Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Koran Tempo) Opini: Kapolri Baru, oleh Aminuddin

12/12/2018



Aminuddin
Peneliti Sosial Dan Politik Di Bulaksumur Empat Yogyakarta

Mereformasi penegakan hukum yang bebas dari korupsi merupakan salah satu "zikir" politik Joko Widodo semasa kampanye. Cita-cita itu terus menjadi komoditas Jokowi dalam melakukan petualangan kampanye di berbagai daerah. Tak pelak, publik berharap janji kampanye tersebut menempatkan orang-orang berintegritas di kabinet maupun di lembaga negara yang tergolong krusial.

Baru-baru ini, Presiden Jokowi menunjuk Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri menggantikan Jenderal Sutarman yang akan memasuki masa pensiun pada akhir 2015. Penunjukan tersebut menuai pertanyaan dari banyak kalangan. Pasalnya, Jokowi mengabaikan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dan PPATK untuk menelusuri rekam jejaknya. Hal itu juga dinilai sebagai inkonsistensi Jokowi dalam menegakkan penyelenggaraan negara yang bersih serta bebas dari praktek korupsi. Ini kontras dengan apa yang dilakukannya ketika membentuk Kabinet Kerja, di mana KPK dan PPATK dilibatkan.

Perlu digarisbawahi, bahwasanya Budi Gunawan merupakan mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri periode 2001-2004. Hal itu pulalah yang disinyalir oleh banyak pengamat bahwa keputusan Jokowi penuh dengan kepentingan politik sekaligus pesanan partai politik tertentu. Terlebih, Hasto Kristiyanto (pelaksana tugas Sekjen PDIP) mengakui bahwa Budi Gunawan adalah usulan PDIP.

Secara detail, Presiden Jokowi tidak dibebani oleh undang-undang bahwa ia harus melibatkan KPK dan PPATK dalam mengajukan calon Kepala Polri. Jika tidak ada arang melintang, Budi Gunawan akan menjadi Kepala Polri setelah disetujui oleh DPR sesuai dengan amanat konstitusi.

Terlepas dari polemik tersebut, kursi Kepala Polri merupakan tempat ideal sekaligus kunci utama dalam menegakkan hukum. Dengan begitu, orang-orang yang duduk pun harus memiliki integritas, kapabilitas, rekam jejak yang bagus, serta tidak pernah memiliki masalah hukum. Dengan begitu, menjadi relevan apabila publik bertanya-tanya keputusan Jokowi mengusulkan Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri. Terlebih, ia memiliki rekam jejak yang mencurigakan.

Menurut catatan majalah Tempo pada 2010, Budi memiliki rekening gendut yang mencurigakan. Lonjakan jumlah harta bekas ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri ini mengherankan. Pada 2008, ia memiliki kekayaan senilai Rp 4,6 miliar. Lima tahun kemudian, harta yang dilaporkan ke KPK meningkat drastis menjadi Rp 22,6 miliar (Editorial Koran Tempo, 12/01).

Langkah Jokowi sekaligus adalah ekspresi antiklimaks atas kepemimpinannya selama ini. Antiklimaks tersebut dapat dicatat dalam dua hal. Pertama, Jokowi yang mengutamakan transparansi sekaligus aspirasi KPK dan PPATK, kini mulai pudar. Kedua, keputusannya juga sebagai antiklimaks dari kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Pada era SBY, lembaga seperti KPK diminta mengkaji Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) para calon yang selanjutnya diserahkan kepada SBY sebagai pertimbangan. Namun Jokowi tidak melakukannya.

Keputusan Jokowi yang tidak melibatkan KPK dan PPATK dalam menentukan calon Kepala Polri tidak menerobos rambu-rambu konstitusi. Namun sangat disayangkan jika keberadaan lembaga negara tersebut diabaikan. Ini juga sebagai preseden buruk terhadap pembelajaran politik ke depannya.