Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Koran Kompas) Revisi UU Pilkada: menanti komitmen parpol

12/12/2018



10 Februari 2015 - Sembilan dari sepuluh partai politik di parlemen sepakat mengubah undang-undang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Alasannya, masih banyak ketentuan dalam perppu itu yang bermasalah.

Untuk menunjukkan keseriusan, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat langsung meminta masukan pakar, beberapa jam setelah Perppu Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada) disahkan 20 Januari lalu.

Tidak berapa lama, Komisi II DPR membentuk panitia kerja (panja) revisi UU penetapan Perppu Pilkada (UU Pilkada). Padahal, saat itu UU Pilkada belum diundangkan dalam Lembaran Negara. Dengan kata lain, UU tersebut belum ditandatangani Presiden Joko Widodo dan belum diberi nomor.

Meski demikian, Komisi II dengan percaya diri mengusulkan revisi UU Pilkada menjadi salah satu prioritas Program Legislasi Nasional tahun 2015. Usulan itu sempat dipersoalkan dalam rapat Badan Legislasi bersama pimpinan komisi dan fraksi, 29 Januari lalu.

Legalitas UU Pilkada dipertanyakan. ”Ini lucu, yang akan direvisi undang-undang nomor berapa? Jika belum ada nomornya, bagaimana mau direvisi?” kata Wakil Ketua Badan Legislasi Saan Mustopa.

Bahkan, sempat terlontar gurauan bahwa panja yang dibentuk Komisi II adalah panja-panjaan. Ini karena materi yang dibahas adalah pasal-pasal dalam undang-undang yang belum berlaku sebab belum diundangkan dalam Lembaran Negara.

Gurauan itu tidak berlebihan. Sebab, sebuah undang-undang disebut sah dan berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Negara. Seperti diatur dalam Pasal 72 Ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan, RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU.

RUU disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden (Pasal 73 Ayat 1).

Namun, Panja RUU Pilkada Komisi II terus bekerja. Selama empat hari berturut-turut, pada 29 Januari-1 Februari, panja membahas materi krusial. Hasilnya, delapan poin perubahan disepakati.

Salah satunya, penyelenggaraan pilkada serentak tahap pertama yang awalnya diatur tahun 2015 (Pasal 201 UU Pilkada) disepakati diundur ke tahun 2016. Pilkada serentak nasional yang dalam UU Pilkada diatur tahun 2021 diundur menjadi tahun 2027. Alasannya untuk meminimalkan pemotongan masa jabatan kepala daerah dan pelaksana tugas kepala daerah.

Tahapan uji publik (Pasal 38) juga disepakati dipertahankan. Namun, ada yang mengusulkan sebutan uji publik diganti dengan sosialisasi serta dilaksanakan oleh parpol, gabungan parpol, perseorangan, dan penyelenggara pilkada.

Syarat kemenangan juga diusulkan diubah, dari minimal 30 persen (Pasal 109) menjadi 25 persen suara sah. Akan tetapi, sebagian fraksi menginginkan syarat kemenangan minimal 30 persen suara sah tetap dipertahankan.

Sementara untuk mekanisme pencalonan dan pemilihan, delapan dari sepuluh fraksi mengusulkan diubah. Tidak hanya gubernur, bupati, dan wali kota yang dipilih, tetapi satu paket atau berpasangan dengan wakil masing-masing.

Proses masih panjang
Kini, UU Pilkada sudah diundangkan dalam Lembaran Negara (UU Nomor 1 Tahun 2015). Mayoritas fraksi juga sudah menyepakati delapan poin perubahan. Namun, itu bukan berarti pembahasan sudah berakhir. Proses pembahasan revisi UU Pilkada hingga pengesahan menjadi undang-undang masih relatif panjang.

Apa yang disepakati Komisi II baru sebatas draf RUU perubahan atas UU Pilkada. Draf itu kini memang sudah disetujui menjadi RUU inisiatif DPR.

Namun, RUU Pilkada inisiatif DPR itu masih harus diajukan ke Presiden untuk mendapatkan persetujuan pembahasan tingkat satu. Persetujuan dituangkan dalam surat presiden yang juga berisi penugasan kepada kementerian tertentu sebagai wakil pemerintah untuk membahas bersama DPR.

Pada pembahasan tingkat satu itulah materi-materi dalam draf RUU Pilkada yang disusun DPR dibedah. Umumnya, pembahasan tingkat untuk satu RUU menghabiskan waktu paling cepat satu kali masa persidangan. Namun, ada juga yang menghabiskan waktu hingga bertahun-tahun.

Pada proses pembahasan tingkat satu, apa pun bisa terjadi. Materi-materi yang sebelumnya sudah disepakati bisa saja kembali diperdebatkan. Fraksi-fraksi juga berpotensi berubah sikap di tengah pembahasan.

”Proses pembahasan itu menjadi titik rawan karena sikap fraksi bisa berubah,” kata Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah Akhmad Muqowam menanggapi rencana perubahan UU Pilkada.

Gelagat itu sebenarnya sudah mulai tampak dalam penyusunan draf RUU Pilkada. Panja menyepakati, pilkada serentak secara nasional digelar tahun 2027, mundur enam tahun dari ketentuan pelaksanaan pilkada serentak nasional dalam UU Pilkada, yakni tahun 2021.

Selain itu, ada selang waktu sekitar 12 tahun dari pilkada serentak tahap pertama. Untuk menuju pilkada serentak nasional tahun 2027 juga harus melewati tiga periode jabatan DPR, yakni 2014-2019, 2019-2024, dan 2024-2029. Selama itu, aturan pilkada bisa saja diubah. Pilkada bisa tetap langsung, bisa pula dikembalikan ke DPRD. Sebab, berdasarkan pengalaman sebelumnya, aturan pilkada berubah seiring dengan pergantian rezim penguasa.

Lihat saja pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri, kepala daerah dipilih DPRD. Baru pada tahun 2005 saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.

Setelah hampir 10 tahun pilkada langsung, sebenarnya mayoritas parpol di parlemen menginginkan pilkada dikembalikan ke DPRD. Hal itu terbukti dengan pengesahan UU Pilkada (UU Nomor 22 Tahun 2014) oleh DPR dan pemerintah dalam rapat paripurna, 25 September 2014.

Untung saja UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur pilkada oleh DPRD segera dibatalkan dan diganti dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Perppu yang kini sudah ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota itu mengembalikan pemilihan langsung oleh rakyat.

Meski demikian, sebelum pembahasan Perppu Pilkada, sejumlah fraksi di DPR sempat mewacanakan akan menolak Perppu Pilkada. Penolakan dilakukan dengan tujuan agar UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur pilkada oleh DPRD kembali berlaku.

Oleh karena itulah sejak awal pembahasan revisi UU Pilkada, Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Lukman Edy mengingatkan bahwa mekanisme pilkada langsung tak masuk materi pembahasan. Sampai saat ini, mekanisme pilkada langsung memang tak diganggu gugat.

Namun, sekali lagi, apa pun bisa terjadi dalam pembahasan tingkat satu. Apalagi, parpol punya kepentingan yang amat besar di pilkada. Ini membuat komitmen parpol benar-benar ditunggu dalam pembahasan RUU Pilkada nanti. Pengawasan dari masyarakat juga dibutuhkan agar jangan sampai ada parpol yang masuk angin.