Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Koran Tempo) Renegosiasi Harus Selesai dalam 6 Bulan

12/12/2018



Meski baru duduk sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, awal Januari lalu, Maroef Sjamsoeddin sudah mengenal perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu sejak 2011. Ia mendapat tawaran langsung dari pemilik Freeport McMoran, James R. Moffet, yang sekaligus kawan dekatnya. Dijumpai oleh tim Tempo di kantornya, Selasa pekan lalu, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara ini banyak bercerita soal latar belakangnya dan strateginya memimpin Freeport ke depan. Berikut ini kutipan wawancaranya.

Bisa diceritakan bagaimana Anda mengenal Freeport?

Saya kenal Freeport dari 2011. Waktu itu saya masih perwira dan Wakil Kepala BIN. BIN waktu itu diminta untuk mencari solusi dan distribusi penyelesaian masalah di Freeport yang sedang demo buruh besar-besaran. Suasana mencekam saat itu. Saya dapat tugas ke sana dan tiga minggu masalah selesai. Waktu berjalan hingga akhirnya saya bertemu dengan James Moffet dan dia berterima kasih karena saya telah menyelamatkan Freeport.



Jadi, sejak 2011 sudah dekat dengan Moffet? Langsung ditawari bergabung ke Freeport?

Juni 2014, saya ditawari oleh dia. Hubungan saya baik dengan dia, kadang-kadang dia diskusi soal Freeport dengan saya. Kebetulan saat itu saya sudah pensiun, dan saya bilang butuh waktu untuk menjawab tawaran dia.



Apa yang jadi pertimbangan Anda untuk menerima tawarannya?

Saya dan Jim Moffet punya kesamaan latar belakang. Sama-sama dari militer. Dalam memimpin bisnis, dia menggunakan manajemen militer, dan ini ketemu sama saya secara emosional dan psikologis. Apalagi dia punya komitmen terhadap Freeport dan Papua. Karena saya sudah kenal Freeport lama dan mengetahui masalah-masalahnya, saya pikir ini tantangan buat saya.



Memang bagaimana nanti gaya kepemimpinan Anda di Freeport ?

Pastinya di internal harus ada loyalitas terhadap perusahaan. Tidak boleh ada kepentingan pribadi maupun kelompok. Kalau ada yang begitu, pilihannya dia yang keluar atau saya yang keluar. Saya umpamakan ini pesawat, setiap penumpang, kru kabin, dan kopilot harus tahu peran dan kewajibannya masing-masing. Tidak boleh ada dua nakhoda dalam satu pesawat. Saya nakhodanya, dan saya ingin bawa perusahaan ini menjadi perusahaan yang memilik good governance dan menuju green industry.



Di bawah kepemimpinan Anda nantinya, bagaimana kontribusi Freeport untuk negara?

Jelas 60 persen untuk negara, sisanya baru untuk Freeport. Ini harus jadi komitmen, tujuannya adalah untuk negara dan Freeport bisa diterima seluruh bangsa Indonesia.



Kalau memang untuk negara, mengapa renegosiasi lama sekali? Apa yang membuatnya jadi berat?

Ada unsur teknis, ini bukan negosiasi perusahaan tambang kecil. Ada soal financing keuangan dan aturan yang berlaku, pastinya tidak ada suatu unit usaha yang mau rugi. Jadi, harus berhitung, begitu juga pemerintah. Ini yang harus ditemukan, dan untuk itu perlu pembahasan dengan pemerintah. Dalam hal ini, harus saya akui Freeport lebih lambat daripada pemerintah. Ini cambuk untuk saya.



Jadi, di bawah komando Anda dipastikan renegosiasi bisa segera tuntas?

Harus. Ini tanggung jawab saya, setelah 25 Januari tanda tangan MoU Freeport tidak boleh leha-leha. Enam bulan itu waktu yang pendek dan harus selesai.



Benarkah yang membuat proses ini lambat adalah karena Freeport harus selalu lapor ke Amerika?

Kondisi saat ini, mayoritas saham ada di internasional. Ini jadi concern. Ada hal-hal yang perlu dikonsultasikan, tapi tidak semua harus dilaporkan dan tidak semua keputusan dari sana. Salah satu syarat saya menerima posisi ini adalah saya diberi kesempatan untuk kembangkan kepemimpinan saya di Freeport.



Soal Smelter dibangun Gresik atau Papua?

Peraturan hanya menyebut smelter dibangun di dalam negeri. Tidak ditentukan lokasinya. Kami putuskan di Gresik karena hasil studi dan teknis di sana lebih tepat. Bukan berarti kami mengabaikan Papua. Investasi smelter di Gresik US$ 2,3 miliar, tapi investasi di Papua lebih besar untuk operasi tambang bawah tanah saja bisa sebesar US$ 15 miliar. Freeport juga berpartisipasi membangun pabrik semen di sana dengan pemerintah daerah. Freeport tidak meninggalkan komitmen untuk membangun Papua.