Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Menanti Langkah Presiden

12/12/2018



Rabu (13/5), kebijakan penundaan izin baru di lahan gambut dan hutan alam di Indonesia akan berakhir setelah berlangsung empat tahun. Atas nama penuntasan perbaikan tata kelola hutan, sejumlah pihak meminta Presiden Joko Widodo memperpanjang, bahkan memperkuatnya.

Penundaan izin baru (moratorium) dimulai Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Sepekan sebelum masa berlaku inpres itu habis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Inpres No 6/2013 yang memperpanjang moratorium selama dua tahun, hingga 13 Mei 2015.

Empat tahun berjalan, kebijakan itu belum mampu melindungi hutan dan gambut dari eksploitasi. Hutan rawa gambut di Desa Pungkat, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, yang dibuka untuk perkebunan sawit itu, menjadi bukti.

Puluhan hektar hutan bergambut berkedalaman hingga 8 meter ”dibersihkan” (land clearing). Alat-alat berat baru rakus merobohkan tegakkan demi kanal yang mengeringkan gambut. Bibit sawit tak tahan rendaman air.

Persoalannya, gambut kering sangat mudah terbakar, melepas gas metana (CH4) dengan efek gas rumah kaca (GRK) 1.000 kali lebih tinggi dibandingkan karbondioksida (CO2). Itu memperparah emisi dari Indonesia, yang sejak 2009 berkomitmen menurunkan emisi GRK 26 persen.

Pembakaran merupakan pilihan murah menetralkan sifat asam gambut meski undang-undang melarangnya. Metode cepat itu ratusan kali lebih murah dibandingkan pupuk/kapur. Namun, pemadaman sulit karena sifat gambut menyimpan bara. Dampak kesehatan, sosial, dan ekonominya juga sangat serius.

Oleh karena itu, dalam berbagai regulasi dan izin perkebunan maupun kehutanan, perusahaan wajib menyediakan sarana-prasarana, anggaran, hingga sumber daya manusia untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran. Praktiknya, hasil audit kepatuhan kebakaran hutan dan lahan tahun 2014 (dipimpin Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan/UKP4), di Provinsi Riau, 17 unit usaha perkebunan/hutan tanaman setempat melanggar sejumlah aturan.

Audit kepada pemda setempat juga menunjukkan pengawasan yang lemah. Tak heran, hampir 20 tahun terakhir, kebakaran hutan dan lahan tak pernah absen dari Riau.

Dalam konteks itu, Presiden Joko Widodo, saat ”blusukan asap” ke Sungai Tohor, Riau, 27 November 2014, menjanjikan perpanjangan moratorium. ”Sampai detik ini, (moratorium) terus dan kelihatannya akan diperpanjang,” kata Presiden.

Tumpang tindih

Selain kebakaran hutan yang menunjukkan borok pengelolaan hutan dan gambut, tumpang tindih lahan tak kalah parah. Di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, analisis peta perizinan tambang, kebun, dan hutan tanaman, tumpang tindih ketiga sektor itu sangat parah.

Jangankan menyandingkan tiga perizinan, analisis spasial pada dua faktor, yaitu kawasan hutan lindung/konservasi dan izin pertambangan di Lampung, Bengkulu, dan Banten yang dilakukan Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pun sudah tumpang tindih. Sedikitnya 124.599 hektar izin tambang (izin usaha pertambangan dan kontrak karya) berada di hutan lindung dan 6.006,37 hektar izin tambang berada di hutan konservasi.

Sisi lain lagi, tumpang tindih aktivitas usaha di kawasan hutan pun menyimpan potensi konflik bagi 33.000 desa yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (2013), 369 konflik agraria seluas 1,28 juta ha melibatkan 139.874 keluarga.

Konflik didominasi perkebunan (180 konflik), infrastruktur (105), pertambangan (38), kehutanan (31), dan pesisir/kelautan (9). Dari sisi luas areal konflik, didominasi sektor kehutanan (545.258 ha), perkebunan (527.939 ha), tambang (197.366 ha), infrastruktur (35.466 ha), dan perairan (184 ha). Ditelaah, konflik sektor perkebunan dan pertambangan juga di areal pinjam-pakai atau hutan yang bisa dikonversi di kawasan hutan.

Penguatan

Meski banyak pihak menilai moratorium memperbaiki pengelolaan hutan dan gambut, kebijakan itu belum 100 persen melindungi hutan dan gambut tersisa. Di Desa Pungkat, kepala daerah tetap menerbitkan izin tahun 2013, saat inpres moratorium masih berjalan.

”Format regulasi inpres itu tak memiliki sanksi hukum, apalagi bagi kepala daerah di era otonomi daerah begini. Perlu ditingkatkan jadi peraturan presiden agar diikuti dan memiliki konsekuensi hukum,” kata Haris Gunawan, Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau.

Penguatan lain, kata Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Abetnego Tarigan, perlu evaluasi/audit wajib izin di lahan berhutan dan bergambut yang telah diterbitkan. Demi tuntasnya perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut. Semua ada pada keputusan Presiden.