Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Koran Tempo) Editorial: Pembajakan Frekuensi Publik

12/12/2018



Pembajakan Frekuensi Publik

Penayangan proses kelahiran anak anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anang Hermansyah, selama empat jam di satu stasiun televisi swasta sungguh mencederai kepentingan masyarakat. Publik sama sekali tak mendapat manfaat dari penayangan itu. Yang terjadi, frekuensi milik publik digunakan untuk keuntungan pribadi Anang dan istrinya beserta televisi yang menayangkan-nya.

Komisi Penyiaran Indonesia menilai tayangan pada 14 Desember berjudul Anakku Buah Hati Anang Ashanty itu berdurasi tak wajar. Tayangan itu juga disebut tak bermanfaat untuk publik. Menurut Komisi, peristiwa kelahiran bersifat personal sehingga tak layak disiarkan, apalagi dengan durasi berlebihan.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran jelas menyebutkan, spektrum frekuensi untuk penyiaran merupakan ranah publik. Karena sifatnya yang terbatas, frekuensi ini harus dijaga. Maka, teguran Komisi kepada stasiun TV penayang acara kelahiran itu memang harus dilakukan. Sebagai anggota Dewan, Anang juga semestinya tahu soal ini.

"Pembajakan" frekuensi publik seperti ini bukan yang pertama kali terjadi. Pada Oktober lalu, sebuah stasiun TV menayangkan pernikahan selebritas Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Tidak tanggung-tanggung, acara mewah ini ditayangkan secara langsung selama dua hari berturut-turut. Komisi yang turun tangan kemudian menjatuhkan sanksi administratif teguran tertulis kepada stasiun TV penayangnya.

Pada pertengahan September 2013, TVRI juga disemprit lantaran menayangkan siaran tunda acara konvensi calon presiden Partai Demokrat, dengan durasi dua setengah jam. TVRI, yang anggarannya didanai oleh negara dan semestinya menjadi stasiun televisi publik, dinilai menerapkan asas jurnalistik yang tak berimbang. Sanksi berupa teguran tertulis pun turun dari KPI.

Sayangnya, sanksi tertulis itu biasanya bak macan kertas. Tak ada hukuman yang menimbulkan efek jera. Stasiun TV pun mengulang pelanggaran yang sama demi rating yang berujung keuntungan bisnis. Rating bahkan dijadikan dalih. Mereka berkilah, karena rating tinggi, artinya banyak orang menonton. Artinya lagi, khalayak senang dan acara itu justru memenuhi keinginan publik. Itu pun masih ditambah alasan pembenar lain selebritas yang sukses adalah contoh positif bagi pemirsa.

Banyaknya penonton dan iklan jelas bukan acuan kualitas sebuah tayangan. Tayangan sensasional memang menarik perhatian, namun tak berarti bermanfaat bagi khalayak. Maka, KPI mesti menjatuhkan sanksi yang lebih tegas. Sebagai anggota Dewan, Anang semestinya berpihak kepada publik. Maka, memang aneh jika Partai Amanat Nasional, partai tempat Anang bernaung, justru membela kadernya. Pembelaan dengan menyebut acara itu bermanfaat untuk khalayak sungguh pembelaan yang membabi-buta.

Wakil rakyat dituntut menjadi panutan dalam bertindak. Anang semestinya sadar bahwa dia bukan hanya seorang selebritas hiburan, tapi juga wakil rakyat. Sebagai wakil rakyat, dia bertugas menjaga agar hak-hak masyarakat tidak disalahgunakan. Justru tugasnyalah untuk melindungi hak itu, bukan malah membajaknya.