Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Koran Tempo) Opini: BBM sebagai Komoditas Politik, oleh Ade Wahyudi-Katadata

12/12/2018



Langkah pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) ditentang oleh kubu partai oposisi di parlemen. Bahkan, sejumlah politikus dari partai yang bergabung dengan Koalisi Pendukung Prabowo (KPP) sudah berancang-ancang mengajukan hak menyatakan pendapat (interpelasi).

Ada beragam alasan di balik upaya mengusung hak interpelasi ini. Partai Demokrat, misalnya, mempertanyakan langkah pemerintah menaikkan harga BBM ketika harga minyak internasional turun. Alasan serupa juga disuarakan oleh fraksi partai oposisi lain, seperti Golkar dan Gerindra.

Sebelum membahas lebih jauh permasalahan ini, mari kita analogikan perekonomian Indonesia seperti orang yang sedang terinfeksi virus tifus. Pada pagi hari, orang yang menderita tifus merasa sangat sehat dan bisa beraktivitas normal. Namun, jika tidak beristirahat cukup dan tidak minum obat, pada sore hari orang itu akan terserang demam yang sangat parah.

Kondisi perekonomian Indonesia hampir sama. Saat pemerintah mengurangi subsidi BBM pada 17 November lalu, memang harga minyak internasional ada di kisaran 80 dolar per barel. Ini merupakan harga minyak dunia terendah dalam dua tahun terakhir. Partai-partai oposisi menilai, level harga tersebut seharusnya aman bagi pemerintah tanpa harus mengurangi subsidi BBM.

Namun kenyataannya tidak seperti itu. Apabila dihitung secara rata-rata selama setahun terakhir, harga minyak masih di kisaran 100 dolar per barel. Selain itu, perlu diingat bahwa sementara harga minyak turun, nilai tukar rupiah melemah di angka 12 ribu per dolar AS. Pelemahan kurs ini terjadi karena defisit neraca pembayaran terus memburuk sejak September 2011 sejalan dengan meningkatnya impor bahan bakar. Bila defisit neraca pembayaran ini tidak segera diatasi, kondisi perekonomian Indonesia akan terus memburuk.

Pengurangan subsidi dengan menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 2.000 per liter pada bulan ini merupakan salah satu solusi yang muncul. Langkah ini akan memberikan ruang fiskal bagi pemerintah. Bahkan, pemerintah bisa menggunakan dana hasil penghematan subsidi BBM sebesar Rp 100 triliun untuk menekan defisit anggaran sekaligus membangun infrastruktur dan menggalakkan subsidi langsung kepada masyarakat miskin.

Mengacu pada kondisi ini, seharusnya tidak ada alasan kuat bagi DPR untuk melakukan interpelasi. Sayangnya, persoalan subsidi BBM selalu menjadi komoditas politik. Alih-alih benar memikirkan nasib rakyat, para anggota Dewan sebenarnya sedang mencari panggung untuk kepentingan mereka sendiri.

Hal yang sama dilakukan PDI Perjuangan ketika mereka berkali-kali menolak pengurangan subsidi BBM sepanjang era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat SBY berkuasa, pemerintah mengurangi subsidi BBM sebanyak empat kali. Bahkan, saat kenaikan harga BBM terakhir pada Juni 2013, hampir semua partai yang saat ini tergabung dalam Koalisi Pendukung Prabowo (kecuali PKS) mendukung pemerintah.

Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dalam berbagai kesempatan ketika itu mengatakan subsidi BBM, yang hanya dinikmati oleh orang mampu, sebaiknya dialihkan untuk orang miskin dalam bentuk pendidikan dan kesehatan. Adapun Ibas, dalam website pribadinya (www.edhiebaskoro.com) pada Maret 2012, menyampaikan dukungannya atas rencana pemerintah saat itu untuk mengurangi subsidi BBM. Menurut dia, subsidi sebaiknya dialihkan untuk membangun infrastruktur daerah tertinggal. Jika pemerintah terus memberikan subsidi BBM, kesempatan membangun sektor lainnya akan semakin terbatas.

Namun pendapat partai politik ini akan langsung berubah ketika mereka menjadi partai oposisi. Subsidi BBM seakan menjadi harga mati yang harus dipertahankan. Padahal, dengan terus menggunakan subsidi sebagai komoditas politik, mereka tengah menyeret Indonesia ke dalam situasi yang semakin buruk.

Perlu diingat, Indonesia saat ini merupakan satu-satunya negara net importer minyak yang mensubsidi kebutuhan BBM-nya. Negara-negara lain yang masih mensubsidi harga bensinnya adalah mereka yang memiliki cadangan minyak melimpah, seperti Venezuela dan Arab Saudi. Jumlah cadangan minyak kedua negara tersebut hampir mencapai 300 miliar barel, sedangkan Indonesia hanya punya 3,7 miliar barel.

Subsidi BBM yang terus membesar ini membuat Indonesia tidak punya cukup anggaran untuk mengatasi persoalan-persoalan yang lebih penting, seperti pemberantasan kemiskinan dan peningkatan layanan kesehatan. Pada 2014, anggaran untuk pemberantasan kemiskinan sebesar Rp 134,5 triliun, sedangkan anggaran kesehatan hanya Rp 71 triliun. Bandingkan dengan anggaran subsidi BBM yang mencapai Rp 282 triliun.

Berkaca pada persoalan itu, ketika anggota parlemen menyatakan diri berniat memperjuangkan kepentingan rakyat, seharusnya peningkatan anggaran pemberantasan kemiskinan, kesehatan, dan infrastruktur menjadi fokus utama mereka. Terus menjadikan subsidi BBM sebagai komoditas politik sama sekali tidak bermanfaat dan bahkan bisa berdampak negatif terhadap kestabilan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.*