Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Kisruh Pupuk Bersubsidi Kembali Terulang

12/12/2018



Kekisruhan pupuk bersubsidi merupakan masalah yang terus berulang setiap memasuki musim tanam. Tanpa komitmen yang komprehensif dari semua pihak, dikhawatirkan terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi yang bisa mengancam target produksi pangan.

Demikian benang merah yang didapat Kompas setelah berkunjung ke beberapa daerah lumbung pangan di Jatim., Jateng, dan Jabar, sepanjang minggu kedua April 2015. Pengakuan dari pelaku di lapangan, kekisruhan pupuk ini terjadi sejak dari hulu hingga hilir. Persoalan itu kian kusut sejak otonomi daerah.

Para pejabat di daerah lebih fokus dan intens dalam urusan politik ketimbang pangan sehingga kondisi pertanian di lapangan kian rapuh dan jauh dari perhatian. Tak ada data akurat yang bisa digunakan untuk mengetahui secara tepat luasan lahan pertanian pangan untuk menjadi dasar penentuan penyusunan kebutuhan pupuk oleh petani sesuai dengan rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK).

Semua faktor itu menjadi pangkal persoalan tajamnya gap antara usulan kebutuhan riil yang diajukan kelompok tani dan realisasi alokasi pupuk bersubsidi yang ditentukan pemerintah.

Kondisi itu terkonfirmasi dari data PT Pupuk Indonesia Holding Company kepada DPR pada awal tahun 2015. Menurut data tersebut, terjadi gap antara alokasi realisasi pendistribusian pupuk bersubsidi, RDKK, dan usulan daerah sejak beberapa tahun sebelumnya.

Sebagai gambaran, pada 2011, usulan daerah 16,954 juta ton, alokasinya 9,885 juta ton, dan realisasinya 8,336 juta ton. Pada 2013, usulan daerah turun menjadi 13,505 juta ton, alokasinya 10,529 juta ton dan realisasinya 8,784 juta ton. Lalu, pada 2014, usulannya menjadi 13,188 juta ton, sementara alokasinya hanya 9,550 juta ton dan realisasinya hanya 8,994 juta ton.

Tahun ini, data pemerintah mengenai kebutuhan riil pupuk sebanyak 14,4 juta ton, tetapi usulan daerah 13,38 juta ton dan alokasi yang disetujui Menteri Pertanian sebanyak 9,5 juta ton atau terjadi gap 3,88 juta ton.

Gap di sejumlah daerah

Kenyataan itu juga terlihat di sejumlah daerah di sentra produksi gabah di Jawa. Sebagai gambaran, di Jatim, salah satu lumbung pangan terbesar nasional, total produksi gabah kering giling (GKG) tahun 2014 sebanyak 12,4 juta ton atau 17 persen dari total produksi GKG nasional. Gabah tersebut dihasilkan dari luasan hamparan sawah 1,2 juta dengan tingkat produktivitas panen rata-rata 6,5 ton per hektar.

Sebagai lumbung pangan, Jatim kerap dihantui masalah kelangkaan pupuk menjelang musim tanam. Salah satu penyebabnya, alokasi pupuk bersubsidi dari Kementerian Pertanian jauh di bawah kebutuhan petani yang ada dalam RDKK.

Permintaan pupuk bersubsidi jenis urea yang diajukan Pemerintah Provinsi Jatim untuk tahun 2015 sebesar 1,3 juta ton. Namun, alokasi pupuk bersubsidi yang diberikan Kementerian Pertanian hanya 1,050 juta ton sehingga terjadi kekurangan 250.000 ton urea.

Namun, angka itu jika diaplikasikan di lapangan, kata Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Madiun, Jatim, Suharno, gapnya lebih besar lagi. Kekurangan itu bisa mencapai 500.000 ton urea, itu pun jika tidak ada bencana.

Setelah pupuk disebar, ternyata banjir sehingga pemupukan harus diulang untuk mengganti pupuk yang hanyut. Faktor lainnya adalah karena persepsi petani bahwa hasil panen bisa minimal 7 ton per hektar jika pemupukan urea lebih dari yang dianjurkan pemerintah.

”Pola itu terutama dilakukan petani penggarap yang sawahnya sewa. Mereka harus menggenjot produktivitas hasil panen untuk menutup biaya sewa tahun ini dan tahun depan,” ujar Suharno.

Lahan tepian hutan

Selain penggunaan lebih besar dari anjuran, tambah Ketua Asosiasi Distributor Pupuk Jatim Agung Wahyudi, kisruh pupuk terjadi menjadi makin kusut sejak otonomi daerah, data untuk menyusun RDKK lemah, dan pengawas yang kian banyak.

Ditambah lagi adanya lahan tepian hutan dari sepanjang wilayah Jabar hingga Jatim bagian selatan yang tidak masuk dalam RDKK. Petani ini akan memburu pupuk bersubsidi, padahal sawahnya tidak terdaftar.

Kalau permintaan mereka dipenuhi, kata Agung, itu salah dan dianggap menyelewengkan pupuk bersubsidi. Jika tidak diberi, pemilik kios atau distributor didatangi ramai-ramai oleh petani. Pemilik kios ketakutan dan akhirnya pupuk dijual meski tidak masuk RDKK. Masalah belum usai karena distributor atau kios harus berhadapan dengan para pengawas.

”Kami tak hanya menjaga dan menjelaskan soal pupuk titipan kelompok tani, tetapi juga memutakhirkan data setiap saat. Ini, kan, butuh tenaga, biaya untuk fotokopi, dan sebagainya,” kata Agung, pemilik PT Kembar Jaya, distributor PT Pupuk Kalimantan Timur dan PT Petrokimia Gresik di Jawa Timur.

Hal yang sama terjadi di Kabupaten Cirebon, Jabar. Dalam hal perencanaan, pengajuan RDKK sering kali tidak sesuai karena alokasi yang ditetapkan pemerintah masih di bawah usulan mereka. Untuk wilayah Kabupaten Indramayu, Jabar, tahun ini terjadi selisih 6.000 ton.

”Hingga saat ini, untuk Indramayu disepakati alokasi pupuk bersubsidi 76.739 ton, sedangkan kebutuhan riil 82.575 ton,” kata Takmid, Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu.

Diakui ada kekurangan

Kekurangan pupuk bersubsidi diakui Gubernur Jatim Soekarwo. Menurut Soekarwo, rendahnya alokasi dari pemerintah pusat merupakan persoalan klasik yang terjadi setiap tahun selama bertahun-tahun. Penambahan kuota sulit dilakukan karena kewenangan Kementerian Pertanian dan keterbatasan anggaran.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman tak menampik kondisi itu. Menurut Andi Amran, Minggu (12/4), di Jakarta, meningkatnya luas areal tanam padi pada musim tanam Oktober 2014-Maret 2015 seluas 700.000 hektar berdampak pada kenaikan permintaan pupuk bersubsidi. Pada Oktober 2013-Maret 2014, realisasi luas tanam padi seluas 8,1 juta hektar. Karena ada tambahan 700.000 hektar, realisasi luas tanam Oktober 2014-Maret 2015 menjadi 8,8 juta hektar.

Pada musim tanam padi April-September 2015 atau pada musim kemarau I dan II, Kementerian Pertanian menargetkan realisasi luas tanam padi 5,8 juta hektar, naik 1,2 juta hektar dibandingkan periode yang sama 2014 seluas 4,6 juta hektar.

Dengan adanya peningkatan luas area tanam 700.000 hektar pada periode tanam Oktober- Maret 2015, serta tambahan 1,2 juta hektar untuk periode April-September 2015, kebutuhan pupuk bersubsidi secara nasional akan meningkat pesat. ”Dengan penghitungan tambahan luas tanam seperti itu, sudah pasti perlu tambahan kebutuhan alokasi pupuk bersubsidi,” katanya.

Selain itu, tambah Amran, salah satu penyebab terjadinya kekurangan pupuk bersubsidi adalah belum dimasukkannya kelompok petani penggarap lahan tepian hutan sebagai pembagi dari alokasi. Jumlahnya mencapai 6,9 juta hektar.

Kendalanya, petani tepian hutan tak punya lahan tetap sebagai syarat pengajuan RDKK. Kementerian Pertanian mengatakan sudah bertemu dengan Menteri Kehutanan dan Komisi IV DPR untuk membahas regulasi itu agar petani tepian hutan mendapatkan alokasi pupuk bersubsidi pada tahun anggaran 2016.

http://print.kompas.com/baca/2015/04/20/Kisruh-Pupuk-Bersubsidi-Terus-Berlangsung