Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Koran Tempo) Opini: Pertaruhan Politik Golkar

12/12/2018



Aburizal Bakrie dalam posisinya saat ini mendapat perlawanan politik dari pesaingnya dalam ikhtiar mempertahankan posisi ketua umum dalam Musyawarah Nasional IX Partai Golkar. Ketetapan untuk menggelar munas pada akhir November 2014 telah menyulut kecurigaan internal partai, utamanya yang berseberangan dengan Aburizal, bahwa ini jalan untuk memuluskan upaya Aburizal mempertahankan kekuasaan. Kubu Aburizal bergeming dengan kecurigaan tersebut. Bahkan, mereka seolah sengaja menggunakan munas sebagai amunisi untuk membuat lawan gagap.

Dari sudut waktu, penyelenggaraan munas pada akhir November memang menguntungkan Aburizal. Pasalnya, para lawan politik tidak memiliki tempo yang cukup untuk melakukan persiapan. Memang selama ini ada pembicaraan informal di antara mereka untuk menghadang Aburizal, namun sifatnya masih sporadis. Hal ini belum mengkristal menjadi perlawanan masif terhadap inkumben. Alih-alih, yang terlihat akhirnya cuma sebatas letupan kekecewaan atas kepemimpinan Aburizal.

Sementara itu, di sisi lain, meskipun Aburizal oleh sebagian dari mereka yang kecewa dikatakan gagal, selama masa kepemimpinannya telah mampu menanam investasi politik yang bisa kapan pun ia petik. Memegang posisi kendali partai telah memudahkan Aburizal melakukan konsolidasi politik sewaktu-waktu. Rentang jangkauan komunikasi yang dibangun selama lima tahun kepemimpinannya adalah modal politik yang tidak mudah disaingi lawan.

Tidak hanya itu, keuntungan lain yang dimiliki Aburizal adalah banyaknya para pesaing yang ingin maju menjadi ketua umum. Posisi ini sekilas memang memperlihatkan betapa tidak sedikit pihak yang menghendaki Aburizal lengser. Namun persebaran suara itu justru memperkuat posisi Aburizal. Dengan kata lain, apakah cukup melawan petahana dengan kekuatan suara yang tersebar? Tak bisa lain, para lawan harus mengkalkulasi kekuatan. Salah satunya adalah dengan me-resume perlawanan dari sedikit aras.

Toh, langkah seperti itu juga tidak mudah dilakukan. Para kandidat boleh berangkat dari niat dan visi yang berbeda, meskipun tujuan bisa sama, yakni melengserkan Aburizal. Namun apakah ada jaminan di antara para kandidat lawan tersebut tetap lurus berada dalam satu tujuan? Sebab, ketika arah perjalanan munas nanti berubah dari skenario yang dikehendaki, sehingga memungkinkan lawan bergandeng tangan dengan kawan, niat dan tujuan bisa mulai terlihat kabur. Dengan kata lain, penentang Aburizal bisa saja berbalik arah menjadi pendukung Aburizal, karena dalam posisi berhadapan dinilai tak lagi menguntungkan.

Di sudut lain, posisi internal Aburizal yang masih kuat tampaknya juga akan mendapat tambahan dukungan politis dari eksternal partai. Posisi Golkar saat ini berada dalam Koalisi Pendukung Prabowo (KPP). Kesolidan KPP akan terancam manakala posisi Ketua Umum Golkar tak lagi diduduki Aburizal. Sejauh ini, baru Aburizal yang tegas menginginkan Golkar tidak berubah haluan dari KPP. Sementara itu, para lawan masih belum sebenderang sikap politik Aburizal. Di sinilah ujian konsistensi Partai Golkar akan dilihat publik. Dan Aburizal memilih sikap ini.

Apakah dengan demikian Aburizal akan melenggang mudah di munas? Jawabannya bergantung pada seberapa besar perlawanan yang digelorakan penantang. Aburizal sendiri bukan minus celah. Dari rekam jejak kepemimpinannya selama lima tahun, prestasi elektoral-sebagai salah satu ukuran-tidak bisa dikatakan mengkilap. Kesolidan internal, meskipun bisa digapai, juga telah memunculkan riak faksi-faksi internal. Aburizal juga terlihat tidak ramah terhadap perbedaan pandangan di antara kader, dan lebih memilih jalan pemecatan.

Eksplorasi terhadap kelemahan kepemimpinan Aburizal ini bisa menjadi instrumen para penantang dalam menggalang dukungan. Sebagai hajat partai, memilih pemimpin partai, seperti diungkap Susan Scarrow dalam Implementing Intra-Party Democracy (2005), merupakan fase krusial. Kenapa? Karena hal itu akan digunakan untuk mendefinisikan citra dan wacana politik: mau dibawa ke mana partai ini? Golkar mau tidak mau juga akan berhadapan dengan tahun puncak politik 2019, di mana pemilihan legislator dan pemilihan presiden akan serentak.

Menyadari kebutuhan itu, pertimbangan matang dalam memilih ketua umum sepantasnya dilakukan Golkar. Apakah akan tetap memilih berada pada jangkar status quo, atau melakukan perubahan. Pemimpin partai politik adalah salah satu aspek produk partai yang penting, di mana publik akan menaruh perhatian (Marshment dan Rudd, 2003). Partai Golkar sejauh ini sebenarnya tidak terlalu menggantungkan diri pada sosok figur. Namun, seiring dengan waktu, pengaruh sosok lambat laun telah menariknya masuk dalam jebakan personalisasi.

 

Ditulis: Ridho Imawan Hanafi,
Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate