Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas, editing timwikiDPR) Butuh Persetujuan Paripurna Agar Perppu Pilkada Dibahas DPR

12/12/2018



Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dinilai memiliki banyak masalah baik oleh DPR, DPD, dan Pemerintah. Meski demikian, ketiga pihak sepakat ada urgensi kesegeraan aturan untuk memastikan 204 daerah yang akan lakukan pilkada tahun ini. Oleh karena itu, fraksi-fraksi di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat diminta menyampaikan pendapat mini fraksi pada Senin (19 Januari 2015) menyikapi perbaikan materi apa saja yang dibutuhkan untuk perppu pilkada. Jika fraksi berkomitmen menjadikan perppu pilkada sebagai UU, tiap fraksi diharap meloloskan Perppu untuk disetujui dibahas sebulan kedepan dalam Paripurna Selasa (20 Januari 2015). Sebulan, karena DPR akan reses sejak 23 Februari 2015. Jika gagal disetujui dibahas dalam paripurna besok selasa, DPR terpaksa membuat RUU pencabutan Perppu.

Garis besar inilah sebagai hasil lobi fraksi-fraksi di sela-sela rapat kerja Komisi II dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Jumat (16/1). Lobi yang sebetulnya diberikan jatah 10 menit, dalam hitungan timwiki, melebar hingga 35 menit karena perdebatan persepsi tentang urgensi "dibahas" dan "disetujui segera sebagai UU lebih dulu". ”Semua fraksi menyampaikan (perppu) ada masalah. Ada yang berat, ada yang setengah berat sehingga perlu diperbaiki,” kata Ketua Komisi II Rambe Kamarul Zaman seusai rapat kerja. Mendagri Tjahjo Kumolo juga mengakui bahwa terdapat kelemahan poin-poin dalam Perppu. "Tapi itu tak menghilangkan urgensi agar Perppu kami harapkan disetujui oleh DPR menjadi UU," tambah Tjahjo.

Fraksi Partai Golkar (F-PG), misalnya, menyoroti lembaga yang menyelenggarakan pilkada. Perppu mengatur pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota. Padahal, UUD 1945 mengamanatkan, KPU merupakan lembaga penyelenggara pemilu, bukan pilkada.

F-PG juga menyoroti pilkada langsung hanya untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota. Sementara wakil kepala daerah dipilih oleh kepala daerah. ”Menurut kami, seharusnya calon kepala daerah dipilih berpasangan dengan wakilnya,” kata Dadang S Muchtar, anggota Komisi II dari F-PG.

Fraksi Gerindra menyatakan bahwa dengan tanggapan pemerintah pun mengakui ada permasalahan isi dalam Perppu Pilkada, harus membuat tiap fraksi lebih berhati-hati dan tidak terburu-buru dalam isu besar apakah mekanismenya mempertahankan maksud Perppu berupa pilkada langsung atau kembali berpegang pada UU Pilkada yaitu pilkada tak langsung. "Karena Pak Tjahjo sendiri yang bilang ini banyak bermasalah isinya, maka jangan dipersepsikan bahwa semua fraksi setuju pilkada langsung. Tapi tentu kami menanggapi positif adanya perppu sebagai kebijakan yang diterbitkan Pak Susilo Bambang Yudhoyono di akhir masa jabatannya," imbuh A. Riza Patria dari Gerindra. 

Fraksi Partai Nasdem menyoroti syarat calon kepala daerah yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. "Sebagai negara demokratis, seharusnya tidak ada batasan keluarga kepala daerah mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati, dan wali kota. Selama memiliki kemampuan dan kapasitas serta didukung masyarakat, siapa pun seharusnya bisa menjadi calon kepala daerah," ujar Muchtar Luthfi Mutty dari Fraksi Nasdem.

Sementara itu, Fraksi PDI-P menilai, perbaikan isi perppu perlu dilakukan, terutama menyangkut ketentuan tentang dana kampanye dan kampanye. Anggota Komisi II dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo, mengatakan, perppu tak secara tegas mengatur pembatasan dana kampanye serta sanksi bagi pelanggaran penggunaan dana kampanye. Perppu juga belum mengatur teknis pembatasan kampanye. ”Perbaikannya adalah bagaimana membuat kampanye itu menjadi murah, adil, dan proporsional,” tuturnya.

Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat, Saan Mustopa, menilai perlunya evaluasi penyelenggaraan pilkada serentak. Penyelenggaraan pilkada tahap kedua yang menurut rencana pada 2018 diusulkan diubah menjadi 2017. Alasannya, tahun 2018 terlalu dekat dengan Pemilu 2019 sehingga dikhawatirkan mengganggu persiapan pemilu.

Meski ada sejumlah masalah di Perppu Pilkada, 2 fraksi menjadi yang terdepan menegaskan bahwa lebih baik disahkan lebih dulu sebagai UU baru direvisi, yaitu Fraksi PDIP dan Fraksi Demokrat. ”Hal yang penting itu perppu-nya disahkan dulu menjadi UU. Kalau memang dinilai perlu diperbaiki, pemerintah bisa langsung mengajukan revisi terbatas,” kata Saan. Hal serupa juga disampaikan Arif Wibowo dari PDIP terlebih dulu menyesuaikan urutan pendapat mewakili tiap fraksi.

Mendagri Tjahjo Kumolo berpendapat, hal yang terpenting saat ini adalah kejelasan DPR menerima atau menolak membahas perppu pilkada. Jika disepakati ada perbaikan atau revisi, sebaiknya diselesaikan pada masa persidangan kali ini.

 

Uji materi

Sementara itu, Mahkamah Konstitusi telah menyidangkan pengujian Perppu Pilkada yang diajukan oleh delapan pemohon, antara lain Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Yanda Zaihifmi Ishak dkk, Doni Istyanto Hari Mhadi dkk, dan Didi Supriyanto dkk.

Uji materi ini dilakukan terhadap sejumlah ketentuan di perppu, seperti tidak adanya sanksi pidana bagi pengurus partai politik dan setiap orang yang terlibat dalam jual-beli dukungan serta tidak ada sanksi pidana bagi politik uang.

Sidang terakhir digelar 8 Januari lalu dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang diajukan pemohon.