PANGGUNG budaya kita, awal Desember 2014, dimeriahkan oleh pemutaran film ”Senyap” atau ”The Look of Silence” karya sutradara Joshua Oppenheimer. Karya dokumenter itu tidak hanya mengagetkan kita dengan pendekatan yang unik dalam membuka kembali sejarah kekerasan pada peristiwa 1965, tetapi juga dengan reaksi sejumlah kelompok masyarakat di beberapa daerah yang bersikeras melarang pemutaran film itu. Ada apa dengan kita?

Coba kita telisik pembubaran pemutaran film Senyap di sejumlah daerah. Kasus pertama berlangsung di Malang, Jawa Timur, Rabu (10/12). Sejumlah aktivis jaringan pegiat hak asasi manusia (HAM) menggelar acara menonton bersama film di Warung Kelir dan Universitas Ma Chung dalam rangka memperingati Hari HAM Internasional. Namun, saat film diputar beberapa saat, datang seseorang yang langsung marah-marah dan berteriak-teriak meminta pemutaran film dihentikan.

Melihat kejadian itu, polisi bersama pengurus RT/RW dan lurah setempat meminta panitia untuk tidak meneruskan acara tersebut, termasuk diskusi yang dijadwalkan seusai pemutaran film. Mereka beralasan, kegiatan itu meresahkan warga.

Belum lama berselang, hal serupa terjadi secara beruntun di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemutaran film di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Kota Yogyakarta, Selasa (16/12) malam, itu dihentikan. Sebelum acara, panitia mendapat informasi dari polisi tentang beredarnya pesan singkat bernada ancaman pembubaran pemutaran film tersebut dari kelompok organisasi masyarakat tertentu. Dengan dasar itu, polisi lantas meminta panitia membatalkan kegiatan tersebut.

Tak hanya di AJI, pelarangan penayangan film juga terjadi secara hampir bersamaan esok harinya. Kali ini di Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Sekelompok organisasi kemasyarakatan mendatangi kampus ISI dan memaksa para mahasiswa tidak melanjutkan pemutaran film yang sudah hampir berakhir. Sementara itu, di UGM acara dibatalkan sebelum film diputar.

Siapa yang bersikukuh membubarkan pemutaran film Senyap? Dalam kasus-kasus itu, mereka adalah sekelompok organisasi kemasyarakatan atau pribadi tertentu. Mengapa mereka bersikap demikian? Mereka beralasan merasa terganggu dengan kisah dalam film yang berusaha membuka kembali sejarah kelam peristiwa 1965.

Dalam beberapa kesempatan, pembubaran itu biasanya diawali dengan peredaran pesan pendek melalui telepon seluler yang mengancam bakal bertindak keras untuk memaksa membubarkan kegiatan menonton bersama film Senyap. Aparat kepolisian menangkap pesan-pesan ancaman itu sebagai potensi gangguan keamanan atau gesekan sosial. Berdalih untuk mencegah konflik, polisi lantas memfasilitasi pembubaran.

Berdasar isu

Sikap antipati terhadap film itu dari sekelompok atau perorangan dalam masyarakat tersebut menarik untuk dicermati. Pertama-tama, karena ternyata umumnya mereka yang bersikap antipati belum menonton film Senyap. Mereka mengaku mendapat informasi bahwa film itu menyebarkan paham komunisme. Namun, ketika didesak lebih lanjut, ternyata informasi itu diperoleh dari isu, tanpa dicek terlebih dahulu dengan menonton film itu secara langsung.

Senyap adalah sekuel Jagal atau The Act of Killing karya sutradara Joshua Oppenheimer yang memborong lima penghargaan Festival Film Venesia Ke-71 di Italia. Kedua film dokumenter ini sama-sama berusaha menggali kembali sejarah kekerasan pada tahun 1965.

Jagal mengisahkan dari sudut pandang beberapa pelaku pembantaian massal yang menceritakan ulang adegan pembunuhan. Adapun Senyap menceritakan dari keluarga korban yang mencari kebenaran dengan menemui orang-orang yang diduga sebagai pembunuh.

Senyap menuturkan kisah Adi Rukun, seorang tukang kacamata, yang mencari kebenaran soal pembunuhan kakaknya, Ramli, dalam peristiwa 1965. Adi menemui satu per satu orang-orang yang diduga membunuh kakaknya. Ternyata, beberapa pembunuh itu mau mengisahkan keterlibatannya dalam tragedi itu meski enggan meminta maaf atau sekadar mengungkapkan penyesalan.

Bagi para pelaku kekerasan, tragedi itu merupakan peristiwa politik. Mereka terlibat dalam pembantaian karena dipaksa oleh keadaan dan kekuatan politik, bukan agenda pribadi. Dengan begitu, mereka tidak mau disalahkan sebagai pribadi.

Bagi Adi, bagaimanapun latar belakangnya, fakta pembunuhan itu tetaplah merupakan kejahatan. Negara diharapkan mengusut pelanggaran HAM itu dan menuntut para pelaku kekerasan. Selama ini, keluarga korban tidak hanya kehilangan anggota keluarga, tetapi juga menanggung hukuman sosial (karena cap sebagai komunis) yang tiada habis-habisnya.

Peristiwa kekerasan 1965 sudah hampir setengah abad berselang. Berbagai kalangan mendesak agar sejarah peristiwa kelam itu dibuka kembali, dipetakan dengan benar bagaimana duduk perkaranya, dan didorong rekonsiliasi antara korban dan pelaku. Namun, dengan berbagai alasan, rupanya masih ada sebagian dari kita yang belum siap untuk membuka sejarah kelam itu.