Melalui pesan pendek dan surat elektronik, sejumlah teman di Papua mengabarkan bahwa beberapa tokoh agama menyatakan penolakan mereka terhadap rencana kedatangan Presiden Joko Widodo pada perayaan Natal lalu.

Tentu banyak yang terenyak dengan penolakan itu karena, saat pemilihan presiden lalu, orang asli Papua begitu bersemangat mendukung Joko Widodo. Ketika mantan gubernur Jakarta itu menyatakan hendak mengunjungi Papua, mereka senang. Maka, apabila sebagian dari mereka lalu menolak, mengagetkan.

Namun, persoalan yang terjadi belakangan membuat sebagian lainnya memahami mengapa orang asli Papua kecewa dan menolak kedatangan Joko Widodo. Pertama, karena ketika itu orang asli Papua tengah berduka akibat kasus penembakan yang menewaskan lima warga Enagotadi, Kabupaten Paniai. Diduga penembakan yang terjadi saat pembubaran aksi massa itu dilakukan oleh aparat keamanan gabungan.

Kedua, di tengah harapan yang cukup besar kepada sosok Joko Widodo, orang asli Papua justru mendapat ”hadiah” natal yang memilukan. Mereka kecewa! Kecewa karena ternyata cara dan sikap pemerintah, khususnya aparat keamanan, terhadap Papua belum berubah.

Pada satu tangan membawa tawaran kesejahteraan, sementara di tangan lain membawa senapan. Pada satu saat menyatakan melakukan pendekatan kesejahteraan, sementara yang terjadi adalah keamanan. Pada satu saat menyatakan Papua adalah wilayah yang aman, pada saat yang sama operasi intelijen yang masif hingga ke kampung-kampung terus dilakukan dalam aneka bentuknya.

Menarik hati

Ketika Joko Widodo maju sebagai calon presiden, rakyat Papua sontak dan segera tergerak mendukungnya. Kampanye media tentang sepak terjang mantan wali kota Solo itu menarik hati orang asli Papua yang sesungguhnya telah lelah dengan janji pemerintah dan sikap pemerintah yang penuh ambigu.

Mengapa Joko Widodo didukung? Selain karena sikapnya yang rendah hati dan mau mendengarkan, serta cekatan, pengusaha mebel itu sama sekali tidak terkait pada sejarah kelam dan berdarah-darah yang dialami orang asli Papua. Mereka memiliki harapan besar kepada sosok Joko Widodo yang humanis dan mau mendengar itu. Orang asli Papua memiliki harapan Joko Widodo akan mengulangi pendekatan kultural sebagaimana dulu almarhum Abdurrahman Wahid mendekati Papua.

Presiden Keempat Republik Indonesia yang akrab dipanggil Gus Dur itu mengembalikan lagi nama Papua menggantikan nama Irian Jaya. Langkah itu sungguh menyentuh batin orang asli Papua dan mereka merasa martabat orang Papua sungguh dihargai. Lalu, mengapa dengan nama Irian Jaya? Nama itu sebenarnya terasa seperti mewakili sejarah penaklukan.

Berkaca dari itu, orang asli Papua yang selama 50 tahun terakhir seakan-akan menjadi anak tiri di negeri ini, yang ditinggal di pinggiran, yang selalu dijejali janji, begitu berharap kepada sosok Joko Widodo. Sebagai sosok yang tidak pernah terkait sejarah kelam Papua, Joko Widodo diharapkan mampu mengulang sikap bijak Gus Dur dan memutus rantai atau siklus kekerasan di wilayah itu.

Ia diharapkan mampu mendekati Papua dengan pendekatan kultural, bukan legalistik dengan aneka macam undang-undang atau keppres, apalagi pendekatan keamanan. Toh, saat menggalang dukungan dari nahdliyin dulu, Joko Widodo mendapat kehormatan mengenakan peci milik mendiang Gus Dur. Ukuran peci itu pas betul di kepala Joko Widodo. Ada harapan, Joko Widodo akan mewarisi bijaknya Gus Dur.

Ketika orang asli Papua saat ini tengah berada dalam tarikan antara harapan kepada sosok yang mereka pilih dan kegetiran atas fakta kekerasan yang berulang terus mereka alami, situasi itu seharusnya dapat mengetuk keras-keras pintu istana Joko Widodo agar ia segera mau turun tangan dan memutus rantai kekerasan di Papua.

Penolakan sejumlah tokoh agama di Papua sebaiknya menjadi energi bagi Presiden Joko Widodo mengambil langkah konkret untuk menyejahterakan orang asli Papua, lahir dan batin.