Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Wacana Gedung Baru yang Kembali Muncul...

12/12/2018



KOMPAS - Dewan Perwakilan Rakyat kembali berencana membangun gedung baru di Kompleks Parlemen, Senayan. Rencana serupa sebenarnya sudah dibatalkan pada era DPR periode 2009-2014. Kali ini, alasannya demi menyediakan perpustakaan, museum, pusat riset, dan ruang kerja untuk tenaga ahli dan staf anggota DPR yang jumlahnya bertambah.

Rencana itu mulai mengemuka saat diumumkan Ketua DPR Setya Novanto pada paripurna penutupan masa sidang ketiga DPR, Jumat (24/4). Saat itu, Setya mengumumkan dibentuknya tim kerja pembangunan gedung baru DPR.

Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengatakan, tim kerja yang terdiri dari unsur Sekretariat Jenderal DPR dan pemerintah itu akan melakukan kajian. Jika hasil kajian menyatakan gedung baru tidak dibutuhkan, pembangunan bisa dibatalkan.

Namun, anggaran untuk tahap awal ternyata sudah tersedia, yaitu Rp 124 miliar. Menurut Kepala Biro Humas Sekretariat Jenderal DPR Djaka Dwi Winarko, anggaran itu bagian dari tambahan Rp 1,635 triliun untuk DPR yang didapat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. "Uang itu untuk biaya perencanaan dan konsultasi tahap awal, misalnya untuk membayar konsultan pembangunan," jelasnya.

 Kebutuhan

DPR enggan menyamakan rencana gedung baru saat ini dengan konsep tahun 2011 yang bernilai Rp 1,138 triliun. Sekretaris Jenderal DPR Winantuningtyastiti mengatakan, pembangunan gedung baru DPR kali ini merupakan kebutuhan karena Gedung Nusantara I DPR sudah tidak memadai untuk menampung semua anggota DPR dan stafnya. Gedung yang dibangun tahun 1997 itu dibangun untuk ditempati 800 orang, yaitu 450 anggota DPR dan staf. Namun, sekarang gedung ditempati 2.420 orang, terdiri dari 560 anggota DPR serta dua tenaga ahli dan satu staf pribadi.

Ke depan, tutur Winantuningtyastiti, jumlah tenaga ahli dan staf administrasi semuanya menjadi 4.357 orang. Ini karena ada penambahan jumlah tenaga ahli dan staf administrasi, sesuai revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2015 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Winantuningtyastiti mengatakan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2011 tentang pembangunan gedung negara, ruang kantor pejabat negara idealnya memiliki luas rata-rata 10 meter persegi. Kini, dengan penambahan tenaga ahli, ruang anggota DPR dikhawatirkan makin di bawah standar.

Untuk beberapa anggota, apa yang disebut Winantuningtyastiti mungkin ada benarnya. Wakil Ketua Fraksi PDI-P Arif Wibowo, misalnya, memperkecil ruang kerjanya di lantai 8 Gedung Nusantara I. Dari yang awalnya sekitar 4 meter x 5 meter, kini luas ruang kerja Arif sekitar 4 meter x 1,5 meter.

Ruangan itu diisi satu sofa panjang, sebuah meja kecil, meja kerja berukuran kecil untuk komputer, dan sebuah lemari kayu dengan satu daun pintu. Ruang tamu sekaligus ruang kerja staf berukuran lebih luas dari ruang kerja Arif.

Kualitas 

Melalui revisi UU MD3 pada Desember 2014 dan perumusan Tata Tertib DPR 2014-2019, jumlah tenaga ahli anggota DPR bertambah dari dua menjadi lima orang. Staf administrasi yang sebelumnya satu orang, jadi dua orang. Penambahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja anggota Dewan.

Namun, apakah sebenarnya penambahan itu diperlukan? Sejumlah pihak menilai, DPR seharusnya melakukan perencanaan dan kalkulasi terlebih dahulu mengenai ketersediaan ruangan sebelum memutuskan menambah tenaga ahli.

"Pada saat yang sama, juga harus ada kajian, sejauh mana sebenarnya DPR membutuhkan tambahan tenaga ahli?" kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus.

Pokok masalah yang terpenting bukanlah menambah jumlah tenaga ahli, melainkan menciptakan pola perekrutan yang akuntabel sehingga bisa mendapatkan tenaga ahli dengan keahlian memadai.

Selama ini, perekrutan tenaga ahli jadi domain anggota DPR. Mereka secara pribadi memilih dan merekrut tenaga ahli masing-masing. Nama-nama itu berikutnya diajukan ke Sekretaris Jenderal DPR untuk dikeluarkan surat keputusan.

Namun, pada kenyataannya, perekrutan tidak selalu terbuka dan sesuai persyaratan. Sebagai contoh, aturannya, tenaga ahli dilarang memiliki hubungan darah dengan anggota DPR. Guna menyiasati aturan itu, beberapa anggota Dewan memakai sistem perekrutan silang. "Keluarga dari anggota DPR A menjadi tenaga ahli untuk anggota DPR B dan sebaliknya. Intinya, agar keluarga si anggota tetap dapat pekerjaan," kata seorang tenaga ahli untuk anggota Komisi II DPR.

Akhirnya, sering kali kualifikasi, standar keahlian, dan persyaratan pendidikan dikesampingkan. "Sulit menjamin seseorang benar-benar ahli jika perekrutannya bergantung pada subyektivitas anggota semata," tutur Lucius.

Lantas, apa gunanya menambah tenaga ahli jika standar keahliannya terabaikan? Jika anggota DPR telah membuktikan mampu menjawab persoalan seperti di atas dan membuktikan kinerjanya sebagai wakil rakyat, mungkin kita tidak perlu gaduh dengan wacana pembangunan gedung baru DPR.

(AGNES THEODORA W)