Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Koran Tempo) Opini: Rekonsiliasi Golkar Mungkinkah, oleh Alfan Alfian

12/12/2018



M. Alfan Alfian,
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

Sepanjang sejarah politik era Reformasi, baru kali ini Golkar, yang kemudian menjadi Partai Golkar, diterpa badai perpecahan yang sangat parah. Terlepas dari dalih masing-masing pihak yang berseteru, fakta membuktikan Golkar telah terbelah menjadi dua kepengurusan hasil dua musyawarah nasional (munas) yang diselenggarakan dalam waktu yang berdekatan, yakni Munas Bali dan Jakarta. Masing-masing pihak telah menyampaikan susunan kepengurusan ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk disahkan. Dari sini, pemerintah dituntut bersikap obyektif dan netral, sementara konflik terus berlanjut di ranah pengadilan.

Pola konflik seperti ini nyaris sama dengan yang tengah dialami Partai Persatuan Pembangunan. Kesamaan juga terletak pada konteks perkembangan politik setelah pemilihan presiden 2014. Kebetulan, PPP dan Golkar dalam pilpres tersebut berada dalam satu perahu untuk mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang kemudian membentuk suatu koalisi yang menegaskan posisi politik mereka di luar pemerintah sebagai penyeimbang. Pecahnya PPP dan Golkar tidak menutup spekulasi adanya kepentingan pemerintah dalam mengubah peta politik.

Faktor eksternal atau perkembangan politik di luar partai tentu tidak dapat dinafikan dalam mencermati pola perpecahan aneka parpol kita dewasa ini. Umumnya, pembelahan terjadi saat kelompok yang tetap ingin berada di luar pemerintah berhadapan dengan pihak yang ingin sebaliknya. Dalam kasus Golkar dan, dalam batas-batas tertentu, PPP, konflik yang ada diwarnai isu demokrasi internal. Namun yang mengejutkan adalah keberanian masing-masing kelompok melakukan manuver politik yang berujung pada dua versi munas dan perang klaim.

Terlepas dari klaim ideologis dan dalih masing-masing pihak, motif kepentingan pragmatis antara pihak-pihak yang bertikai terasa mengemuka. Hal ini sesungguhnya mempertegas saja fenomena yang sama dengan pecahnya aneka parpol pada era Reformasi, yang bermuara pada terbentuknya aneka parpol baru. Apakah kasus pecahnya Golkar dan juga PPP dewasa ini juga akan berujung pada muara yang sama? Apakah akhir dari kisah konflik mereka adalah parpol-parpol baru? Jawabnya bisa ya, bisa juga tidak. Mengapa demikian? Sebab, baik Golkar maupun PPP masih punya peluang untuk melakukan rekonsiliasi.

Bagaimana peluang rekonsiliasi Golkar? Karena pola konfliknya relatif bersifat elitis, peran para elite Golkar dari kedua kubu sangat menentukan. Rekonsiliasi Golkar merupakan sesuatu yang niscaya justru karena masing-masing elite dibayangi oleh kebesaran partainya. Karena itu, pola zero sum game masih bisa dihindari. Kendalanya memang lebih besar. Ketika proses penyatuan kembali parpol dilakukan, konflik yang merebak telah berkembang begitu jauh dan melembaga.

Namun kendala demikian masih bisa dirobohkan asalkan masing-masing pihak menurunkan ego politik dan posisi tawar masing-masing sembari berikhtiar mencari titik temu yang elegan. Karena politik terkait dengan konteks kekuasaan, rekonsiliasi nantinya juga tidak lepas dari rumus politik Harold D. Laswell, yakni "siapa mendapat apa dan bagaimana". Perspektif demikian tidak dapat dilepaskan, kecuali ada motif ideologis yang lebih besar ketimbang motif pragmatis yang mengemuka secara merata di kalangan elite yang bertikai.

Motif ideologis pernah mengemuka pada masa berdirinya Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar pada 20 Oktober 1964. Organisasi yang digerakkan oleh Angkatan Darat ini merupakan wadah bagi kelompok-kelompok anti-komunis. Pada era Orde Baru, unsur pragmatis mulai mengemuka, meski Golkar sekadar berposisi sebagai party of the ruler alias parpolnya penguasa, bukan the ruling party atau parpol yang berkuasa. Pada masa Reformasi awal, ketika Akbar Tandjung menjadi pemimpin, motif mempertahankan eksistensi Golkar lebih dominan, meski setelah Munas Bali pada akhir 2004 motif pragmatis semakin besar hingga dewasa ini.

Meski demikian, Golkar memiliki para sesepuh dan tokoh-tokoh senior yang berpotensi mempersatukan kembali elite-elite yang bertikai. Keberadaan mereka penting, mengingat partai ini berbeda dengan beberapa partai lainnya. Golkar memang bukan bercorak "partai dinasti", yang ditandai oleh sosok sentral yang kuat. Mereka harus turun gunung untuk mengupayakan terwujudnya Golkar bersatu. Namun inisiatif rekonsiliasi Golkar juga bisa hadir dari kalangan muda. Misalnya, di lingkup kalangan muda, kedua kubu melebur dalam gerakan rekonsiliasi dan mendesak elite-elite yang bertikai untuk merekat kembali dalam satu Golkar milik semua.

Karena sudah ada dua versi kepengurusan Golkar saat ini, dalam konteks rekonsiliasi, kedua belah pihak yang bertikai sebaiknya berikhtiar mendinginkan suasana. Konflik harus disikapi secara damai sehingga tidak terjadi lagi kekerasan fisik. Kesabaran para elite yang menginginkan rekonsiliasi dari kedua kubu memang diuji betul dalam konflik Golkar kali ini. Namun ikhtiar rekonsiliasi tetap ada batasnya. Rekonsiliasi bisa terwujud lebih cepat atau bersamaan dengan persiapan menjelang Pemilu 2019. Namun, kalau lebih dari itu, pola zero sum game-lah yang terjadi. Walhasil, hal itu berarti mungkin akan ada parpol baru baik sebelum maupun sesudah 2019.

Apa pun ujung dari perpecahan Golkar kali ini, semua pihak tetap harus dapat menarik pelajaran soal mengapa parpol bisa pecah dan betapa pentingnya parpol yang kuat. Golkar bisa kembali bersatu dan tetap menjadi parpol besar, atau memilih menjadi fosil. Semua itu bergantung pada para elitenya, terutama seberapa canggih mereka merekonsiliasi diri.