Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Indonesia: Miniatur Asia-Afrika

12/12/2018



Dunia menghadapi persoalan serius dan pelik, pergolakan paling serius dalam sejarah negara bangsa di dunia. Di tengah rangkaian Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika, ada desakan menyatukan pendapat dan membangun perlawanan menghadapi apa yang disebut sebagai radikalisasi di kawasan Timur Tengah dan Afrika.

Menteri Luar Negeri Irak Ibrahim al-Jaafari berharap pada peran Indonesia menghadapi masalah Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), seperti yang dilakukan Tiongkok dan Iran lewat koalisi internasional. Di tengah peringatan KAA ini, perlu perspektif konkret tentang radikalisme, ekstremisme, terorisme, dan separatisme (RETS) sebagai bentuk gerakan politik- militer yang dipahami hampir semua negara Asia Afrika.

Jauh sebelum KAA tahun 1955 yang menghasilkan Dasasila Bandung, banyak pejuang di Asia Afrika yang juga memperoleh label RETS dari kaum penjajah pada masa kolonialisme abad ke-18 sampai permulaan abad ke-20. Ini terjadi di Indonesia, India, Aljazair, Mesir, Myanmar, dan banyak negara Asia Afrika lain.

Banyak negara berharap kepada Indonesia, sebagai negara besar di lingkungan Asia Afrika dengan pengalaman yang sangat luas berhadapan dengan isu RETS terus-menerus, dari era kemerdekaan sampai sekarang. Persoalan RETS di Indonesia tidak hanya terbatas pada masalah kepercayaan dan agama, tetapi juga menyangkut ideologi politik dan ekonomi yang setiap saat bisa mencerai-beraikan bangsa Indonesia.

Ini persoalan yang menjadi tanya besar di seluruh dunia, tidak hanya di kawasan Asia Afrika, tetapi juga Amerika ataupun Eropa. Persoalan RETS yang sekarang terjadi di Yaman, misalnya, tereskalasi ke bentuk-bentuk yang tidak bisa dipahami secara menyeluruh dalam konteks RETS yang selama ini dikenal sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).

Pada masa kolonialisme di Asia Afrika, RETS juga dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Dengan demikian, dalam peringatan 60 tahun KAA ini, diperlukan pemahaman bersama berhadapan dengan fenomena ekstremnya RETS di luar kejahatan luar biasa. Diperlukan pendekatan baru agar bisa berhadapan dengan persoalan baru di tengah berkecamuknya globalisasi. Tak hanya pada lesunya ekonomi dan perdagangan global, tetapi juga soal kebuntuan ideologi dan politik menghadapi fenomena RETS ini.

Keterlibatan warga dari 62 negara dalam NIIS, seperti disampaikan Jaafari, menunjukkan ada yang berbeda dengan NIIS. Berbeda dari sekadar pertikaian bernuansa sektarian. Ada ketertarikan yang tidak terdeteksi selama ini. Banyak warga negara asing bergabung dalam ekstremisme RETS yang bukan karena kesepahaman etnik saja, melainkan diwarnai pencarian jati diri berbeda dengan aliran utama globalisasi.

Kita mencatat beberapa faktor. Pertama, partisipasi warga negara asing dalam NIIS ini menunjukkan ada pencarian harapan ideologi baru atas nama kepercayaan agama. Mereka rela meninggalkan harta benda, handai tolan, dan kerabat bergabung dalam gerakan ekstremnya ekstremisme, menjadi pejuang atas nama kepercayaan baru yang berbeda dengan RETS yang kita kenal selama ini.

Kedua, semakin keras tekanan yang dilakukan terhadap NIIS semakin muncul ekstremnya ekstremisme. Membunuh dengan biadab, merusak peninggalan sejarah dan peradaban, serta kekejian lainnya muncul di mana-mana, ditujukan kepada mereka yang tidak sepaham dan dianggap sebagai penindas baru di era globalisasi.

Ketiga, ekstremnya RETS seolah membentuk koalisi tersendiri-dipimpin oleh apa yang mereka sebut sebagai khalifah-menjanjikan kedamaian baru menentang seluruh kebobrokan dunia. Koalisi baru ini setara dengan koalisi bentukan negara maju ketika berhadapan dengan terorisme pasca serangan teror 11 September 2001.

Dalam melihat persoalan ini, kita menyadari betapa pentingnya komitmen solidaritas negara-negara Asia Afrika. Kita menyadari betapa luhurnya butir-butir Dasasila Bandung tentang hak-hak dasar manusia, tentang persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, tentang menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, tentang memajukan kepentingan bersama dan kerja sama, ataupun menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Ini yang disebut Presiden Soekarno "Live and let live principle, we are tolerant to each other", menggambarkan Indonesia sebagai Asia Afrika kecil, Miniatur Asia Afrika. Ini yang diharapkan bisa muncul dari Pesan Bandung 2015, menghadapi kenyataan ekstremnya RETS.

Ini akan menjadi kekuatan penyatu bangsa-bangsa Asia Afrika dan bangsa dunia mana pun. Dimulai dengan saling mengerti satu sama lain, tanpa hegemoni, tanpa dominasi, tanpa represi yang menyebabkan kesengsaraan berkepanjangan.

http://print.kompas.com/baca/2015/04/22/Indonesia-sebagai-Asia-Afrika-Kecil