Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Iuran Pensiun 8 Persen Terlalu Besar, BPJS Ketenagakerjaan Rentan Dipertanyakan DPR

12/12/2018



Otoritas Jasa Keuangan menilai jumlah iuran jaminan pensiun sebesar 8 persen yang diwacanakan pemerintah terlalu besar. Jika terlalu besar, keberlangsungan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Ketenagakerjaan diragukan karena fungsi jaminan pensiun adalah menjamin kelangsungan pembayaran pensiun, bukan untuk penumpukan aset semata. Besaran iuran yang diusulkan OJK adalah maksimal 3-4 persen.

Deputi Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dumoly F Pardede di Jakarta, Minggu (19/4), menyatakan, Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, OJK merupakan lembaga yang mengawasi BPJS.

"BPJS tidak perlu mengakumulasi dana untuk tujuan pembayaran pensiun. Oleh karena itu, biaya iuran 8 persen sangat besar dan kami lihat sebagai penumpukan dana jauh lebih besar dibanding pembayaran kewajiban yang bersifat pay as you go," kata Dumoly.

Dumoly mengingatkan tujuan BPJS untuk menjamin kelangsungan pembayaran pensiun, bukan untuk menumpuk aset semata. Penumpukan aset dinilai dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlangsungan program BPJS itu karena akan menambah beban ke pengusaha.

OJK juga mengusulkan pemerintah menerapkan indeksisasi iuran terhadap manfaat pensiun dengan perhitungan rata-rata usia pensiun yang jatuh tempo secara berkala. Hal itu perlu untuk menjaga tingkat keunggulan kompetitif perusahaan sehingga menambah jumlah investor dan daya jual perusahaan sehingga tingkat ekspor naik karena efisiensi biaya operasional dan bidang sumber daya manusia yang semakin tertata. "Kita harus hati- hati karena hal ini terkait langsung dengan daya tumbuh perekonomian nasional," kata Dumoly.

Manfaat bagi peserta

Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Aditya Warman menyatakan, pekerjaan rumah pemerintah atas usulan angka 8 persen sebagai iuran pensiun masih menumpuk karena terkait masalah substansi hingga teknis. Apindo tengah melakukan riset terkait usulan pemerintah itu.

Usulan 8 persen itu tidak hanya menyangkut masalah angka, tetapi juga substansi. Misalnya, apa pelaksanaan jaminan pensiun nanti. "Misalnya, setelah 15 tahun iuran, berapa persen dari gaji yang akan diterima peserta dan ILO mensyaratkan plus minus 40 persen. Saat ini, pemerintah tidak berani menentukan berapa persen yang akan didapat peserta saat pensiun," kata Aditya.

Asosiasi Emiten Indonesia mengakui sejumlah anggota AEI merasa keberatan jika wacana iuran pensiun sebesar 8 persen diterapkan. Profit perusahaan diproyeksikan berkurang atau beban iuran akan ditanggung konsumen baik perusahaan ataupun pekerja.

"Dirasa memberatkan karena akan menjadikan ekonomi biaya tinggi," kata Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia Franky Welirang, di Jakarta, Jumat (17/4). "Bagaimana dengan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki dana pensiun dan melaksanakannya," ujarnya.

Direktur Eksekutif AEI Isakayoga menyatakan jika iuran pensiun itu dilihat sebagai beban, bagi perusahaan akan mengurangi keuntungan satu perusahaan. Namun, wacana itu dinilai cukup bagus bagi karyawan karena jangka panjang bisa mendorong kesejahteraan mereka.

"Memang beragam tanggapannya dari anggota kami. Anggota yang merasa mampu tentu tidak melihat hal ini sebagai persoalan, berkebalikan dengan sebagian lainnya," kata Isakayoga.

Jika jadi diterapkan, perusahaan mempunyai strategi dalam penerapannya. Mengingat adanya kenaikan ongkos produksi maka bisa saja beban sesungguhnya ditanggung konsumen. Harga produk bakal ditingkatkan. Namun, di sisi lain bisa saja perusahaan konsekuen dengan kemungkinan akan turunnya keuntungan. Itu artinya pemegang saham yang akan menanggung tambahan biaya.

Sementara itu, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya menegaskan, peraturan pemerintah terkait empat program BPJS Ketenagakerjaan sudah selesai disusun. Empat program itu, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP).

Untuk tiga program, yaitu JKK, JKM, dan JHT, besarnya iuran sama seperti yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Besarnya iuran JKK berkisar 0,24 persen hingga 1,74 persen dari upah tenaga kerja yang dilaporkan. Iuran JKM 0,30 persen dari upah yang dilaporkan. Iuran JHT dibayar perusahaan sebesar 3,7 persen dan 2 persen dari pekerja.

"Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) JKM dan JKK hanya tinggal menunggu tanda tangan Presiden," ujar Elvyn.

Pemerintah harus sikapi

Subtansi RPP Program JP mengatur kepersertaan, besaran iuran, penggunaan upah sebagai dasar penghitungan, denda atas keterlambatan pembayaran, dan manfaat program.

Instansi pemerintah, regulator pemerintah, pelaku usaha, dan pegawai masih berdebat tentang besaran iuran wajib yang ditetapkan 8 persen dari upah pegawai. "RPP Program JP sedang tahap finalisasi. Fokus kami mengajak lebih banyak pekerja bergabung ke BPJS Ketenagakerjaan, baik formal maupun bukan penerima upah," kata Elvyn.

Menurut Pasal 6 Ayat 2 RPP Program JP, iuran 8 persen ditanggung oleh pemberi kerja (5 persen) dan pegawai (3 persen). Besarnya iuran itu dinilai terlalu tinggi dan akan membebani pengusaha ataupun korporasi yang sudah mengelola dana pensiun secara sukarela.

Praktisi Jaminan Sosial Abdul Latif berpendapat, perdebatan besaran iuran JP perlu disikapi pemerintah. "Pemerintah perlu bersikap tegas supaya besaran iuran tidak memberatkan pengusaha dan pekerja. Pemerintah juga harus menegaskan bahwa prioritas program JP, yakni masyarakat yang belum mempunyai dana pensiun," ungkap Abdul.

Pada akhir Agustus 2014, jumlah pekerja formal dan bukan penerima upah tercatat 114.828.000 orang. Hingga Desember 2014, baru 17 juta pekerja formal tergabung dalam BPJS Ketenagakerjaan.