Hiruk-pikuk politik penggantian Kepala Kepolisian Negara RI menggiring publik melihat kembali kiprah kepolisian. Publik menilai kepolisian saat ini memiliki dua wajah dalam relasinya dengan masyarakat. Peran menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan peran yang diakui dan diapresiasi publik. Namun, peran penting sebagai lembaga penegak hukum masih bertabur jelaga.

Pemisahan Polri dari ABRI tahun 1999 menjadi tonggak baru pembentukan institusi kepolisian yang profesional dan modern. Dengan posisi yang tidak lagi di bawah militer, relasi Polri dan rakyat pun lebih cair karena menjadi bagian masyarakat sipil. Polri memainkan peran dalam hubungan dengan masyarakat sipil secara vertikal dan horizontal.

Secara vertikal, Polri merupakan institusi yang dapat memaksa masyarakat dalam upaya penegakan hukum. Secara horizontal, Polri mengayomi dan melayani masyarakat, terutama dalam menjaga keamanan dan ketertiban umum.

Hasil jajak pendapat pekan lalu mengungkapkan dua sisi persepsi publik terhadap peran Polri. Di satu sisi, peran Polri sebagai institusi penegakan hukum masih dinilai minor oleh publik. Di sisi lain, perannya mengayomi dan melayani masyarakat justru diapresiasi positif oleh publik.

Penegakan hukum

Bagi masyarakat, peran penegakan hukum Polri belum benar-benar dirasakan. Pencermatan terhadap setiap hasil pengumpulan opini publik yang dilakukan Kompas sepanjang lima tahun terakhir menunjukkan ekspresi ketidakpuasan publik lebih mengemuka ketimbang apresiasi positif. Penilaian tersebut terutama terhadap kinerja kepolisian dalam memberantas korupsi dan menangani kasus-kasus yang melibatkan orang penting atau penguasa.

Hasil jajak pendapat pekan lalu pun setali tiga uang. Enam dari 10 responden mengaku tidak puas terhadap kinerja kepolisian dalam penegakan hukum, sementara hanya sepertiga bagian responden yang mengaku puas. Jika mencermati tingkat pendidikan responden, ketidakpuasan terhadap penegakan hukum oleh Polri banyak disuarakan kalangan berpendidikan tinggi. Dalam kalangan tersebut, dua dari tiga responden mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap kinerja Polri dalam menegakkan hukum.

Penilaian negatif tersebut didasari oleh persepsi tentang bagaimana aparat Polri memproses kasus-kasus hukum di masyarakat. Enam dari sepuluh responden jajak pendapat menyatakan, jika berurusan hukum dengan polisi cenderung memakan waktu lama dan berbelit-belit. Lebih dari separuh bagian responden menambahkan bahwa aparat kepolisian sangat mudah disuap. Bahkan, 71,4 persen responden menyatakan secara lugas bahwa aparat kepolisian masih bersikap diskriminatif dalam menegakkan hukum. Sikap diskriminatif ditunjukkan dengan cara enggan menindak pelaku kejahatan yang berasal dari kalangan pejabat atau penguasa.

Masih buramnya kondisi penegakan hukum oleh Polri tak hanya disuarakan oleh masyarakat. Survei Global Corruption Barometer (GBC) tahun 2013 oleh Transparency International (TI) menyebutkan, Polri menempati peringkat pertama sebagai lembaga paling korup, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Berdasarkan survei itu, Polri memperoleh skala 4,5 dengan skala nol berarti bersih sampai lima menunjukkan korupsi akut dan endemik.

Skala mencerminkan ketidakpercayaan publik terhadap upaya institusi Polri membersihkan kasus-kasus pelanggaran hukum dan korupsi di internalnya. Kasus korupsi Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo menunjukkan dua hal. Pertama, korupsi dipraktikkan mulai dari tingkat bawah hingga pucuk pimpinan Polri. Kedua, belum tampak upaya kuat memberantas korupsi di internal kepolisian sendiri. Publik melihat bagaimana terjadi tarik- menarik antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika proses penegakan hukum terhadap Djoko Susilo berlangsung.

Anggapan ini diperkuat informasi tentang rekening gendut yang dimiliki sejumlah perwira tinggi Polri. Maka, tak mengherankan jika publik menyoroti tajam ketika calon Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bagaimanapun publik menginginkan sosok pemimpin lembaga penegak hukum yang bersih dan bebas dari masalah hukum.

Di tengah penilaian miring terhadap kinerja Polri, sebagian responden masih menilai positif kinerja Polri di beberapa bidang. Prestasi paling menonjol yang disampaikan publik terkait kinerja kepolisian adalah penanganan terorisme dan kasus narkoba.

Selama ini, kepolisian menempatkan terorisme dan narkoba sebagai perkara luar biasa yang ditangani secara khusus. Untuk menangani kasus terorisme, Polri membentuk Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror dan untuk kasus narkoba dibentuk Direktorat Tindak Pidana Narkoba. Satu dari tiga responden menyampaikan prestasi Polri yang paling menonjol adalah menangani kasus terorisme dan narkoba.

Kasus terakhir adalah mengendus lima tersangka terorisme di Poso, Sulawesi Tengah, yang ditangkap di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Satu dari tersangka teroris tewas ditembak karena melawan dan melarikan diri, Kompas (10/1). Sementara kasus narkoba adalah penangkapan musisi Fariz RM saat mengonsumsi ganja dan mengantongi satu paket heroin.

Melayani masyarakat

Prestasi lain adalah hadir di tengah masyarakat. Kehadiran polisi membuat rakyat merasa lebih aman, terutama di tempat keramaian dan lokasi unjuk rasa atau tawuran. Publik mengapresiasi positif langkah Polri memelihara ketertiban dan melayani masyarakat. Hal itu tak bisa lepas dari upaya pendekatan sipil Polri kepada masyarakat.

Alhasil, citra Polri sebagai institusi menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat berdasarkan hasil jajak pendapat kali ini meningkat. Lebih separuh responden mengapresiasi kehadiran Polri di sekitar masyarakat, naik dari beberapa kali pengumpulan pendapat yang lalu.

Keberhasilan Polri menumpas terorisme, menangkap pengedar narkoba, serta menjadi pengayom dan pelayan masyarakat semestinya juga diterapkan dalam menegakkan hukum.

Harapan publik pun membuncah terhadap figur ideal Kepala Polri dalam proses suksesi yang tengah berlangsung. Dalam pandangan publik, figur kepemimpinan yang ideal menjadi syarat mutlak. Responden menilai sosok berintegritas, jujur, tegas, berwibawa, berani, dan mengayomi masyarakat menjadi syarat mutlak calon Kepala Polri mendatang.

Publik juga mengharapkan calon Kepala Polri adalah sosok yang bebas dari masalah hukum, terutama korupsi. Demi kewibawaan institusi Polri, mayoritas responden (86,5 persen) berpendapat, pengusulan calon Kepala Polri harus melibatkan KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mendapatkan sosok dengan rekam jejak bersih dari kasus korupsi.

Apakah figur harapan publik ada di Polri saat ini? Jika pun tak ada, figur yang mengarah ke sana harus disiapkan. Sebab, tugas utama Kepala Polri ke depan adalah mereformasi Polri dengan membenahi kinerjanya dalam penegakan hukum sekaligus menjadi teladan. (DWI ERIANTO/LITBANG KOMPAS)