Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) MK Langgengkan Politik Kekerabatan

12/12/2018



JAKARTA, KOMPAS — Dengan pertimbangan setiap orang harus dijamin bebas dari perlakuan diskriminatif, Mahkamah Konstitusi membatalkan syarat calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah tidak punya konflik kepentingan dengan petahana. Namun, putusan itu dikhawatirkan akan melanggengkan praktik politik kekerabatan.

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyatmadji, Rabu (8/7), di Jakarta, mengatakan, hingga tahun 2014, setidaknya ada 59 kepala/wakil kepala daerah terpilih yang memiliki ikatan keluarga dengan petahana.

Fenomena tersebut antara lain terjadi di Bangkalan, Jawa Timur, yakni Ibnu Fuad terpilih menjadi bupati menggantikan ayahnya, Fuad Amin Imron. Di Bantul, Sri Surya Widati memenangi pilkada menggantikan suaminya, Idham Samawi.

Kini juga ada fenomena pimpinan daerah dalam satu provinsi punya hubungan kekerabatan. Hal ini antara lain terjadi di Banten. Wakil Bupati Serang Tatu Chasanah adalah adik kandung Gubernur Banten (nonaktif) Atut Chosiyah. Wali Kota Serang Tubagus Haerul Jaman adalah adik tiri Atut. Adapun Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany adalah adik ipar Atut dan Wakil Bupati Pandeglang Heryani adalah ibu tiri Atut. Kasus serupa terjadi di daerah lain.

Menurut Dodi, ada kecenderungan sebagian petahana menyalahgunakan pos bantuan sosial dan hibah pada APBD untuk kepentingan pemenangan keluarganya di pilkada. Hal ini kemudian diperkuat dengan penggunaan perangkat birokrasi oleh petahana.

Wakil Ketua Fraksi PDI-P di DPR Arif Wibowo menuturkan, politik kekerabatan, yakni kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait hubungan keluarga, berpotensi menyuburkan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Dengan pertimbangan ini, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, ketentuan terkait larangan politik kekerabatan seharusnya tetap dipertahankan. ”Lagi pula, sudah ada aturan menunggu satu periode jabatan. Jika memang mau mendaftarkan diri dan berkompeten, seharusnya kerabat petahana bisa menunggu satu periode untuk menghindari konflik kepentingan,” ujarnya.

Namun, Fadli menambahkan, putusan MK yang membatalkan Pasal 7 Huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada beserta penjelasannya yang mengatur tentang larangan konflik kepentingan dengan petahana tetap harus dihormati dan dilaksanakan.

Hak asasi

Kemarin, dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, MK membatalkan Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015. Dengan demikian, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, ketentuan larangan konflik kepentingan memuat pembedaan perlakuan yang semata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang. Padahal, konstitusi menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif. Larangan diskriminasi juga ditegaskan dalam Pasal 3 Ayat (3) UU HAM.

MK menilai Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015 juga sulit dilaksanakan oleh penyelenggara pilkada. Ini karena pemaknaan terhadap frasa ”tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai kepentingannya hingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dalam putusannya, MK tidak menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana punya berbagai keuntungan terkait pencalonan kerabatnya. MK sepakat dengan pentingnya pembatasan agar keuntungan itu tidak disalahgunakan petahana untuk kepentingan dirinya dan kerabatnya. Namun, pembatasan harus ditujukan kepada kepala daerah petahana, bukan kepada keluarga, kerabat, atau kelompok-kelompok yang dimaksud.

Kemarin, MK juga membatalkan ketentuan bahwa pegawai negeri sipil harus mengundurkan diri ketika mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah. PNS mundur ketika telah ditetapkan sebagai calon oleh KPU. Hal yang sama berlaku bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD. Anggota legislatif yang semula cukup memberitahukan pencalonannya kepada pimpinannya, sejak putusan MK, juga diwajibkan mundur secara permanen jika sudah menjadi calon oleh KPU.

Abai

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menilai MK abai dalam melihat konsekuensi pencalonan kerabat petahana terhadap pilkada yang jujur, adil, dan demokratis. MK, menurut dia, lebih mempertimbangkan hak politik kerabat petahana yang dinilai tercederai oleh Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015.

Padahal, Titi menilai hak politik mereka sebenarnya tak hilang, tetapi hanya diatur waktunya, yakni satu periode setelah masa jabatan petahana.

Menyesuaikan

Dodi Riyatmadji menuturkan, putusan MK yang telah membatalkan pasal larangan politik kekerabatan akan segera dilaksanakan. ”Kementerian Dalam Negeri akan membuat surat untuk menyosialisasikan isi putusan MK itu ke semua kepala daerah dan juga penyelenggara pilkada agar semua pihak mengikuti putusan MK tersebut,” ujarnya.

Sementara itu, KPU akan mengubah peraturan KPU (PKPU) agar sesuai dengan putusan MK. Komisioner KPU, Ida Budhiati, mengatakan, aturan yang akan diubah ialah PKPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Surat Edaran KPU Nomor 302/VI/KPU/ 2015 yang merinci definisi petahana juga akan diubah.

Kendati pasal yang mengatur keluarga petahana sudah dibatalkan, menurut Ida, politik kekerabatan tetap bisa dikendalikan lewat penegakan hukum. Ia mencontohkan, petahana yang terbukti menyalahgunakan wewenang dan menguntungkan kerabatnya bisa diminta pertanggungjawabannya.

Pengendalian politik kekerabatan, lanjut Ida, juga berada di partai politik, yakni dengan mempertimbangkan faktor kekerabatan calon dengan petahana dalam proses seleksi calon kepala daerah.