Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Polemik Remisi Koruptor: PP 99 tahun 2012 tentang Pengetatan Remisi Tak Perlu Direvisi

12/12/2018



Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi belum perlu direvisi. Masih banyak urusan lain yang perlu diperhatikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia selain rencana merevisi PP itu.

”Ada banyak hal lain yang masih perlu dibicarakan (dalam pemberantasan korupsi), seperti sistem pembuktian terbalik atau pemiskinan koruptor. Kalau remisi, sudah ada aturannya. Yang pasti, dengan PP No 99/2012 itu sudah cukup bagus untuk diterapkan dengan baik,” kata Jaksa Agung HM Prasetyo, Rabu (18/3), di Kantor Presiden.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Farouk Muhammad. ”Untuk apa PP No 99/2012 diubah? Sulit untuk tidak menilai langkah ini sebagai langkah politis,” katanya.

PP No 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengatur sejumlah syarat yang harus dipenuhi narapidana koruptor untuk memperoleh remisi. Dalam PP itu dinyatakan, narapidana korupsi harus bersedia menjadi saksi pelapor yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) atau membongkar tindak pidana yang dilakukannya serta membayar lunas denda dan uang pengganti.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menuturkan, ada ketentuan yang perlu ditinjau dalam pemberian remisi bagi koruptor. Ketentuan itu adalah perlunya pertimbangan dari instansi atau lembaga terkait, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, dan kejaksaan dalam pemberian remisi (Kompas, 18/3).

”Kami berharap, (revisi PP No 99/2012) mudah-mudahan itu baru wacana perorangan (Menkumham),” kata Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Masdar F Mas’udi.

Masdar berharap, Presiden Joko Widodo menolak usulan perubahan PP No 99/2012 jika benar-benar diajukan Menkumham. Ini karena revisi tersebut dapat bertentangan dengan semangat anti korupsi yang dicanangkan Presiden Joko Widodo serta tidak sesuai dengan impian dan harapan seluruh masyarakat.

Pertimbangan

Menurut Farouk, sepanjang belum ada tim atau dewan independen untuk memberi pertimbangan remisi, pemerintah harus menggunakan mekanisme yang ada. ”Tidak ada salahnya mendengar masukan KPK sebelum memberi remisi. Sama halnya dengan Presiden yang meminta pertimbangan Mahkamah Agung sebelum memberi grasi. Menkumham tidak boleh menetapkan (remisi) sendiri karena bisa bias,” ucapnya.

Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi SP menuturkan, selama ini KPK memberikan pertimbangan terhadap pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi sesuai dengan kesepakatan bersama lembaga hukum lain.

”Dalam domain KPK, untuk justice collaborator kami merumuskan tuntutan yang lebih ringan dibandingkan dengan pelaku lain yang bukan justice collaborator. MA melalui pengadilan memutus lebih ringan serta Kemenkumham memberi penghargaan berupa remisi atau pembebasan bersyaratnya dipermudah,” kata Johan.

Berawal dari kesepakatan pemberian penghargaan terhadap pelaku korupsi yang mau menjadi justice collaborator ini, lalu ada keinginan untuk mengatur lebih tegas dalam ketentuan khusus. Terlebih pada saat yang bersamaan muncul persepsi bahwa pemberian remisi terhadap narapidana seolah diobral sehingga narapidana korupsi pun bisa dengan mudah mendapatkan pemotongan masa tahanan dan kemudahan pembebasan hukumannya.

”Pemikiran itu yang kemudian diwujudkan dalam PP No 99/2012. Di PP tersebut, untuk memperketat pemberian remisi, harus ada rekomendasi dari instansi lain, seperti KPK dan kejaksaan,” kata Johan.

Prasetyo menuturkan, persyaratan yang lebih ketat untuk mendapatkan remisi juga diberlakukan bagi narapidana perkara terorisme dan narkoba. Bagi terpidana teroris, untuk memperoleh remisi harus sudah ikut program deradikalisasi, menyatakan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Sementara untuk terpidana narkoba, remisi hanya diberikan kepada mereka yang dipidana lima tahun atau lebih. ”Jika ketentuan ini diterapkan dengan tepat, sudah cukup bagus,” katanya.

 

Didukung DPR

Yasonna H Laoly menyatakan telah melaporkan rencana untuk merevisi PP No 99/2012 kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Laporan ini dilakukan Yasonna dalam rapat kabinet terbatas bidang politik, hukum, dan keamanan yang digelar kemarin di Kantor Presiden.

Menurut Yasonna, rencana revisi itu sudah salah dimengerti oleh sebagian kalangan. ”Saya sudah jelaskan, itu untuk memperkuat dan memperbaiki sistem peradilan pidana terpadu. Masing-masing punya kamar dan kewenangan,” katanya.

Dalam rencana revisi PP No 99/2012 tersebut, kewenangan memberikan remisi dilaksanakan Kemenkumham dan tidak bergantung pada instansi lain. Namun, pemberian remisi akan dibahas terlebih dahulu oleh tim penilai pemberian remisi yang melibatkan Kemenkumham dan instansi lain. ”Jadi, (yang ingin dibangun) sistem pidana terpadu kita yang jelas kamar-kamar dan kewenangannya. Jangan diinterpretasi lain,” ujar Yasonna.

Rencana revisi ini, menurut Yasonna, juga pernah dia sampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, beberapa waktu lalu. Komisi III DPR menyetujui dan mempersilakan Kemenkumham untuk melakukan pembahasan di seminar-seminar, workshop, dan diskusi kelompok yang melibatkan pakar. Apa yang dilakukan Kemenkumham saat ini merupakan tindak lanjut dari hasil rapat kerja itu.

Yasonna menuturkan, meski rencana itu sudah dilaporkan dalam rapat itu, Presiden Jokowi belum memberikan arahan. Hal ini karena persoalan ini masih sebatas embrio pembahasan.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyepakati usulan perubahan PP No 99/2012. Alasannya, Indonesia menganut rezim pemasyarakatan, bukan penjeraan. Artinya, seorang warga negara yang bersalah tidak boleh dihukum dua kali.

”Misalnya, seorang terpidana sudah menjalani hukuman dan berubah menjadi orang baik, ya, harus ada kompensasinya. Kalau (terpidana) sudah jadi orang baik, ya, sudah (diberi keringanan hukuman, seperti remisi). Untuk apa negara kasih makan orang baik?” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera tersebut.

Banyak urusan

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Siti Noor Laila mengatakan, Menkumham memiliki banyak urusan di luar merevisi PP No 99/2012. Menkumham seharusnya fokus pada hal-hal yang penting tersebut, seperti pembinaan aparatur sipil di lembaga pemasyarakatan.

”Dalam kasus narkoba, misalnya, setelah masuk LP, narapidana narkoba malah lebih mudah mengontrol pengedaran narkoba. Ada yang salah dalam sistem penegakan hukum di sini, dan itu yang kini seharusnya dipikirkan oleh Menkumham,” kata Siti.

Secara terpisah, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto berpendapat, Menkumham perlu mengkaji lagi rencananya merevisi PP No 99/2012. Menurut dia, Menkumham perlu menampung dan mendengarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat.