Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas Sore) 2014, Tahun Arogansi Politik

12/12/2018



Suara rakyat diperlukan untuk menggapai kemenangan. Begitu meraih kemenangan, sebagian besar politisi justru menunjukkan kembali sikap aslinya. Tepatlah, tahun 2014 lebih disebut sebagai tahun arogansi politik.

Kajian Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) yang merefleksikan pergolakan politik tahun 2014 tersebut dipaparkan kepada wartawan di Jakarta, Rabu (17/12). Refleksi akhir tahun ini menghadirkan Pimpinan SSS Sukardi Rinakit serta penelitinya, Toto Sugiarto dan Muhamad Dahlan.

Dalam kajiannya, SSS menengarai arogansi politik muncul dalam beberapa hal, seperti perselisihan di parlemen antara Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Koalisi Merah Putih yang mendukung pasangan peserta pemilu lainnya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Perselisihan yang sampai saat ini sepenuhnya belum bisa didamaikan itu merupakan episode persaingan politik sebagai kelanjutan dari kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

Politik gaduh dinilai terjadi karena parliament looks more noise than voice. Terbelahnya parlemen tersebut jelas merugikan rakyat. Politisi hanya berkutat pada konflik.

Arogansi politik di parlemen membuat fungsi pengawasan, legislasi, dan penganggaran sejauh ini hampir tidak berjalan semestinya. Parlemen terlihat lebih mengedepankan kepentingan kelompok daripada kepentingan negara.

Ironis, keterbelahan DPR juga sempat melahirkan DPR tandingan. Setiap kelompok ini merasa sebagai pihak yang paling memiliki legitimasi.

Peneliti Senior SSS, Toto Sugiarto, mengatakan, ”Bentuk arogansi politik dipertontonkan elite politik di DPR.”

Lebih buruk

Menurut Toto, kontestasi Pilpres 2014 memang terkesan kuat lebih buruk dibandingkan dengan pilpres periode sebelumnya, baik dari sisi peserta maupun penyelenggara, dari politik uang hingga kampanye yang menyerang secara personal berujung pada rasa dendam.

Usai reformasi, Pilpres 2014 bisa disebut kontestasi yang paling keras dalam perjalanan republik ini. Keterbelahan dukungan masyarakat muncul tak terkendali. Kampanye negatif dan hitam mewarnai Pilpres 2014.

Sukardi menyebut, salah satu penyebab arogansi politik adalah konglomerasi politik. Ketika pemodal bergabung dengan politisi, semua berjuang keras untuk meraih kemenangan.