Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Eksekusi Mati Mendapat Sorotan

12/12/2018



JAKARTA, KOMPAS — Eksekusi hukuman mati di Indonesia mendapat sorotan tajam dari dunia internasional, lebih disebabkan adanya penilaian bahwa penegakan hukum di Tanah Air belum baik. Ada keraguan apakah penegakan hukum dilakukan secara adil dan tidak dipengaruhi kekuatan lain, seperti ekonomi atau politik.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengungkapkan hal ini, Kamis (7/5), di Jakarta, menjawab pertanyaan soal rencana Kejaksaan Agung melanjutkan eksekusi tahap ketiga terhadap terpidana mati.

"Singapura menghukum mati, tetapi orang tidak ribut. Ini berarti hukumnya ditegakkan sebaik-baiknya. Masyarakat internasional percaya pada kehidupan hukum di Singapura. Nah, kita, kok, tidak dipercaya. Kita introspeksi, dong," katanya.

Menurut Arief, salah satu kesalahan yang menyebabkan adanya ketidakpercayaan dunia internasional terletak pada penegak hukum. Masih ada intervensi politik dan ekonomi dalam penegakan hukum di negeri ini. Hukum dinilai belum ditegakkan secara fair. Hal tersebut menjadi tanggung jawab bersama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat luas bahwa Indonesia telah menjadi negara hukum yang baik.

Belum baiknya penegakan hukum juga dipengaruhi sistem pendidikan hukum di Indonesia yang belum standar. 

Ketentuan diubah

Mengenai hukuman mati, pemerintah dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) membuat sejumlah ketentuan baru. Pada prinsipnya, hukuman mati dipertahankan menjadi salah satu pidana pokok, tetapi penerapannya sangat selektif. Selain itu, pidana mati pun bersifat spesifik dan alternatif (tidak tunggal) sehingga hakim bisa memilih akan menjatuhkan pidana mati, seumur hidup, atau penjara paling lama 20 tahun.

Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wicipto Setiadi mengungkapkan, hukuman mati dalam RUU KUHP nantinya diterapkan untuk kejahatan berat, seperti pembunuhan berencana, pemerkosaan dengan pembunuhan, dan bandar narkoba yang menjual hingga kiloan. "Jadi, tetap sebagai pidana pokok, tetapi selektif," kata Wicipto.

Konsep hukuman mati dengan masa percobaan juga diatur dalam draf final RUU yang kini menunggu persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepala Polri, serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Apabila dalam waktu 10 tahun terpidana mati berkelakuan baik, hukuman bisa diubah menjadi seumur hidup. Selain itu, reaksi masyarakat yang tidak terlalu negatif terhadap yang bersangkutan pun menjadi pertimbangan.

RUU tersebut juga memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengubah hukuman meski sebelumnya telah menolak grasi yang diajukan terpidana. "Kalau grasi ditolak, kemudian sampai 10 tahun setelah penolakan itu yang bersangkutan belum dieksekusi, ada kemungkinan bagi Presiden untuk mengeluarkan keputusan presiden mengubah hukumannya menjadi seumur hidup," kata Wicipto.

Mengenai hukuman percobaan dalam pidana mati, menurut Arief, hal itu sejalan dengan putusan MK untuk perkara uji materi UU No 22/2007 tentang Narkotika yang diajukan terpidana mati Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani (Melisa Aprilia), Myuran Sukumaran, dan Andrew Chan. Putusan MK, antara lain, menyebutkan, pidana mati bisa dijatuhkan dengan masa percobaan 10 tahun yang apabila terpidana berkelakuan baik bisa diubah menjadi seumur hidup atau 20 tahun penjara.

Mengikuti KUHAP 

Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, hukuman mati tetap akan diberlakukan mengacu pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Akan tetapi, ia menjamin pemberlakuan hukuman mati tetap memperhatikan hak hukum para terpidana mati.

"Tak boleh ada yang terlewat. Semua proses hukum harus selesai terlebih dahulu, baru eksekusi dilakukan. Kami membuka ruang itu. Ini membuktikan bahwa dalam penegakan hukum, asas keadilan dan kebenaran selalu dijaga," kata Prasetyo.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana menambahkan, Kejagung masih merampungkan evaluasi eksekusi hukuman mati tahap kedua yang diperkirakan selesai pekan depan. Eksekusi berikutnya tetap akan dilakukan untuk terpidana mati kasus narkoba. "Akan tetapi, waktu pelaksanaan, jumlah terpidana, dan nama terpidana belum dipastikan," ucapnya.

Berdasarkan data Kejagung, dari eksekusi tahap kedua, dua terpidana mati, Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina) dan Serge Areski Atlaoui (Perancis), batal dieksekusi. Serge masih mengajukan upaya hukum dan Mary masih diperlukan untuk pembuktian kasus di negaranya. Saat ini, terpidana mati yang grasinya baru ditolak Presiden adalah A Yam dan Jun Hao (Indonesia).

(ANA/IAN)