Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Satuan Tugas Keamanan Laut Perlu Dibentuk

12/12/2018



JAKARTA, KOMPAS — Usulan pembentukan satuan tugas keamanan laut kembali mengemuka. Satuan tugas keamanan laut ini perlu segera dibentuk agar kinerja dalam menjaga keamanan laut menjadi optimal dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antarinstansi.

"Penting ada satuan tugas ini sehingga semuanya bisa berjalan satu komando. Saat ini sudah baik, tapi masih berjalan sendiri- sendiri sehingga hasil yang diperoleh tak optimal," kata mantan Kalakhar Badan Koordinasi Keamanan Laut Laksdya (Purn) Didik Heru Purnomo dalam diskusi bertajuk "Membangun Poros Maritim", Minggu (10/5), di Cikini, Jakarta. 

Satuan tugas ini, menurut dia, sebaiknya berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Ia menambahkan, satuan tugas ini gabungan dari Badan Keamanan Laut (Bakamla), TNI Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Tak hanya satuan tugas, Didik juga mengusulkan penambahan anggaran dan peralatan yang terkait keamanan laut. Selama ini Bakamla hanya memiliki tiga kapal. Sebanyak 10 kapal yang dijanjikan TNI AL belum diserahkan. Padahal, penanganan illegal fishing membutuhkan banyak kapal untuk beroperasi.

"Kebutuhan kapal untuk keamanan laut ini cukup banyak. Sebanyak 70 kapal sampai 80 kapal yang dibutuhkan untuk operasional. Ini butuh waktu lama untuk mewujudkan, tapi bukan tidak mungkin jika ada kerja sama antarinstansi," kata Didik. 

Meski belum menyerahkan kapal, TNI AL membantu menyiapkan enam pangkalan penyangga di kawasan perbatasan guna mendukung kebijakan poros maritim. Pembangunan enam pangkalan penyangga itu tak lain berada di Jakarta, Sumatera, dan Tanjung Pinang untuk wilayah barat.

Sisanya akan dibangun di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur untuk wilayah timur. "Dengan demikian, (pangkalan-pangkalan penyangga ini) akan mempermudah penanganan jika ada kasus illegal fishingyang terjadi di wilayah-wilayah tersebut," ujar Didik. 

Hal tersebut dibenarkan oleh anggota DPD dari Kepulauan Riau, Djasarmen Purba. Anggaran untuk keamanan laut dan peralatan perlu ditambah. Apalagi, pemerintah telah berkomitmen untuk membangun poros maritim. "Eksekusinya juga tidak bisa satu instansi saja. Semua yang berkaitan harus bekerja sama," ucap Purba.

Terkait dengan anggaran, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015, Kemenko Polhukam telah meminta penambahan anggaran untuk penguatan Bakamla Rp 726,3 miliar. Penambahan ini juga sudah disetujui DPR. Tambahan anggaran ini ditujukan untuk peningkatan kapasitas sarana prasarana, seperti pengadaan kapal patroli Kamla dan sarana pendukung operasi Kamla serta sistem informasi keamanan laut dan keselamatan laut.

Bupati Purwakarta Dedi Purwadi mengatakan, dengan anggaran yang telah ditambah tersebut, pemerintah harus mengalokasikannya dengan tepat. "Anggaran kelautan sangat besar, tetapi alokasi harus jadi fokus utama. Ini harus hati-hati agar tepat guna," kata Dedi.

Seperti diketahui, illegal fishing banyak terjadi di perairan RI. Terakhir, seperti diberitakan Kompas, 29 April 2015, Kepolisian Resor Talaud, Sulawesi Utara, menahan satu set kapal penangkap ikan yang terdiri atas tujuh kapal bersama 20 anak buah kapal (ABK) asal Filipina di Dermaga Pelabuhan Beo, Kabupaten Talaud. Kepolisian masih menyelidiki dokumen kepemilikan kapal itu dan modus pencurian ikan di laut teritorial Indonesia.

Kepala Polres Talaud Ajun Komisaris Besar Reindolf Umnehopa menduga, dokumen kepemilikan kapal asal Filipina itu serta izin operasional yang dikeluarkan pejabat Dinas Perhubungan Kota Bitung dan Kabupaten Talaud palsu. Polisi semakin curiga karena para ABK tidak memiliki identitas sebagai warga Indonesia. Mereka juga tidak bisa berbahasa Indonesia.

Pelaksana Tugas Direktur Operasi Laut Badan Keamanan Laut Laksamana Pertama Andi Achdar mengatakan, lemahnya penegakan hukum di bidang maritim selama ini, antara lain, disebabkan perbedaan persepsi di antara aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus kejahatan maritim. (IAN)