Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas Sore) Politik Ganjil PDI-P

12/12/2018



PDI-P tampaknya masih gamang dalam menentukan posisi politik- nya setelah lebih dari sepuluh tahun menjadi partai oposisi.

Instruksi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri kepada kadernya untuk mengubah mindset sebagai partai oposisi ke partai pemerintah tampaknya belum berhasil.

Pernyataan anggota DPR PDI-P, Effendi Simbolon, yang menolak secara terbuka kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) boleh jadi menjadi salah satu contoh. Effendi bahkan menuding Wakil Presiden Jusuf Kalla yang paling bernafsu menaikkan harga BBM. ”Nafsu banget sih, enggak melihat sikon, baru seminggu dilantik sudah bikin heboh,” ujar Effendi.

”Apa dengan naik Rp 3.000 masyarakat akan makmur? Kalau iya makmur, naikinlah jadi Rp 10.000 sekalian. Biar makmur hari ini rakyat Indonesia,” kata Effendi. Penolakan serupa disuarakan anggota Fraksi PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, yang sempat disebut-sebut sebagai calon menteri dari kabinet Joko Widodo. Rieke mengatakan, solusi mengatasi jebolnya APBN bukanlah dengan mencabut subsidi BBM.

Penjelasan dua kader PDI-P ini membingungkan publik. Dalam pertemuan dengan gubernur se-Indonesia, Presiden Jokowi mengatakan, hampir Rp 700 triliun uang negara dihabiskan untuk subsidi harga BBM dalam lima tahun. Presiden Jokowi pun berkehendak untuk menaikkan harga BBM setelah lebih dahulu menyiapkan bantalan sosial kepada masyarakat miskin dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).

Sikap oposisi sejumlah kader PDI-P terhadap rencana pemerintahan Presiden Jokowi memang terasa aneh dan ganjil Memang pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, PDI-P sangat gigih menentang kenaikan harga BBM. Bahkan, PDI-P mengeluarkan buku merah berjudul ”Argumentasi PDI-P Menolak Kenaikan Harga BBM”. Boleh jadi, yang disampaikan Effendi dan Rieke adalah mencoba konsisten dengan buku merah PDI-P yang menolak kenaikan harga BBM saat menjadi partai oposisi.

Sikap berbeda yang dipertontonkan terbuka oleh dua kader PDI-P itu membuka ruang bagi partai penyeimbang dan media yang berafiliasi kepada partai penyeimbang untuk ”menggoreng” isu tersebut. Upaya dekonstruksi terhadap pemerintahan Presiden Jokowi dilakukan dengan berbagai cara. Perubahan nomenklatur kementerian menghasilkan hak bertanya anggota DPR dan langkah Presiden Jokowi menerbitkan sejumlah kartu dipersoalkan dari sisi mata anggaran. Dalam posisi berat itu belum tampak kader PDI-P yang mencoba membela atau menjelaskan kebijakan pemerintah Jokowi.

Pemerintahan Presiden Jokowi harus melakukan konsolidasi kekuatan, khususnya PDI-P dan partai pendukung lain, untuk menghadapi politik parlemen guna mengamankan kebijakannya. Tidak mungkin Presiden Jokowi hanya akan mengandalkan kekuatan rakyat atau relawan yang telah menyokongnya dalam pemilihan presiden. Kader PDI-P juga harus menyadari bahwa posisi PDI-P sekarang ini adalah partai pendukung pemerintah, bukan lagi partai oposisi.

Sikap PDI-P yang menjalankan ”oposisi” di DPR dalam barisan Koalisi Indonesia Hebat melawan Koalisi Merah Putih dan ”oposisi” terhadap pemerintahan Presiden Jokowi menunjukkan kegamangan posisi politik PDI-P dalam posisi barunya dalam politik.