spirituality UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, mengatakan, musuh terbesar manusia adalah pikirannya. Pikiran bisa menafsirkan sesuatu sesuai apa yang dia maui.

"Masalah terbesar dari sebuah informasi apa pun, termasuk informasi radikalisme, adalah pikiran kita," katanya.

Informasi yang sebenarnya netral bisa ditafsirkan jadi apa pun sesuai pikirannya. Penyair Inggris, John Milton (1667), dalam puisinya pernah menyatakan, "The mind is its own place and in itself. Can make a heav'n of hell, a hell of heav'n."

Sayangnya, pikiran mudah sekali disesaki berbagai kepentingan, termasuk memori bawah sadar. Kemampuan seseorang menafsir juga diperkuat lingkungan. Dukungan lingkungan membuat tafsiran seseorang terhadap sesuatu, termasuk tafsiran keliru, mengendap lama dalam otak hingga saling memperkuat dengan tafsiran individu.

Oleh karena itu, meski pemblokiran situs yang menyebarkan radikalisme bisa membatasi penyebaran paham, tindakan itu tak akan menyelesaikan masalah. "Pemblokiran akan percuma selama persoalan yang ada di otak tidak diatasi," katanya.

Untuk membentuk kemampuan berpikir kritis, mampu menyaring informasi apa pun sesuai budaya, agama, ataupun kepentingan bersama, pendidikan adalah jalan utama. Namun, rekayasa manusia melalui pendidikan itu bukan hanya di sekolah seperti difokuskan pemerintah selama ini, melainkan juga di keluarga dan masyarakat.

Hal senada diungkapkan Mirra. Pendidikan harus mampu menumbuhkan budaya kritis dan anak berpikiran terbuka. Kritis tidak berarti suka ngeyel, tetapi mampu mengolah informasi dan mengambil kesimpulan paling masuk akal serta memberi solusi alternatif. Anak juga perlu diberi pengalaman interaksi dengan lingkungan heterogen agar mampu memahami kelompok berbeda dan mengurangi syak wasangka.

"Berikan anak pengalaman baru setiap saat agar otak memperoleh stimulus beragam," kata Mirra. Kekalahan, kegagalan, atau rasa bersalah juga penting bagi anak untuk memperkaya pengalaman hidupnya.

http://print.kompas.com/baca/2015/04/13/Memilah-Informasi-di-Era-Digital